Monday, 20 October 2014

Apresiasi Karya Sastra Dan Peningkatan Keterampilan Berbahasa Produktif



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Balakang
Pembelajaran sastra merupakan aktivitas sesorang untuk menciptakan peristiwa dan kegiatan yang berisi kegiatan memahami, menghayati dan memberikan tanggapan terhadap karya sastra baik secara reseptif, produktif, maupun rekreatif.Pembelajaran sastra secara reseptif terwujud dalam bentuk mendengarkan performansi pemahaman puisi, pemahaman cerita, deklamasi, dramatisasi atau membaca karya sastra.Pembelajaran sastra secara produktif terwujud dalam bentuk mendiskusikan tanggapan atas suatu karya sastra, menyusun tanggapan atas hasil apresiasi sastra secara tertulis, atau menyiapkan pemahaman hasil apresiasi sastra di majalah dinding. Pembelajaran apresiasi sastra secara rekreatif antara lain dalam bentuk pembelajaran membaca puisi secara lisan, dramatisasi cerita, dan sebagainya.

1.2  Rumusan Masalah
Ada beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan apresiasi sastra secara produktif?
2.      Bagaimana penciptaan karya sastra?
3.      Bagaimana drama untuk siswa SD?

1.3  Tujuan
Berdasar rumusan masalah yang akan dibahas, tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Memaparkan pengertian apresiasi sastra secara produktif.
2.      Untuk mengetahui penciptaan karya sastra.
3.      Memahami drama untuk siswa SD.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Apresiasi karya sastra secara produktif
1.      Pengertian Apresiasi Secara Produktif
Apresiasi berasal dari bahasa latin apreciaton yang berarti mengindahkan atau menghargai. Dalam kaitannya dalam karya sastra, apresiasi adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Kegiatan karya sastra dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Kegiatan secara langsung dapat dilakukan dengan cara menggauli karya sastra, baik dengan cara menulis, mempublikasikan, membaca, mendengarkan, maupun menyaksikan pementasan karya sastra. Sementara kegiatan secara tidak langsung, dapat dilakukan dengan mempelajari teori sastra, sejarah sastra, kritik dan esai sastra.
Apresiasi sastra dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu apresiasi yang bersifat reseptif dan produktif. Apresiasi reseptif menekankan pada penikmatan, sedangkan apresiasi produktif menekankan pada proses kreatif dan penciptaan. Dalam hubungannya dengan apresiasi produktif, pengapresiasi di tuntut menghasilkan karya sastra yang dapat berupa puisi, prosa, drama, pementasan, karya sastra dan esai.
Apresiasi sastra secara produktif tidak mungkin terwujud tanpa diberikan pengajaran menulis, khusunya menulis kreatif di sekolah-sekolah.Menulis kreatif memberikan kesempatan untuk melatih dirinya mengemukakan ide imajinasinya dalam bentuk karya sastra, baik prosa, puisi, maupun darama.
Bimbingan penulisan kreatif akan memberikan sumbangan terhadap pemekaran dan pengayaan khasanah sastra Indonesia. Menulis kretif merupakan kegiatan penulisan yang memanfaatkan kemampuan berfikir kritis dengan imajinsi, dan kekuatan fantasi untuk mendukung fakta.Ada delapan makna dan manfaat menulis kratif, yaitu:
1.      Mengungkapan diri
2.      Memahami perasaan dan pikiran
3.      Meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan
4.      Melibatkan diri secara aktif
5.      Mengembangkan kemampuan
6.      Mengembangkan keterampilan konitif
7.      Mengembangkan insiatif dan disiplin diri
8.      Mendapatkan kesenangan

