Friday, 26 December 2014

APRESIASI SASTRA KELAS RENDAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Apresiasi bukanlah pengetahuan sastra yang harus dihafalkan, melainkan bentuk aktivitas jiwa. Artinya, dalam mengapresiasi, siswa tidak sekedar mengambil informasi yang berkaitan dengan isi atau mencari beberapa simpulan logis. Melalui apresiasi sastra idealnya siswa dapat mengindra atau merasakan kehadiran pelaku, peristiwa, suasana, dan gambaran obyek secara imajinatif. Lebih dari itu, menurut apresiasi harus mencakup tanggapan emosional pada isi cerita, tanggapan pada pelaku atau peristiwa, dan perasaan siswa dalam merasakan/menikmati gaya bahasa pengarang cerita.
Dalam dunia pendidikan kajian sastra mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam pola kebudayaan, sejarah, sosial dan dalam sastra itu sendiri, sebab  Sastra mampu menjawab terhadap apa yang pernah ada di muka bumi,  karena sastra berasal dari hasil pengamatan tentang apa yang terjadi disekelilingnya sebagai opini yang mesti di ungkapkan serta hasil dari akibat pengalaman bathin. Sastra adalah hasil dari olah pikir rasa dan karsa manusia sehingga sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.

B.     Rumusan Masalah
Adapun beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pembelajaran apresiasi puisi sebagai kegiatan reseptif dan ekspresif?
2.      Bagaimana karakteristik cerita anak?
3.      Apa perbedaan jenis bacaan cerita anak?
4.      Bagaimana strategi pembelajaran sastra baik reseptif dan ekspresif?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang akan dibahas, adapun tujuan yang dicapai dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pembelajaran apresiasi puisi sebagai kegiatan reseptif dan ekspresif.
2.      Untuk mengetahui karakteristik cerita anak.
3.      Untuk mengetahui perbedaan jenis bacaan cerita anak.
4.      Untuk mengetahuistrategi pembelajaran sastra baik reseptif dan ekspresif.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pembelajaran Apresiasi Puisi sebagai Kegiatan Reseptif dan Ekspresif
Pada dasarnya puisi anak-anak dan puisi orang dewasa hanya sedikit perbedaannya. Hal utama yang membedakan adalah dari segi bahasa, tema, dan ungkapan gejolak emosi yang digambarkan. Puisi anak yang dilihat dari dunia citraannya digambarkan dalam things (gambaran sesuatu) dan sign yang sesuai dengan pengalaman anak.
Dalam proses pemahaman bacaan sastra untuk anak-anak sekolah dasar dikenal tiga jenis cara atau teknik, yaitu teknik bottom up, teknik top down dan model interaktif. Dari ketiga teknik tersebut yang cocok digunakan untuk memahami puisi anak adalah model interaktif, yaitu pemahaman sebagai hasil decoding dan dengan menghubungkan skema isi yang dimiliki.
Berikut adalah contoh puisi yang cocok untuk anak sekolah dasar jenjang kelas akhir yang akan diapresiasikan dengan menggunakan model interaktif diatas.
LEBAH DAN MAWAR
Adalah seekor lebah
Terbang ke mawar dan sembah
zum, zum, zum, zum
Hai bunga tolong beri aku
Sedikit dari madumu!
zum, zum, zum, zum
Lebah silahkan duduk
Tampaknya malu, ia tunduk
zum, zum, zum, zum
zum, zum, zum, zum
Kembang itu baik peri
Manisan lalu diberikan
zum, sum, zum, zum
zum, zum, zum, zum
zum, zum, zum, zum
Lebah mengambil manisan
Lalu berpantun hiasan
Hai bidadari puteri
Sekarang kumohon diri
zum, zum, zum, zum
zum, zum, zum, zum
(A.    E. Wiranata)
Dalam proses pemahaman, puisi diatas, bisa digunakan model interaktif, yaitu pemahaman melalui proses decoding dan penggunaan skemata. Puisi anak-anak diciptakan melalui penggambaran things dan sign. Karena itu dalam proses pemahamannya pun tidak terlepaskan dari gambaran dari keduan hal diatas. Puisi anak-anak yang awalnya disajikan pada anak sebagai fungsi instrumental dan tidak diajarkan sebagaimana sastra itu sendiri. Begitupun dengan puisi, bila anak ingin mengungkapkan sesuatu, yang ada pertama kali dalam benaknya adalah gambar sesuatu (things) kemudian hadir interpretasi dalam berbagai macam alternative. Penafsiran puisi yang diberikan anak akan sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan mereka karena yang awal diinterpretasikan adalah tanda bukan bendanya.
