BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di era globalisasi saat ini, Indonesia harus mampu
meningkatkan mutu pendidikan, sehingga tidak kalah bersaing dengan negara lain.
Negara kita harus mencetak orang-orang yang berjiwa mandiri dan mampu berkompetisi di tingkat dunia. Saat ini, Indonesia
membutuhkan orang-orang yang dapat berfikir secara efektif, efisien dan juga
produktif. Hal tersebut dapat diwujudkan jika kita mempunyai tenaga pendidik
yang handal dan mampu mencetak generasi bangsa yang pintar dan bermoral.
Guru merupakan komponen pendidikan yang sangat
berperan penting dalam kegiatan belajar mengajar. Kedudukan guru merupakan
posisi yang penting dalam dunia pendidikan khususnya di lembaga pendidikan
formal. Oleh karena itu, kebijakan sertifikasi bagi guru dan dosen memang suatu
langkah yang strategis untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Kompetensi guru merupakan seperangkat penguasaan
kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerja secara
tepat dan efektif. Sedangkan guru yang profesional adalah guru yang memiliki
kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu melaksanakan
tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
Guru merupakan orang yang sangat berpengaruh dalam
proses belajar mengajar. Sudah selayaknya seorang guru itu diberikan
kesejahteraan berupa sertifikasi. Dapat dipahami bahwa sertifikasi adalah
proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi
persyaratan tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional yang disertai dengan peningkatan kesejahteraan yang layak.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian dari profesionalisme guru?
- Apa saja persyaratan profesionalisme guru?
- Apa pengertian dari globalisasi?
- Apa saja tantangan profesionalisme guru dalam era globalisasi?
C. Tujuan
- Untuk memahami pengertian dari profesionalisme guru.
- Untuk mengetahui persyaratan profesionalisme guru.
- Untuk mengetahui pengertian globalisasi.
- Untuk mengetahui tantangan profesionalisme dalam era globalisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Profesionalisme
Guru
A.
Pengertian
Profesionalisme Guru
Ahmad
Tafsir mendefinisikan bahwa profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa
setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Istilah
profesional aslinya adalah kata sifat dari kata ”profession” (pekerjaan) yang
berarti sangat mampu melakukan pekerjaan. Sebagai kata benda, profesional lebih
berarti orang yang melaksanakan sebuah profesi dengan menggunakan profesi
sebagai mata pencaharian.(Mc. Leod,1989)
Dalam
kamus bahasa Indonesia edisi kedua (1991), guru diartikan sebagai orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Dalam bahasa Arab disebut ”
Mu’alim”, dalam bahasa inggris ”teacher” memiliki arti sederhana yakni ” A
person whose occuption is teaching others” ( Mc. Leod,1989) artinya seseorang
yang pekerjaannya mengajar orang lain.
Undang–undang No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, yakni sebagaimana tercantum dalam bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 1 sebagai berikut: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama, mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah.
Di dalam UU sistem pendidikan nasional tahun 2003 pada pasal 39 ayat 2 menjelaskan:
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Undang–undang No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, yakni sebagaimana tercantum dalam bab 1 ketentuan umum pasal 1 ayat 1 sebagai berikut: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama, mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah.
Di dalam UU sistem pendidikan nasional tahun 2003 pada pasal 39 ayat 2 menjelaskan:
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Profesionalisme
guru merupakan kondisi,arah, nilai,tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan
kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan
pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Adapun guru yang profesional
itu sendiri adalah guru yang berkualitas, berkompeten, dan guru yang
dikehendaki untuk mendatangkan prestasi belajar serta mampu mempengaruhi proses
belajar siswa yang nantinya akan menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih
baik.
Secara
sederhana pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang secara khusus disiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan
yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat atau tidak memperoleh
pekerjaan yang lainnya.
B.
Persyaratan
Profesionalisme Guru
Seorang pendidik/guru
diharuskan memiliki suatau persyaratan profesioanal yang kompleks. Myra
Pollanck Sadkar dan Dapid Miller Sadkar (1991) mengatakan: bahwa seorang yang
dikatakan profesional adalah orang yang dipandang ahli dalam bidangnya,dimana
yang bersangkutan bisa membuat keputusan dengan independen dan adil jika
seorang menjadi profesional,haruslah membuat suatu langkah penawaran kolektif
dengan membangun proses-proses yang baru,institusi yang baru,prosedur yang baru
yang menggiring pada suatu pemahaman pada apa sesungguhnnya yang diinginkan
pendididk: status,dignitas,profesional,dan konpensasi yang logis dalam suatu
pekerjaan profesional.