2.      Penciptaan Karya Sastra
Penciptaan karya sastra, seperti halnya penciptaan karya lainnya.Tema dijadikan bahan karangan dapat berasal dari pikiran, perasaan, lamunan, atau kenyataan. Langkah-langkah dalam proses penyusunan juga sama. Perbedaan yang mencolok dengan karangan yang lain terlihat pada objektivitasnya, karya sastra cenderung bersifat subjektif desebabkan dalam proses penciptaannya imajinasi pengarang sangat berperan.
Karya sastra  mencerminkan masyarakat, artinya penciptaan karya sasatra tidak pernah bertolak dari kekosongan tetapi selalu berangkat dari kenyataan. Aliran mimesis berpendapat bahwa karya seni, temasuk karya sastra merupakan pencerminan, peniruan atupun pembayangan realita. Meskipun demikain, karya sastra tidak sama persisi dengan realita sebab karya sastra telah memperoses penciptaan.
Dalm proses penciptaan pengarangan tidak hanya memindahkan kenyataan dalam bentuk teks melainkan menfsirkan kehidupan. Pada penciptaan puisi misalnya, proses pengolahan kehidupan dalam pikiran dan perasaan penyair sering dikatakan sebagai proses imajinatif. Dalam proses penciptaan ini ada proses kontempalsi, yaitu perenungan pikiran dan perasaannya sehingga manghasilkan kesan realita dan mengolahnya dengan kemampuan pikir dan perasaannya sehinnga menghasilkan karya sastra.
Puisi sebagai genre sastra dapat dilihat dari aspek bahan, saran cara dan nilainnya. Dilihat dari aspek bahan dan bahannya, puisi terdiri atas dua unsur yaitu hakikat dan metode.hakikat puisi adalah makna keseluruhan yang merupakan perpaduan antara tema, perasaan, nada, dan amanat.
1.      Tema adalah pokok persoalan yang mendasari dan menjiwai setiap larik puisi, misalnya, Ayip Rosidi menuangkan tema “ketidakpuasan” dalam puisi “di akuarium”
Di Akuarium
Ayip Rosidi
Kulihat ikan-ikan berenangan, alangkah nyaman
dan tenang hidup tanpa persoalan. Betapa ingin
aku menjadi ikan.
Dari balik kaca, matanya cemburu memandang
Barangkali ingin menjadi manusia, menjadi aku
Yang pergi memancing di hari minggu.
2.      Rasa (feeling) ialah sikap pandangan (pendapat) penyair terhadap pokok persoalan/tema tertentu. Ada penyair yang bersifat simpati-antipati, setuju-tidak setuju, dan lain-lain, misalnya Chairil Anwar masih bersikap menerrima terhadap cewe yang telah mengecewakannya dengan persyaratan tertentu. Sebaliknya Armyn Pane bersikap menolak gadis yang telah mengecewakannya. Hal ini teungkap dalam puisinya masing-masing sebagai berikut.
PENERIMAAN                     KEMBANG SETENGAH JALAN
Chairil Anwar                                                 Armyn Pane
Kalau kau mau, kuterima kembali      Mejaku hendak dihiasi
Dengan sepenuh hati                                      Kembang jauh dari gunung
Aku masih tetapi sendiri                                  Kau petik sekarangankembang
Kutahu kau yang bukan dulu lagi                   Jauh jalan panas hari
Bak kembang sari sudah terbagi                     Bunga layu setengah jalan
Jangan tunduk! Tantang Aku
dengan berani
3.      Nada (tone) ialah sikap bahasa penyair terhadap penikmat karyanya.ada penyair bersikap didaktis, persuasif, sinis (ironis), tawadhu (rendah hati), dan sebagainya. Misalnya Ali Hasyim bersikap persuasif dalam puisinya sebagi berikut.
MENYESAL
Pagiku hilang melayang
Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Aku lalai di hari pagi
Beta lengah di hari pagi
Kini hidup meracuni hati
Miskin ilmu miskin harta
Ah, apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di pagi hari
Menuju ke arah padang bakti

4.      Amanat adalah pesan, nasihat, petuah, yang disampikan oleh penyair dalam karyanya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pesan tersebut dapat dijadika sebagai peluasan wawasan, memoerkaya pengalaman, dan memperhalus budi pekerti, serta mempertinggi nilai-nilai kemanusiaan, misalnya larik puisi Chairil Anwar yang berbunyi “/pilih kuda liar/pacu sampai melaju/jangan tambatkan pada siang/dan malam”, antara lain mengandung amanat bahwa kita harus hidup penuh semangat, selalu memanfaatkan waktu secara dinamis kreatif.
Sementara itu metode puisi mencangkup :
1.      Diksi(diction), merupakan kemampuan memilih kata secara tepat menurut tempatnya sesuai dengan alam satu jalinan kata yang harmonis dan artistik sehinnga sejalan dengan maksud puisinay, baik secara denotatif maupun secara konotatif.