Sign dalam puisi yang merupakan print out atau system tanda harus ditafsirkan sehingga hadir interpretasi. Dalam menginterpretasikan ini pemahaman anak ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan atau skemata isi yang dimilikinya (prior knowledge). Proses membaca puisi ditandai oleh formulasi hipotesis menyangkut pengertian-pengertian dalam bacaan.
Anak mengawali proses interpretasi puisinya dengan membaca tanda yang berupa kata (lebah, mawar, madu, dst) yang membawa anak berkelana menyusuri skemata isi yang dimilikinya. Untuk memformulasi hipotesis makna puisi “Lebah dan Mawar” ini anak harus mengungkit pengalaman dan pengetahuannya tentang bunga mawar dan binatang lebah yang selalu menghisap madu. Dengan demikian, anak akan mengakumulasikan rasa ingin tahu dan gambaran menemukan jawaban tentang makna puisi itu melalui internalisasi yang mengacu pada gambar makna dalam bacaan dan vicarious experience anak sehingga gambaran makna puisi itu ditemukan.
Berdasarkan uraian diatas, dalam proses pemahaman puisinya, anak menggunakan vicarious experience tentang kehidupan lebah dan mawar serta hubungan kedua things tersebut sehingga dengan mengacu pada skemata isi yang telah dimiliki dan keterbacaan tertentu yang dikompakkan kepada anak sehubungan dengan hal-hal yang bisa menimbulkan ketidakseimbangan (disequilibrium) seperti terlihat pada kata-kata peri, bidadari, puteri, dan bunyi zum, zum, zum, zum,dan diharapkan puisi itu dapat dipahami anak. Jadi, isi penafsiran itu harus sesuai dengan dunia vicarious anak mulai dari signdan penghayatan tings-nya melalui perbandingan secara langsung dan dengan mereflesikan sesuatu tentang mawar dan lebah tersebut yang tersembunyi dalam simbol-simbol.
Bertolak dari uraian diatas, proses membaca puisi diawali dengan penyiapan skemata dalam hubungan timbal balik tentang lebah dan mawar tadi dengan perhatian pada print out sebagai system tanda. Dalam batas yang sulit ditetapkan, terjadi proses pemaknaan yang ditandai dengan terdapatnya rekognisi makna kata, kalimat, atau satuan paparan yang dapat dianalogikan sebagai kalimat seperti terlihat pada bait pertama,
Adalah seekor lebah
Terbang ke mawar dan sembah
zum, zun, zum, zum,
dan penghubungan butir-butir pengertian baik secara restropektif yang mengacu pada pemahaman satuan pengertian sebelumnya maupun secara prospektif yang mengacu pada kemungkinan satuan pengertian lanjut yang mungkin dibuahkan. Penghubungan ini terlihat dalam bait 1 dan 2, dan bait 2 dan 3, dst sehingga terlihat kohesi dan koherensinya. Proses tersebut membuahkan dan diarahkan melalui pemahaman informasi grafofonis. Pemahaman informasi grafofonis itu sendiri berkaitan dengan proses inferensi, rekontruksi butir-butir pengertian dari setiap bait yang secara tentative membuhkan totalitas pemahaman sebagaimana terbentuk dalam komprehensi. Secara srimultan proses diatas idealnya disertai dengan persepsi yang menyangkut gambaran elemen-elemen puisi anak-anak, yaitu ritme, rima bunyi, imajeri, bahasa figurative, dll.
Tanggapan alamiah anak terhadapa ritme sebbuah puisi memiliki jenis music tersendiri yang biasanya sangat ditanggapi oleh anak.Kebiasaan ank memukul-mukul meja, menendang sesuatu, melantunkan kata-kata seperti bernyanyi merupakan bagian dari irama kehidupan sehari-hari anak. Adanya persamaan bunyi akhir setiap bait dan pengulangan “zum” menghadirkan ritme yang menarik bagi anak untuk menirukannya. Dengan demikian pelibatan dunia anak dalam “dunia dalam bacaan” membangkitkan lintasan memori anak akan sesuatu. Aspek rima dan bunyi dalam puisi ini terlihat dari pengulangan dan susunan bunyi zum, juga menambah interes anak.