Proses pembelajaran di sekolah/madrasah
sesungguhnya merupakan upaya merealisasikan kurikulum ideal/konsep/tekstual
(ideal curriculum) ke kurikulum aktual (actual curriculum). Kurikulum tipe
pertama, ideal curriculum, merupakan kurikulum yang masih dalam bentuk teks,
ideal di cita-citakan dan belum dilaksanakan. Sedangkan kurikulum tipe
kedua,actual curriculum, kurikulum yang diaplikasikan dalam proses pembelajaran
di kelas. Yang paling menentukan keberhasilan dalam pembelajaran di kelas
adalah sejauh mana adanya kesenjangan (gap) antara kurikulum ideal dan
kurikulum aktual. Ketika pelaksanaan kurikum aktual dalam pembelajaran di
kelas, seorang pendidik sesunggunya memiliki tanggung jawab terdepan terhadap
sukses tidaknya sebagai pengembang kurikulum (curriculum developer).
Agar suatu proses
pembelajaran berkualitas dan relevan, up to date, dengan kebutuhan sumber daya
manusia (man-power) teraplisasi dengan baik, seorang pendidik diharapkan selalu
melakukan intropeksi dan meningkatkan sejumlah kompetensi dimiliki dan
memerhatikan tentang pentingnya profesionalisme dalam menjalankan tugasny.
Seorang pendidik selanjutnya diharapkan dapat memerhatikan tentang perubahan
paradigma pembelajaran, yakni dari paradikma “lama” ke paradigma “baru”. Perlu
memahami tentang globalisasi yang dapat berdampak terhadap kemajuan peradaban
dunia, yang merupakan suatu pelajaran penting bagi pendidik yang senantiasa
perlu melakukan mengedepankan profesionalisme dan responsif terhadap setiap
permasalahan pembelajaran, dan inovatif terhadap perubahan sosial pendidikan
yang sentiasa dinamis.
Upaya memperbaiki
kualitas dan profeionalisme pendidik di sekolah/madrasah karenanya memang patut
terus menjadi perhatian. Sebagai respons terhadap globalisasi dan tuntunan
kebutuhan terhadap kualitas pembelajaran dalam menciptakan anak didik yang
berkualitas, berkompetitif dan mandiri di kemudian hari, sebagai persyaratan
seorang pendidik profesional perlu terus menerus di perbaiki. Seperti
diungkapkan Sudarwan Damin (2002) bahwa ketika persaingan dalam aneka
perspektif sosional, ekonomi, teknologi dan kemanusiaan semakin bereskelasi
secara masif, persyaratan kemampuan yang diperlukan orang untuk melakukan aneka
pekerjaan semakin meningkat. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
diperoleh di bangku sekolah sering kali tidak memadai lagi karena tuntunan
persyaratan kerja bereskalasi ekstra tinggi sementara menu sajian di sekolah
teramat lambat pemutakhirannya. Lingkup pengetahuan dan keterampilan yang dapat
di perlukan guru pun terbatas oleh kalender kerja, di samping kemampuan guru
sendiri yang tidak tanpa batas.
Dilihat
dari tugas dan tanggung jawabnya, tenaga kependidikan ternyata bahwa untuk
menyandang pekerjaan dan jabatan tersebut dituntut beberapa persyaratan. Menurut
Muhammad Ali ( 1985 : 35 ) sebagai berikut:
1.
Menuntut
adanya keteramplilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang
mendalam.
2.
Menekankan
pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
3.
Menuntut
tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
4.
Adanya
kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
5.
Memungkinkan
perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupannya.
Untuk
itulah seorang guru harus mempersiapkan diri sebaik– baiknya untuk memenuhi
panggilan tugasnya, baik berupa im-service training (diklat/penataran) maupun
pre service training (pendidikan keguruan secara formal).
2.
Globalisasi
A.
Pengertian
Globalisasi
Globalisasi adalah
proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara
mendunia melalui media cetak maupun elektronik.
Antara globalisasi dan
demokrasi telah menarik perhatian banyak ilmuan abad ke-21. Globalisasi
diyakini sebagai suatu pendorong gelombang demokratisasi dunia. Huntington
menyebutnya sebagai the Third Wave untuk menggambarkan gelombang demokratisasi
dunia di Negara dunia ketiga. Data kuantitatif menunjukan bahwa sekarang ini
tidak kurang dari 117 negara dari 191 negara telah melakukan pemilihan umm
multiparatai. Hal ini mennjukan bawha sistem politik demokrasi (dengan
menggunakan ukuran ini) telah dianut oleh banyak negara, demikian diungkapkan
Jaan Aart scolte.
Nurcholish Madjid
menuturkan modernisasi berarti rasionalisme untuk memperoleh daya-guna yang
maksimal dalam berpikir dan bekerja demi kebahagiaan umat. Lanjut Madjid,
modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah (hukum
ilahi) yang hak, sebab alam adalah hak. Sunnatullah telah mengejawantahkan
dirinya dalam alam, sehingga untk menjadi modern, manusia harus mengerti
terlebih dahulu hukum yang berlaku di ala. Permahaman manusia tentang
hukum-hukum alam inilah yang kemudian malahirkan ilmu pengetahuan. Akibatnya,
sering dikatakan bahwa modern berarti ilmiah. Oleh karena ilmu pengetahuan
ilmiah diperoleh manusia melalui akal (rasio), modern dapat pula berarti
rasional. Disebut modern, seorang dapat berpikir dan bertindak secara ilmiah
dan rasional.