Misalnya: sekali berarti (bermakna, berguna, bermanfaat)
     Sudah itu mati (wafat, meninggal, tewas)
2.      Gaya basa, adalah cara atau gaya tertentu yang digunakan penyair untuk menciptakan kesan tertentu,daya bayang, dan nilai keindahan seperti
-          Gaya personafikasi : Kerling danau di pagi hari (Situr Situmorang)
-          Gaya simbolisme : Ah, rumput, akarmu jangan turut mengering (waluyati)
3.      Daya bayang (imagery), kemampuan penyair mendeskripsikan atau melukiskan suatu benda sehingga seolah-olah pembaca menyaksikan benda atau menyaksikan atu dialami penyair tersebut. Daya bayang terwujud sebagai manifestasi dari pemakain kata kon konkret, diksi, dan gaya bahasa yang tepat, misalnya:
Sajak Kecil Buat Penggalang
Dengan gagah perkasa
Engkau berdiri siap siaga
Bersenjata tongkat dibalut kain selempang
Berhias tanda-tanda kecakapan
Tali merah tali sempritan
Tersandang di lengan tangan kiri
Kepala dibalut baret
Lengkap lencana tunas kelapa
Tali melingkar bergantung dipinggang
Sangkur menambah indah dipandang

4.      Kata konkret, ialah pamakain kata-kata yang dapat mewakili suatu pengertian secara konkret denagn memilih kata yang khusus, bukan yang umum, misalnya:
-          Anak itu bersimpuh di kaki ibunya. (kata khusus)
-          Anak itu duduk lalu memeluk kaki ibundanya. (kata umum)



5.      Irama dan Rima
a.       Irama adalah berkaitan denagn keras lembutnya suara (tekanan), panjang pendeknya suara (tempo), dan tinngi rendahnya suara (nada), perhentian sejenak (jeda) dan lainnya. Misalnya sebagai berikut.
KASIH IBU
Siti Atika
Penuh kasih engkau nina bobokkan aku
Penuh cinta engkau suapi aku
Tangisku, rintihanku dan rengekanku
Tetap membuatmu tersenyum
Kasihmu seluas samudra
Cintamu sedalam lautan
Sayangmu setinggi gunung
Dengan apa aku harus membalasnya
Ibu....
Di dunia ini tiada banding kasihmu
Dalam deritamu
Engkau tetap tabah mengasuh dan mendidik aku
Ibu.....
Engkau adalah matahariku
Engkau adalah rembulanku
Doaku bersamamu selalu
Semoga rahmat Ilahi atasmu.





b.      Rima ialah persamaan bunyi awal, akhir, awal-akhir. Misalnya:
Caya bulan di ombak menitik
Embun berdikit turun menitik (J.E.Tatengkeng)