Imajeri puisi ini bagi anak juga menarik karena betul-betul mengacu pada pengalaman tanggapan inderawi anak terhadap diksi yang ada sehingga memudahkan anak untuk memahami puisi tersebut.Bahasa figurative puisi anak memberikan imaji baru pada anak. Hal ini dapat dilihat dalam bait ke 3 sampai ke 5 melalui pengontrasan keberadaan lebah dan mawar. Bentuk puisi anak secara umum merupakan bentuk prosa.
Pengajaran apresiasi secara ekspresif dapat mengarahkan siswa pada kegiatan pengungkapan ide, gagasan, dan perasaannya melalui pilihan kata yang tepat.Pada implementasinya dikelas siswa dapat diarahkan untuk melalui penulisan puisinya melalui penyusunan kata menjadi bentuk cinquain, haiku, alitostik, dll.

B.     Karakteristik Cerita Anak
Bacaan sastra untuk anak-anak adalah bentuk karya sastra yang disusun untuk konsumsi anak. Bacaan sastra untuk anak dapat berupa puisi ataupun fiksi dengan kategori yang sangat luas, yaitu cerita fantasi, sejarah dan biografi, fiksi ilmiah, dan lain sebagainya. Dalam sastra anak muncul beragam/variasi tema yang sesuai dengan dunia meraka.
Adapun ciri-ciri atau karakteristik bacaan cerita anak-anak bila ditinjau dari beberapa segi antara lain sebagai berikut:
1.      Bentuk Penyajian
Bacaan sastra untuk anak-anak dari segi bentuk penyajian memiliki ciri tertentu dibandingkan dengan bentuk penyajian bacaan sastra untuk orang dewasa. Bentuk penyajian sastra anak-anak memperhatikan format buku, bentuk huruf, variasi warna kertas, ukuran huruf, dan kekayaan gambar.
Format buku sebaiknya disesuaikan dengan dunia anak-anak sehingga memberikan efek khusus kesan visual dari bentuk yang membadani seluruh buku itu.Ilustrasi gambar sampul hendaknya mewakili tema yang digarap dalam buku itu dan harus disesuaikan dengan khalayak penikmatnya (siswa SD).
Bentuk buku untuk anak-anak sebaiknya dipilihkan bentuk persegi panjang yang horizontal dengan ukuran disesuaikan, misalnya, kelas awal dan menengah digunakan ukuran 20,5 x 28 cm, sedangkan untuk kelas tinggi 20,5 x 23 cm. Penjilidan juga turut menentukan minat anak,sebaiknya buku dijilid tebal sehingga tidak mudah rusak, dan divariasikan dengan warna yang variatif yang memberikan efek visual yang menarik.
Ukuran dan bentuk huruf hendaknya tidak terlalu kecil,tetapi juga tidak terlalu besar sehingga tidak menyulitkan anak saat membacanya.Setiap buku untuk anak-anak juga diharapkan dicetak dalam kertas putih bersinar sehingga memberikan efek visual yang lebih, terutama bila didalamnya disajikan banyak gambar dengan mengunakan ilustrasi multiwarna sebagai pengayaan yang memudahkan anak memahami cerita dan membuat mereka lebih tertarik.
Ilustrasi gambar sebagai alat penceritaan harus mampu membuat cerita lebih hidup dan yang lebih penting harus menunjukan adanya harmoni atau kesesuaian dengan cerita.Dengan demikian, bila anak melihat gambar, mereka akan tergolong untuk lebih melatih dirinya dalam mengembangkan persepsi, imajinasi dan bahasa melalui gambar tentang realitas yang dia amati. Gambar yang berisi realitas-imajinasi yang akan dia amati dalam buku cerita yang akan dilihat dibahasakan sebaiknya jangan disajikan memenuhi satu halaman karena akan menggangu persepsi anak.
2.      Bahasa yang digunakan
Ditinjau dari bahasa, bacaan cerita anak-anak sebaiknya memiliki ciri menggunakan bahasa yang sederhana.Penggunaan bahasa mempertimbangkan perkembangan bahasa anak usia sekolah dasar baik dari segi penguasaan struktur tata bahasa maupun dari segi kemampuan anak dalam memproduksi dan memahaminya.