Dalam Oxford Advanced
Learner`s Dictionary of Current English disebutkan bahwa istilah globalisasi
berasal dari kata global yang dalam bahasa inggris berarti embracingthe whole
of a group of items (merangkul keseluruhankelompok yang ada). Supriyoko (1993)
menunjukan bawha dalam globalisasi terdapat saling ketergantungan
(interdenpendency) dalam masalah sosial kultural dan politik suatu bangsa akan
saling mengait dengan bangsa lain sebagai contoh hasil KTT bumi (Declaration of
Rio: Principles of Forestry) di Brazil berpengaruh pada kebijakan perutangan di
negara lain. Conyoh lain, sikapAmerika Serikat terhadap negara-negara Arab,
khususnya Irak dan Iran; dan sikap Eropa terhadap Bosnia pada beberapa waktu
yang lalu sangat memengaruhi kebijakan polotik negara lain.
Bertalian dengan
permasalahan perubahan iklim Global di abad ke-21 kian nyata, seperti terlihat
pada konferensi para pihak tentang perubahan iklim (COP) ke-16,pada 8 Desember
2010, di Cancun, Meksiko, telah berhasil memecahkan kebekuan diantara negara
kaya dan miskin. Negara maju dan negara miskin telah sepakat memperlambat
perubahan iklim, dan akan ada kemitraan dalam pendanaan yang digunakan untuk
mitigasi, adaptasi, dan transfer teknologi. Sebelumnya, negosiasi berlangsung
alot setelah beberapa negara industri yang menjadi kunci seperti Jepang, Rusia,
dan Amerika Serikat menyatakan tidak akan melanjutkan komitmen kedua protokol
Kyota. Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon menegaskan, mulai 2020 negara maju harus bisa menggalang
dana Us$ 100 milyar (sekitar 900 triliun) pet tahun untuk membantu negara
miskin dalam melawan pemanasan global sesuai dengan kesepakatan COP-15 di
Kopenhagen, Denmark, 2009.
B.
Tantangan
Profesionalisme Guru
Globalisasi sebagai
suatu produk pembangunan dimotori Barat selaku pemegang konstelasi dunia dalam
sains-iptek dan ekonomi. Namun, perlu disadari bahwa keberhasilan Barat menjadi
pihak paling berpengarh di dunia sesungguhnya tidak terlepas dari keberadaan
dan peranan lembaga pendidikan. Jadi, persoalan
globalisasi tidak terlepas dari keberadaan lembaga pendidikan selaku pencetak
Sumber Daya Manusia (SDM). Munculnya kategori negara berkembang (developing
countries) dan negara-negara maju (developed countries), pada dasarnya sebagai
konsekuensi atas perbedaan tingkat kualitas SDM untuk keperluan modernisasi.
Sebagaimana moderisasi, globalisasi merupakan kehalusan sejarah. Globalisasi
merupakan bagian dari dinamika peradaban manuusia. Islam memandang menuntut
ilmu dengan orang yang berjuang di jalan Allah (fi sabilillah). Manusia harus
berupaya mengejar ilmu tentang bagaimana sesungguhnya syariat dan akhlak Islam.
Seorang mewujudkan dimensi praktik agama (syari`ah) dan dimensi pengalaman
(akhlak), dia harus mendahlukan dimensi pengetahuan (ilmu). Sebab dimensi ilmu
merupakan prasyarat bagi terlaksananya dimensi peribadatan dan dimensi
pengalaman.
Sering dengan
berkembannya aktivitas manusia, era globalisasi pun mengandung banyak
kecenderungan. Pengklasifikasian atas kecenderungan yang muncul sangat
tergantung pada cara seorang memahami dinamika dunia, dan sejauh mana dia
merasa terlibat di dalam kondisi global. Emil Salim(2005) mengatakan
globalisasi memiliki beberapa kecenderungan berikut: perkembangan globalisasi
ekonomi perkembangan teknologi yang cepat, perubahan demografi, perubahan
politik, dan perubahansistem nilai. Supriyoko (1993) menyatakan kensep dasar
globalisasi dapat dilihat dari aspek: ketergantungan (interdependency) dalam
masalah sosial, politik dan budaya; peran strategis informasi ; dan era
industri sebagai kemajuan suatu bangsa.