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal...... (Chairil Anwar)
Proses penciptaan puisi merupakan  perpaduan dari berbagai kegiatan, yaitu pemahaman terhadap realita, pemilihan bentuk pengungkapan, pemilihan kata-kata, penggunaan majas, penentuan ritme dan rima,. Penciptaan puisi tersebut dalam kenyataannya dapat terjadi secara simultan, namun dapat juga terjadi secara bertahap.
Dalam proses penciptaan puisi, tahap prapenciptaan, dan revisi tetap bisa diterapkan, chairil Anwar, misalnya, dalam penciptaan puisi-puisinya tidak sekali jadi. Dari dokumentasi yang ditemukan terlihat ada usaha-usaha merevisi demi kesempurnaan puisi yang diciptakannya.
Pengajaran mengarang puisi dapat dilakukan secara bertahap.Mula-mula mencontohkan puisi yang sudah ada, lalu mengubah dengan kata-kata sendiri, kemudian mengkombinasikan beberapa puisi menjadi satu puisi, dan terakhir mengarang puisi dengan tema tertentu atau menciptakan puisi secara bebas.
Puisi sering dipertentangkan dengan prosa.Dalam hal ini, prosa diberi pengertian sebagai karangan bentuk bebas, sedangkan puisi adalah karangan bentuk terikat.Sebenarnya pengertian tersebut tidak sepenuhnya benar sebab keduanya, baik prosa maupun puisi sebagai karya satra memilki keterkaitan pada aturannya masing-masing.Prosa memiliki keterkaitan pada kaidah keprosaan, seprti tema, amanat, aturan, setting, penokohan, dan pusat pengisahan, sedang puisi secara umum terikat pada persajakan dan pembaitan.
Karangan prosa untuk anak-anak dapat berbentuk cerita, yang di dalamnya tercakup dongeng, mite, fabel, farabel, legenda, atau cerita-cerita tentang kepahlawanan dan petualangan.Cerita seperti itu dapat dituliskan, namun dapat juga dilisankan saja.Dengan demikian, apresiasi yang bersifat produktif untuk bentuk prosa, khususnya cerita dapat dilakukan secara lisan dan tertulis.Hal ini bukan berarti penciptaan bentuk puisi tidak adanya yang dilisankan.Pantun, misalnya, sebagi warisan asli masyarakat Nusantara merupakan performance arts yang penciptaannya dilakukan secara spontan dan lisan.
Pada dasarnya mengarang cerita untuk dilisankan maupun dituliskan tidak banyak berbeda. Cerita bukan sekedar narasi tentang suatu peristiwa, melainkan perlu dihadirkan juga dialog antar pelaku agar cerita itu lebih hidup. Dalam menyusun cerita perlu diperhatiakan beberapa hal, misalnya 1) sasaran dari cerita itu, pembaca atau pendengarnya, 2) tema dan amanat yang ingin disampaikan, 3) unsur cerita, 4) perasaan yang ingin dibangkitkan, seperti keberanian, solidaritas sosial, dan 5) nilai yang terkandung di dalamnya.
Menghadirkan cerita dalam bentuk lisan diperlukan persyaratan-persyaratan dan persiapan khusus.Apabila cerita itu diangkat dari suatu buku penceritaan harus mengetahui betul isi cerita.Untuk itu seorang pencerita harus menjadi pembaca yang baik, mencermati isi cerita, jalan cerita dan menghayati karakter tokoh-tokohnya.
Dalam praktik bercerita, seseorang jangan terpaku pada buku yang menjadi sumbernya.Artinya seorang tukang cerita harus mengembangkan kreativitas dan kemampuan berimprovisasi sejauh tidak menyimpang dari struktur cerita secara keseluruhan.Acuan utamanya adalah tema dan alur cerita.Penghayatan terhadap keseluruhan cerita diperlukan agar dapat mengekpresikan dengan baik.Pengekpresian cerita ini berhubungan dengan kalimat, gerak, dan mimik.
Rothlin (1991:54:56) mengemukakan beberapa persiapan yang perlu diperhatiakan untuk menyampaikan suatu cerita, misalnya (1) membaca cerita beberapa kali, (2) menganalisis plotnya untuk menetapkan pendahuluan, kesimpulan, dan urutanya, (3) menganalisis cerita untuk menetapkan tindakan, konflik, da klimak, (4) memperhatikan petulangan kata dan frasa, (5) menvisualisasikan karakter pelaku, (6) menvisualisasikan setting untuk menetapkan perasaan, (7) menyertakan gestur, pengekspresian, serta suara, (8) membuat kerangka cerita, (9) praktik bercerita didepan cermin, (10) menggunakan tape recorder untuk berlatih dan (11) menyimpan kerangka cerita dalam suatu file sebagai bahan referensi di masa mendatang.
Dalam praktik bercerita, ada baiknya pencerita (1) menetapkan tujuan bercerita, (2) memperhatikan reaksi pendengar, (3) menjalin kontak mata dengan pendengar, (4) memperhatikan tempat duduk pendengar, (5) mengusahakan efek suara yang tepat, (6) mempersiapkan alat-alat dan sarana pendukung cerita, (7) jangan menguji pendengar, (8) memodifikasi cerita ke dalam situasi pendengar, (9) membuat persiapan untuk mengevaluasi penampilan dengan menggunakanbeberapa format evaluasi, (10) mempersiapkan format yang memungkinkan pendengar melakukan kritik dan evaluasi.