Dalam cerita anak-anak bahasa yang digunakan harus mempertimbangkan penggunaan kosakata dan kalimat. Hal ini dimungkinkan karena dalam proses pemahaman dan penikmatannya anak akan membaca teks melalui proses pemahaman print out yang diarahkan oleh dunia pengalaman dan pengetahuannya.
Teks yang berupa sistem tanda ini menghadirkan gambaran makna dan pengertian tertentu yang dapat dipahami dalam proses decoding dengan mengidentifikasi tulisan, kata-kata, rentetan kata, kombinasi hubungan kalimat atau satuan bentuk yang ditransformasikan sebagai kalimat sampai pada untaian kalimat satuan sintaktik tertentu yang dikembangkan dalam bentuk paragraf atau dalam satuan yang lebih besar (wacana). Oleh karena itu, agar makna bacaan cerita anak dapat dengan mudah dipahami oleh mereka, kata-kata yang dipakai hendaknya sesuai dengan jenis kosakata yang semestinya dikuasai anak SD dengan mengacu pada kenyataan konkret yang diasumsikan dekat dan akrab dengan kehidupan anak.Jika kata-kata yang digunakan masih asing bagi anak, hendaknya dilengkapi dengan ilustrasi gambar atau melalui paparan deskriptif. Pemanfaatan konteks bacaan dan kalimat sebagai petunjuk penafsiran makna suatu kata hendaknya  dipertimbangkan.
Keseimbangan, kemulusan, dan kelancaran proses pemahaman bacaan sastra oleh anak juga ditentukan oleh penggunaan kata-kata yang dari segi bentuk dan maknanya berbeda. Dari segi kalimat, sebaiknya digunakan kalimat sederhana dalam arti tidak terlalu panjang dan tidak banyak menggunakan pelesapan kata. Dengan demikian, agar pengekspresian sesuatu melalui wahana bahasa yang terwujud dalam  bentuk teks dan tersusun dalam bentuk sebuah cerita itu mudah dipahami anak, penggunaan bahasa sangatlah perlu diperhatikan kesesuaiannya terutama dengan tingkat kemampuan membaca anak.
3.      Cara penuturan
Dari segi cara penuturan, ciri bacaan cerita anak diarahkan pada teknik penuturan cerita yang merujuk pada pemilihan kata, penggunaan gaya bahasa, dan teknik penggambaran tokoh dan latar cerita.
Dalam teknik penuturan, pemilihan kata dan gaya bahasa hendaknya disesuaikan dengan keterbacaan anak, yaitu dengan menggunakan kata dan gaya bahasa yang konkret sesuai dengan perkembangan kognitif mereka dan mengacu pada pengertian yang tersurat. Teknik penuturan latar dan tokoh sebaiknya lebih banyak digunakan teknik adegan dilengkapi dengan dialog atau penggambaran dan teknik montase, yaitu penuturan berdasarkan kesan dan observasi yang tersaji secara asosiatif. Ditinjau dari bacaan cerita anak, cara penuturan bisa dilakukan dengan cara reportatif, deskriptif, naratif, atau secara langsung. Dalam teknik penuturan sebaiknya yang digunakan adalah teknik penyajian naratif yang memang banyak digunakan dalam cerita anak-anak.Meskipun demikian, didalamnya masih tetap mendukung repertoar dan deskripsi berupa ilustrasi gambar. Pemilihan teknik penuturan biasanya disesuaikan dengan keterbacaan anak, seperti cara naratif atau bisa juga dengan menggunakan gaya penuturan lakuan melalui dialog dan narasi dan digambarkan secara hidup dan menarik sehingga dipahami oleh anak. Penuturan secara langsung kurang cocok digunakan karena tidak mengembangkan imajinasi anak.
4.      Tokoh, penokohan, latar, plot, dan tema
Dari segi tokoh, cerita anak-anak menampilkan tokoh yang jumlahnya tidak terlalu banyak (tidak melebihi 6 pelaku). Hal ini dimaksudkan agar tidak membingungkan anak dalam memahami alur cerita yang tergambarkan melalui rentetan peristiwa yang ada. Penokohan atau karakterisasi tokoh dilakukan dengan tegas dan langsung menggambarkan wataknya dengan dilengkapi oleh penggambaran fisik dengan cara yang jelas. Karakterisasi juga bisa dilakukan melalui penggambaran perilaku tokoh-tokoh yang tergambarkan dalam alur. Motivasi dan peran yang diemban para tokoh digambarkan dengan tegas secara imajinatif.