Sebutan era informasi
menggaris bawahi peran strategis dan informasi, yakni bahwa kendali atas dunia
benar-benar ditentukan oleh pihak yang menguasai informasi. Terlebih lagi,
informasi telah menafikan sekat-sekat geografis yang ada di dunia. Beberapa
bukti bisa diilustrasikan di sini: pernyataan politik para pemimpin dunia dapat
dinikmati dalam waktu yang nyaris bersama oleh segala masyarakat di seantero
dunia; peristiwa politik seperti Pemilu Umum di amerika Serikat (AS) atau
meninggalnya artis penyanyi Michael Jakcson (27 Juni 2009) dapat diketahui
secara cepat oleh masyarakat dunia melalui internet atau TV; pertandingan sepak
bola Liga Italia Inggris dapat ditonton oleh masyarakat dunia secara langsung
melalui saluran TV; sama halnya bencana Tsunami di Aceh (2004) menewaskan
ribuan penduduk, dan banjir dan longsor tanah yang menewaskan ratusan penduduk
Wasior Papua Barat (2010), gempa di Mentawi-Sumatera Barat (2010), dan
meletusnya Gunung Merapi-Yogyakarta (2010) dapat dilihat masyarakat dunia
dengan cepat, melalui media elektronik TV dan internet.
Perubahan dan
perkembangan industri merupakan kemajuan bangsa di dunia, dan ini tidak dapat
dilepaskan dari pergeseran konsentrasi sumber investasi. Sumber investasi
negara praindustri terkonsentrasi pada pertanian (land), negara-negara industri
pada permesinan (machinery), dan negara pasca-industri pada pengetahuan
(knowledge). Kemajuan suatu negara sekaligus memberi peluang bagi negara
tersebut untuk mengalami perubahan status. Misalnya, dari status negara agraris
menjadi negara industri, dari negara industri menjadi negara pasca-industi.
Indonesia, hingga kini, masih dikategorikan sebagai negara agraris dan dapat
jga sebagai negara praindustri (preindustrial country).
Aspek perubahan
demografi merupakan salah satu kecendrungan lain di era-globalisasi. Kini,
penduduk dunia mengalami pertumbuhan sekitar dua kali lipat dari jumlah
penduduk tahun 1950 yang berjumlah kurang lebih 2,5 miliar. Berbagai persoalan
pun muncul akibat perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang cepat, seperti
ancaman bahaya kelaparan, ekologi, polusi, dan hal-hal lain berkaitan dengan
kesejahteraan hidup manusia. P. Kennedy mensinyalir, diduga tidak kurang dari 1
miliar orang di dunia menderita kelaparan karena kekurangan makanan.
Sama halnya dengan
Kennedy, masalah kemiskinan memang telah lama menjadi perhatian sejumlah pihak.
Pada 2000, Sekjen Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nations), Kofi Annan, telah
memprakarsai program Millinium Development Goals (MDGs) untuk mengentaskan kemiskinan
di negara-negara berkembang (developing countries) dan negara terbelakang
(under developing countries) dan dalam tempo waktu 15 tahun. Dalam
kenyataannya, angka kemiskinan dunia tidak berkurang dan justru bertambah
sekitar 100 juta jiwa, dari sekitar 2 jiwa miliar sebelumnya hingga kini (2010)
menjadi 2,1 miliar jiwa.
Aspek lain yang menjadi
keresahan masyarakat dunia adalah bertalian dengan rusaknya lingkungan.
Kerusakan lingkungan tampak sudah mengglobal dan lebih transparan. Negara maju
sering berpendapat bahwa negara berkembang sebagai pelaku kerusakan lingkungan
karena tindakan penebangan hutan untuk sumber ekonomi atau devisa negara. Hal
itu telah memunculkan reaksi keras dari negara berkembang dan justru menuding
sebaliknya bahwa polusi (pollution) di muka bumi sebagian besar justru
dilakukan negara maju (developed countries), melalui berbagai pabriknya sebagai
sumber pencemaran. Tuding menuding antara negara berkembang dan negara maju
sebenarnya hanya menimbulkan kelelahan belaka dan sering kali tampa adanya
solusi. Suatu hal pasti bahwa isu ekologi sudah menjadi perhatian serius
pemerintah dan masyarakat pada negara mana pun di dunia, karena isu ekologi
sesungguhnya adalah isu ekologi-nasional dan mondial.
Disadari atau tidak,
baik negara maju maupun negara berkembang, sebetulnya telah merusak lingkungan,
pada level yang mendasar sekalipun, dengan peran berbeda. Di negara berkembang terjadi
penebangan hutan besar-besaran (illegal logging) dan tanpa terkontrol,
perusahaan penggalian tambang yang tidak terkendali, dan pencemaran air laut
yang merusak ekosistem. Negara maju memiliki peran berbeda, di mana hasil
penebangan hutan sering kali atas permintaan atau setidaknya diekspor ke negara
maju. Kerusakan lingkungan tidak terlepas dari peran negara maju maupun negara
berkembang. Suatu hal yang perlu disadari bahwa penebangan hutan berlevih dapat
menimbulkan tanah longsor yang berdampak pada kerugian harta benda dan nyawa
manusia. Selain itu,kerusakan pada suatu negara akan berdampak pada negara
lain. Sebagai ilustrasi, pembakaran hutan pada suatu negara akan berdampak pada
polusi udara atas asap bekas pembakaran. Jadi, suatu hal yang penting adalah
perlunya upaya mengatasi kerusakan ekologi (darat, udara,laut), sebagaimana
upaya dunia mengatasi kerusakan ekologi seperti diselenggarakannya Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi berdasarkan Declaration of Rio tentang Principle of
Forestry.