2.2 Pembelajaran dan Apresiasi Menulis Teks Drama untuk Siswa SD
Drama anak dapat menjadi wadah dunia anak untuk mengekspresikan diri, tempat bermain dan memperoleh kesenangan dalam kelompok.Drama anak harus diciptakan dengan suasana yang menyenangkan karena eksistensi drama adalah menampilkan cerminan kejadian dalam kehidupan.Oleh sebab itu drama anak juga harus dapat dipakai mewadahi kehidupan anak melalui cerita-cerita yang dipentaskan-nya.
Tapi pada kenyataannya sangat disayangkan, pembelajaran drama di sekolah-sekolah merupakan pembelajaran sastra yang paling kurang diminati oleh banyak siswa.Menurut Rusyana dalam Waluyo (2002: 154) bahwa minat siswa dalam membaca karya sastra yang terbanyak adalah prosa, menyusul puisi baru kemudian drama.
Pembelajaran drama yang diberikan pada anak sekolah dasar hendaknya mampu memperkenalkan, membimbing, mengembangkan dan mengapresiasi drama, membuat mereka dapat menyenangi, menggemari dan menjadikan drama sebagai salah satu bagian yang menyenangkan dalam kehidupan (Waluyo, 2002: 155).
Dalam kaitannya dengan bentuk drama perlu dicermati pengertian produksi.Istilah produksi drama secara umum mencakup dua pengertian, yaitu (1) pembuatan naskah drama, dan (2) pementasan drama.Pengertian produksi drama secara khusus lebih ditekankan pada segi pementasan. Membuat naskah drama seperti halnya membuat karangan yang lain, artinya langkah-langkah dalam proses penyususnannya, serta unsur-unsurnya yang harus diperhatikan seperti halnya pada mengarang prosa atau cerita. Perbedaannya yang mencolok terletak pada kehadiran teks dialog yang dominan.
Naskah drama disusun dalam bentuk dialog antarpelaku. Kendalanya terletak dalam penyusunan dialog yang alamiah. Sementara itu, setting cerita dalam naskah drama dijabarkan dalam bentuk uraian.Hal ini untuk mempermudah sutradara dalam mempersiapkan faktor pendukung pementasan.Setting dapat juga berupa narasi yang dibacakan, khususnya pada prolog drama.Setting pada bagian tengah lebih ditekankan pada tata tempat, peralatan, kostum dan instrument pengiring.
Naskah film, sinetron, jauh lebih lengkap, sebab dalam naskah itu dikemukakan juga teknik pengambilan gambar yang harus dilakukan oleh kameraman.Meskipun demikian, ada naskah yang tidak lengkap.Naskah ketoprak, misalnya, banyak yang tidak mencantumkan teknik pengambilan gambar.Artinya, pengambilan gambar sepenuhnya ditentukan oleh juru kamera. Sedangkan penyusun naskah dan sutradara lebih menekankan unsur pementasan yang lain.
Penyusunan naskah atau skenario drama secara lengkap tidak banyak berbeda dengan penyusunan skenario naskah video.Sutisno (1989) mengemukakan bahwa dalam produksi program video dikenal beberapa naskah. Yaitu:
1.      Naskah video atau scenario program video.
2.      Naskah papan cerita atau story board script.
3.      Naskah perekam gambar atau shooting script.
4.      Daftar perekaman gambar atau shooting list.
5.      Laporan perekaman gambar atau shooting report.
Pada teknik pengambilan gambar dikemukakan ada beberapa petunjuk dengan istilah khusus, misalnya L.S. (long shoot) pengambilan gambar jarak jauh, W.S. (wide shoot) pengambilan gambar meluas, M.L.S. (medium long shoot atau waist shoot) untuk objek orang dari paha ke atas, M.C.U (medium close shoot atau brist shoot) objek manusia dari dada ke atas, C.U (close up) atau close shoot (CS) bentuk gambar dari leher ke atas. Dan B.C.U (big close up) atau extreme close up (ECU) untuk objek mata dan hidung.
Sementara itu pada teknik perekam suara dikenal istilah-istilah Fade in: suara perlahan meningkat normal, Fade out: suara melirih perlahan, Fade up: suara mengeras segera, Fade down: suara melirih segera, Under: suara terdengar lirih, Of screen (OS) suara ada tapi sumber tak kelihatan, Overlap sound: bunyi terus, gambar berganti-ganti dan Speak: suara mulai terdengar perlahan.
Pada naskah dikemukakan paparan setting dan dialog antarpelaku.Paparan setting ditulis dengan huruf capital.Isinya memaparkan setting tempat dan perlengkapan, situasi, dan akting pelaku. Dialog antar pelaku dituliskan secara lengkap, artinya dijelaskan siapa pelakunya dan bagaimana kalimat yang diucapkannya. Semua itu menjadi acuan bagi sutradara maupun pemain dalam  merancang suatu naskah yang menjelaskan suatu adegan tanpa disertai paparan dialog secara rinci. Hal ini membuka peluang bagi sutradara dan pemain untuk menyusun dialog sendiri dan menghadirkannya secara improvisasi.