Perhatian terhadap
Global Warming, sebagai bentuk nyata terhadap proses kerusakan ekologi. Kepada
generasi dunia yang akan hidup pada abad mendatang perlu dibekali dengan
penguatan sains-teknologi dan spiritual-keagamaan yang diharapkan dapat
memecahkan berbagai permasalaha kehidupan masyarakat dunia yang semaakin
kompleks. Selain pentingnya subtansi kurikulum yang dapat menjawab tantangan
zaman lagi generasi anak didik mendatang tidak ada pilihan lain, kecuali, pendidik/guru
dalam proses pembelajaran di sekolah/madrasah perlunya mengedepankan kualitas
tugas dalam propesi dalam diembangnya. Kehidupan masa depan membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan yang harus di miliki anak didik yang akan hidup
pada zaman berbeda, di mana dunia senantiasa dinamis yang membutuhkan adaptasi
(dengan pengetahuan dan keterampilan) pada era globalisasi.
Globalisasi telah
mengubah cara hidup manusia sebagai individu, sebagai warga masyarakat dan
warga bangsa. Tidak seorang pun dapat menghindari dari arus globalisasi. Setiap
individu dihadapkan pada dua pilihan: pertama, dia menempatkan dirinya dan
berperan sebagai pemain dalam arus perubahan globalisasi; dan kedua, dia
menjadi korban globalisasi. Arus globalisasi juga masuk dalam wilayah pendidikan
dengan berbagai implikasi dan dampaknya, positif dan negatif. Dalam konteks
ini, tugas dalam peranan seorang pendidikan/guru sebagai ujung tombak dunia
pendidikan di sekolah/madrasah sangat terdepan dalm menciptakan SDM yang dapat
berkompetitif dengan negara bangsa lain dalam suatu mayarakat dunia.
Sejalan dengan
berkembang sains-teknologi dan meluasnya pengaruh globalisasi, pendidik
senantiasa dituntut dapat mengimbangi perkembangan sains-teknologi yang terus berkembang. Seorang pendidik diharapkan mampu pula
menghasilkan anak didik sebagai SDM yang memiliki kompetensi tinggi dan siap
menghadapi tantangan hidup dengan penuh percaya diri. Untuk mencipatakan SDM
berkualitas tersebut, seperti diungkapkan Louis V. Gerstner, Jr, dkk(1995),
dibutuhkan “sekolah unggul” atau sekolah berkualitas yang memiliki ciri-ciri:
1. Kepala
sekolah yang dinamis dan komunikatif dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan
pendidikan.
2. Memiliki
visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dengan
jelas.
3. Pendidik
yang kompeten yang senantiasa bergairah dalam melaksanankan tugas dengan
profesional dengan inovatif.
4. Siswa-siswa
yang sibuk, bergairah, dan kerja keras dalam proses pembelajaran.
5. Masyarakat
dan orang tua yang berperan dalam menunjang pendidikan.
Sejumlah kecenderungan
dan tantangan globalisasi yang harus diantisipasi pendidik dengan pentingnya
mengedepankan profesionalisme. Pertama,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan mendasar.
Dengan kondisi ini, seorang pendidik diharapkan dengan menyesuaikan diri dengan
responsif, arief, dan bijaksana. Responsif artinya pendidik harus bisa mengusai
dengan baik produk iptek, terutama yang berkaitan dengan dunua pendidikan,
seperti pembalajaran dengan menggunakan multimedia. Tanpa penguasaan iptek yang
baik, pendidik akan tertinggal dan menjadi korban iptek.
Kedua,
krisis “moral” yang melanda bangsa dan negara Indonesia akibat pengaruh iptek
dan globalisasi telah menjadi penggeseran nilai-nilai yang ada dalam kehidupan
masyarakat. Nilai-nilai tradisional yang sangat menjungjung tinggi moralitas
bisa saja dapat bergeser dengan seiring dengah pengaruh iptek dan globalisasi.
Di kalangan remaja sangat begitu terasa akan pengaruh iptek dan globalisasi.
Pengaruh hiburan baik berasal dari meedia cetak maupun media elektronik yang
menjurus pada hal-hal pornografi telah menjadikan sebagian remaja tergoda dalam
suatu “pilihan” kehidupan yang menjurus pada pergaulan bebas dan materialisme.
Mereka sebenarnya hanya menjadi korban dari globalisasi yang selalu menuntut
kepraktisan, kesenangan balaka (hedonisme) dan budaya cepat saji (instant).
Ketiga,
krisis sosial, seperti kriminalitas, kekerasan, pengangguran, dan kemiskinan
yang terjadi dalam masyarakat dunia. Akibat perkembangan industri dan
kepitalisme maka muncul masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat. Tidak
semua lapisan masyarakat bisa mengikuti dan menikmati dunia industri dan
kapitalisme. Mereka yang lemah secara pendidikan, akses, dan ekonomi akan
menjadi korban ganasnya industralisasi dan kapitalisme, ini merupakan tentangan
bagi guru dalam merespons realitas ini, terutama dalam kaitannya dengan unia
pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang formal dan sudah mendapat
kepercayaan (trust) dari masyarakat harus mampu menghasilkan peserta didik yang
siap hidup dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Dunia pendidikan harus
menjadi solusi dari suatu masalah sosial (kriminalitas,kekerasan, penganggura,
dan kemiskinan)bukan menjadi bagian bahkan penyebab dari masalah sosial
tersebut.
Keempat,
krisis identitas sebagai bangsa, sebagai bangsa dan negara di tengah bangsa
lain di dunia membutuhkan identitas kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi dari
warga negara Indonesia. Semangat nasionalisme dibutuhkan tetep eksisnya bangsa
dan negara Indonesia. Nasionalisme tinggi dari warga negara akan mendorong jiwa
berkorban untuk bangsa dan negara sehingga akan membuat perilaku positif dan
terbaik untuuk bangsa dan negara. Dalam dekade terakhir, ada kecenderungan
menipisnya jiwa nasionalisme di kalangan generasi muda. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa indikator, seperti kurang apresiasinya generasi muda terhadap
“kebudayaan asli” bangsa Indonesia, pola dan hidup remaja yang kebarat-baratan,
dan beberapa idikator lainnya. Melihat realitas perilaku generasi muda ini,
pendidik/guru sebagai penjaga nilai-nilai termasuk nilai nasionalisme harus
mampu memberikan kesadaran kepada generasi muda akan pentingnya jiwa nasionalisme
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kelima,
adanya perdagangan bebas, baik tingkat ASEAN, Asia Pasifik, maupun dunia.
Kondisi ini membutuhkan kesiapan yang matang terutama dari segi SDM. Indonesia,
ke depan, membutuhkan SDM yang andal dan unggul yang siap bersaing dengan
bangsa-bangsa lain. Dunia pendidikan
mempunyai peranan yang penting dan strategi dalam menciptakan SDM yang
berkualitas.dibutuhkan pendidik/guru yang visioner, kompeten, berdedikasi
tinggi dan berkomitmen agar mampu membekali peserta didik, output, dengan
sejumlah kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan di tengah masyarakat sedang
dan terus berubah.
Bertalian dengan
perubahan paradigma tersebut, setidaknya terdapat tiga acuan dasar pendidikan
nasional. Pertama, acuan filosofis, yakni yang mampu mengembangkan kreativitas,
kebudayaan, dan peradaban; mendukung desiminitas nilai keunggulan mengembangkan
nilai-nilai demokrassi, kemanusian,keadilan, dan keagamaan; dan mengembangkan
secara berkelanjutan kinerja dan kreatif dan produktif yang koheren
dengannilai-nilai moral. Kedua, acuan nilai kultural, yakni nilai inti ideal
acuan pendidikan yaitu nilai pemberdayaan untuk kemandirian dan keunggulan;
pada tingkat instrumental, ekonomi,
kecakapan, kesadaran berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan,
moral, harkat martabat, dan kebanggan; pada tingkat operasioal pentingnya kerja
keras, sportivitas, kesiapan bersaing, bekerja sama, dan disiplin diri. Ketiga,
acuan lingkungan strategis yakni masih berlangsungnya beragam krisis, reformasi
total terhadap birokrasi, ekonomi, sosial, politik, huku, dan kehidupan
beragama; pendidikan dengan standar global; dan penggunaan berbagai cara
belajar dengan mendaya gunakan beragam sumber belajar.
Dalam pembangunan SDM
dikelompokkan pada dimensi pekerjaan dan angkatan kerja, serta ilmu pengetahuan
dan kualitas hidup. Dimensi tersebut saling mendukung dan bertalian erat satu
dengan lain dalam rangka peningkatan kualitas SDM. Setiap dimensi memiliki
karakter dan masalah tersendiri yang memerlukan penyelesaian secara efisien dan
efektif (pekerjaan dan angkatan kerja, serta Iptek dan kualitas hidup). Dimensi
tersebut saling mendukung bertalian erat satu dengan lain dalam rangka
peningkatan kualitas SDM. Setiap dimensi memeiliki karakter dan masalah
tersendiri yang memerlukan penyelesaian secara efisien dan efektif.
Dalam upaya peningkatan
kualitas pendidikan nasional, diperlukan pendidik/guru profesional yang
mencukupi dan dapat menggerakan dinamika kemajuan pendididikan nasional diperlukan suatu proses yang
berkesinambungan, tepat sasaran dan efektif. Dalam kenyataannya masih banyak
guru yang belum memenuhi syarat untuk disebut sebagi guru profesional. Keyataan
ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pemerintah.