1. Pengertian Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau bereaksi dan sebagainya (Harymawan, 1988:1). Adapun istilah lain drama berasal dari kata drame, sebuah kata yang berasal dari bahasa Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid yaitu drama bermaksud untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Jadi, pengertian drama adalah jenis sastra berupa lakon yang ditulis dengan dialog-dialog yang memperhatikan unsur-unsur dengan gerak atau perbuatan yang akan dipentaskan di atas panggung.
2. Unsur-unsur Intrinsik Drama Anak
Pembelajaran tentang memahami drama terutama di kelas VI sekolah dasar lebih menitik beratkan pada pemahaman unsur-unsur intrinsik drama yang telah disesuaikan dengan standar kompetensi bahwa anak harus mampu mengidentifikasi berbagai unsur (tokoh, sifat, latar, tema, jalan cerita, dan amanat) dari teks drama anak. Berdasarkan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh anak dalam pemahaman drama yaitu mengidentifikasi unsur intrinsik yang terdiri dari unsur-unsur pembangun struktur tokoh, sifat/karakter, alur, latar/setting, tema dan amanat, maka bahasan dalam pemahaman drama yaitu: (a) Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita. Tokoh memiliki fisik, sikap, tingkah laku tertentu, atau watak-watak tertentu; (b) Sifat atau watak adalah karakter yang muncul dari dalam diri seorang tokoh. Tokoh dalam karya sastra memiliki perwatakan. Adanya watak yang berbeda-beda menyebabkan timbulnya peristiwa atau konflik yang membuat cerita semakin menarik; (c) Alur adalah jalan cerita yang dimulai dengan perkenalan, awal masalah, menuju klimaks, klimaks dan penyelesaian; (d) Latar adalah gambaran tentang tempat, suasana, dan waktu. Latar dapat juga menunjukkan ruang, waktu, alat-alat, benda-benda, pakaian, sistem pekerjaan, dan sistem kehidupan yang berhubungan dengan tempat terjadinya peristiwa yangmenjadi latar ceritanya; (e) Tema menurut Poerwadarminto (185 : 1040) tema adalah pokok pikiran. Tema mesti dibedakan dengan nilai moral atau amanat; dan (f) Amanat adalah pesan yang hendak disampaikan penulis dari sebuah cerita yang dipertunjukkan sehingga tertanam langsung ke dalam benak para penonton dramanya.
3. Menulis Teks Drama
Menulis teks drama menurut Hamalik (2001:57) adalah mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Teks drama sebagai salah satu genre sastra dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik,makna). Wujud fisik sebuah teks drama adalah dialog atau ragam tutur.
Langkah-langkah menulis teks drama dimulai dari merumuskan tema atau gagasan, mendeskripsikan penokohan atau memberi nama tokoh, membuat garis besar isi cerita, mengembangkan garis besar isi cerita ke dalam dialog-dialog, membuat petunjuk pementasan yang biasanya ditulis dalam tanda kurung maupun dapat ditulis dengan huruf miring atau huruf kapital semua, dan memberi judul pada teks drama yang sudah ditulis.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Apresiasi  sastra adalah menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehinga menimbulkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan baik terhadap karya sastra. Karya sastra yang produktif tidak mungkin terwujud tanpa diberikan pengajaran menulis kreatif.
Ada delapan makna menulis kretif, yaitu a) mengungkapkan diri, b) memahami perasaan dan pikiran, c) meningkatkan kesadaran pengamatan terhadap lingkungan, d) melibatkan diri secara aktif, e) mengembangkan kemampuan berbahasa, f) mengembangkan keterampilan kognitif, g) mengembangkan inisiatif dan disiplin ilmu, h) mendapatkan kesenangan.
Proses penciptaan puisi merupakan perpaduan dari berbagai kegiatan, yaitu a) pemahaman terhadap realita, b) pemahaman bentuk pengungkapan, c) pemilihan kata-kata, d) penggunaan majas, e) penentuan ritme dan rima.

3.2 Saran
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi semua pihak yang berkepentingan.Dengan terbentuknya makalah ini penulis sarankan agar dapat meningkatkan apresiasi karya sastra dan juga dapat meningkatkan menulis kreatif.



DAFTAR PUSTAKA
Haryadi dan Zamzani (1996/1997).Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.


No comments:

Post a Comment