Dalam meningkatkan
kualitas pendidik/guru dilakukan dengan melakukan program sertifikasi guru yang
berlangsung saat ini, kualifikasi menjadi salah satu syarat utama selain
penilaian portofolio. Tantangan berikutnya adalah tuntunan masyarakat dimana
pendidik/guru di tuntut benar-benar profesional dalam menjalankan tugasnya.
Karena itulah, perlu dicermati kebijakan pemerintah atau undang-undang No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 7 dan pasal 20 diamanatkan :
Pasal
7
Pemberdayaan
profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri dilakukan secara
demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
Pasal
20
Dalam
melaksanakan tugas profesional, guru berkewajiban meningkatkan dan
mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi cara berkelanjutan sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pendidik, dalam hal
ini,merupakan seorang yang paling bertanggung jawab dalam peningkatan kualitas
pendidikan. Dalam sejarah peradaban dunia, guru berada di garda terdepan dalam
menciptakan kualitas SDM. Pendidik berhadapan langsung dengan peserta didik di
kelas melalui proses pembelajaran di kelas. Ditangan pendidik dihasilkn peserta
didik yang berkualitas, baik secara akademis, skill (keahlian), kematangan
emosional, moral dan mental spiritual. Dari peran dan fungsi pendidik,
dihasilkan generasi masa depan yang siap
hidup dengan tantangan zaman berbeda. Karena itu, diperlukan sosok
pendidik/guru yang mempunyai kualifikasi, kompetensi dan dedikasi tinggi dalam
menjalankan profesinya. Pendidik/guru adalah “kurikulum berjalan” yang
menentukan kualitas pembelajaran.
Fuad Hasan, mantan
Mendiknas RI, pernah mengatakan sebaik apa pun kurikulum dan sistem pendidikan
yang ada tanpa di dukung oleh mutu
pendidik/guru yang memenuhi syarat, semuanya akan sia-sia. Kenyataan akan
menunjukkan bahwa kualitas pendidik/guru di Indonesia masih banyak aspek
yang perlu dibenahi. Boediono dan Don
Adam (1997) mengatakan proses rencana pendidikan 25 tahun ke-2 (1993-2018)
meliputi empat hal penting yang saling berkolerasi: peranan tim komite, kapabilitas
istem pendidikan, perubahan sosial dan industri dan menetapkan tujuan dan
target pendidikan nasional jangka panjang.
Seorang yang memilih
profesi pendidik dalam pilihan kehidupannya, idealnya yang bersangkutan harus
mengembangkan tiga kemampuan utama, yaitu: pribadi,
professional, dan social. Dalam
proses pembelajaran keberhasilan seorang guru terletak pada antara lain:
kepribadian, penguasaan metode, frekuensi dan intensitas aktivitas interaktif
guru dan siswa, wawasan, penguasaan materi, dan penguasaan proses pembelajaran.
Karena itu, persyaratan menjadi guru tidak hanya kecerdasan, terampil, pintar,
dan professional, tetapi juga perlu memiliki keunggulan akhlakul karimah.
Idealnya,
seorang pendidik perlu memiliki beberapa karakteristik:
1. Memiliki
komitmen terhadap profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif.
2. Menguasai
ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan,
menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya, atau sekaligus melakukan transfer
ilmu pengetahuan, internalisasi, dan ‘amaliyah (implementasi).
3. Mendidik
dan menyiapkan anak didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur serta
memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat dan alam sekitarnya.
4. Mampu
menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat panutan atau
teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
5. Memiliki
kepekaan intelektual dan informasi, serta memengaruhi pengetahuan dan
keahliannya serta berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didik.
6. Bertanggung
jawab dalam membangun peradaban bangsa berkualitas di masa depan.
Dalam UU No. 14 Tahun
2005 dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan yang
khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. Memiliki
bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealism.
b. Memiliki
komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan
akhlak mulia.
c. Memiliki
kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas.
d. Memiki
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
e. Memiliki
tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
f. Memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan profesi kerja.
g. Memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
belajar sepanjang hayat.
h. Memiliki
jaminan perlindungan hokum dalam menjalankan tugas keprofesionalan.
i.
Memiliki organisasi
profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan pendidik/guru.
E. Mulyasa (2008:
20-30), bagi seseorang dalam melaksanakan tugasnya, sedikitnya ada tujuh
kesalahan yang sering dilakukan pendidik/guru dalam pembelajaran:
1. Mengambil
jalan pintas dalam pembelajaran.
2. Menunggu
peserta didik berperilaku negatif.
3. Menggunakan
destructive discipline.
4. Mengabaikan
perbedaan peserta didik.
5. Merasa
paling pandai dan tahu.
6. Tidak
adil (diskriminatif).
7. Memaksa
hak peserta didik.
Globalisasi dan
kecenderungannya, telah mendorong terjadinya perubahan paradigm guru, dari
paradigma “lama” ke yang “baru”, di mana seorang pendidik diharapkan:
1. Tidak
terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan memperdayakan
diri secara terus-menerus untuk meningkatkan secara kualifikasi dan
kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar,
lokakarya, dan kegiatan sejenisnya.
2. Mampu
menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran yang aktif, inovatif,
kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM) yang menggairahkan motivasi belajar
peserta didik.
3. Mengurangi
dominasi dalam pembelajaran sehingga pemberian kesempatan pada peserta didik
agar lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses pembelajaran.
4. Memperkaya
bahan pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih
bervariasi.
5. Menyukai
apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagi suatu profesi yang
menyenangkan.
6. Mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir sehingga memiliki wawasan
yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini.
7. Mampu
menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan selalu
menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji dan memiliki integritas yang tinggi.
8. Mempunyai
visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi
perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecakapan dan kesiapan yang
baik.
Hal ini sejalan dengan
apa yang dikatakan oleh Jansen H. Sinamo (2008), dengan istilah mentalitas professional bahwa pada abad
ke 21 sangat menonjol dicirikan oleh globalisasi yang serba kompetitif dengan
perubahan yang terus dan cepat. Tidak terbayang lagi ada organisasi, termasuk
lembaga pendidikan, dapat bertahan tanpa didukung profesionalisme. Sinamo
menulis setidaknya ada tujuh mentalitas professional yang harus dimiliki oleh
kalangan professional:
1. Mentalitas
mutu, seorang professional menampilkan kinerja yang baik.
2. Mentalitas
altruistic, seorang professional selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat
baik.
3. Mentalitas
melayani, melayani konstituen dengan optimal.
4. Mentalitas
pembelajar, menerima pendidikan dan pelatihan secara mendalam sebelum menjadi
professional.
5. Mentalitas
pengabdian, adanya rasa keterpanggilan untuk mengabdi pada bidang yang telah
dipilihnya.
6. Mentalitas
kreatif, selalu menginginkan kreativitas, berdaya cipta dan inovatif.
7. Mentalitas
etis, tidak mengkhianati etika dan moralitas profesinya.
Agar Indonesia menjadi
negara maju dan berperadaban ke depan, perhatian terhadap kebijakan pendidikan
nasional harus menjadi terdepan dalam prioritas pembangunan. Kualitas
pendidikan tidak terlepas dari peranan kualitas proses pembelajaran, yang dalam
pelaksanaannya lebih ditentukan pendidik/guru berkualitas dan professional.
Agar proses pembelajaran berkualitas dan tetap relevan, up to date terhadap
kebutuhan masyarakat dalam rangka menciptakan SDM, man-power, yakni anak didik
sebagai generasi masa depan yang berkualitas, pendidik hendaknya perlu
menyadari, introspeksi diri dengan mengedepankan pentingnya profesionalisme,
dan beradaptasi dalam iklim sosial-pendidikan
yang dinamis, dan perlu melihat inovasi terhadap teknik pembelajaran.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah diperlukan seorang pendidik
dengan perlunnya meningkatkan kreatif, inovatif, dan bermentalitas professional.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Profesionalisme
guru merupakan kondisi,arah, nilai,tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan
kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan
pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian.
Dilihat dari tugas dan tanggung
jawabnya, pendidik dituntut untuk memiliki beberapa persyaratan untuk menjadi
guru yang profesional yaitu, sebagai berikut:
1.
Menuntut
adanya keteramplilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang
mendalam.
2.
Menekankan
pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
3.
Menuntut
tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
4.
Adanya
kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
5.
Memungkinkan
perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupannya.
Globalisasi
adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi
secara mendunia melalui media cetak maupun elektronik.
Tantangan
profesionalisme guru dalam globalisasi: 1. perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu cepat dan mendasar. 2. krisis “moral”. 3. krisis sosial.
4. krisis identitas sebagai bangsa. 5. adanya perdagangan bebas, baik tingkat
ASEAN, Asia Pasifik, maupun dunia.
2. 2. Saran
Makalah
ini masih mempunyai banyak kelemahan dan kekurangan. Maka dari itu, kepada para
pembaca yang ingin mendalami masalah tentang profesionalisme guru dan
globalisasi, setelah membaca makalah ini membaca dari sumber lain yang lebih
lengkap.
Marilah
kita belajar untuk menjadi seorang calon guru yang profesional dan mampu
menghadapi segala perubahan yang diakibatkan oleh arus globalisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Idi,Abdullah.
2011. Sosiologi Pendidikan: Individu,
Masyarakat, dan Pendidikan.
Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Alimudin.2009.ProfesionalismeGuru.http://alimudinmakalh.blogspot.
com/2009/04/profesionalisme-guru.html. Tanggal: 23 Juni 2014.