Latar cerita, anak hendaknya menggambarkan tempat-tempat tertentu yang menarik minat mereka, misalnya tempat persembunyian John Wayne (dalam “Batman”) atau Clark (dalam “superman”) saat mereka mengganti baju atau berubah menjadi tokoh Batman dan Superman dalam cerita jenis fantasi. Dalam jenis cerita lain tempat hendaknya disesuaikan kedekatannya dalam kehidupan anak, misalnya, lingkungan rumah, sekolah, tempat bermain, dan kebun binatang. Latar cerita yang digunakan harus mampu mengaktualisasikan dan menghidupkan cerita.
Dari segi alur atau plot, bacaan cerita anak-anak mengandung plot yang bersifat linier dan berpusat pada satu cerita sehingga tidak membingungkan anak. Rentetan peristiwanya dikisahkan dengan cara yang tidak kompleks dan menunjukkan hubungan sebab akibat yang diungkapkan secara jelas dan digambarkan secara hidup dan menarik.
Tema bacaan cerita anak biasanya sesuai dengan minat mereka, misalnya tentang keluarga, berteman, cerita misteri, petualangan, fantasi, cerita yang lucu-lucu, tentang binatang, dan cerita kepahlawanan.
Point of view dalam cerita anak-anak dipilih penutur dan disesuaikan dengan karakteristik gambar peristiwanya. Penutur tidak meng-aku-kan diri yang berperan sebagai pelaku karena akan menimbulkan kesan aneh. Jadi,  hendaknya penuturan langsung menggunakan penyebutan nama.

C.    Perbedaan Jenis Bacaan Cerita Anak
1.      Cerita Bergambar
a)      Buku Informasi dan Buku Cerita
Dalam konteks ini, buku dibedakan dalam dua hal yang berbeda, yaitu “buku informasi” dan “buku cerita”.Dasar pengelompokkan ini dilihat dari penggunaan ilustrasi yang menggunakan gambar sebagai medianya.Penggunaan gambar inni berfungsi sebagai wahana pengembangan cerita.Dalam buku informasi, seperti “buku abjad” (alphabet books), buku berhitung (counting books) dan buku-buku konsep (concept books), gambar yang dipergunakan semata-mata berfungsi untuk memberikan satu pesan khusus.
Sedangkan buku cerita menggunakan media gambar untuk memberikan gambaran atau ilustrasi yang berkaitan dengan “penokohan, latar, dan plot”.Kemudian, buku cerita dalam hal ini, dibedakan menjadi buku cerita bergambar tanpa kata dan buku cerita dengan kata.
b)      Buku Cerita Bergambar Tanpa kata
Dalam cerita bergambar tanpa kata, buku tersebut mengandalkan pada penggunaan media gambar sebagai wahana pengembangan cerita.Pada buku tanpa kata ini, lebih menonjolkan unsur fantasinya. Namun, jika disimak dengan lebih seksama maka kadar kerealistisan dari cerita itu tidak lepas dari kehidupan sehari-hari. Sekalipun, lebih didominasi oleh tokoh-tokoh binatang, namun binatang yang berperikemanusiaan.
c)      Media dan Ilustrasi sebagai Wahana Penceritaan
Media dan ilustrasi sebagai wahana penceritaan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1)      Buku cerita bergambar
Dalam buku bergambar, ilustrasi yang digunakan berupa gambar dimaksudkan untuk dapat memberikan satu pesan keseluruhan dari suatu objek atau masalah yang dimaksudkan dengan tampilan gambar tersebut.Buku berilustrasi biasanya diperuntukkan bagi konsumsi pembaca tingkat lanjut atau bagi anak-anak yang berusia agak dewasa.
2)      Buku bercerita bergambar
Gambar yang digunakan dalam buku cerita bergambar berfungsi untuk mengilustrasikan: penokohan, latar, setting, dan kejadian yang dipakai untuk membangun suatu plot dari suatu cerita.
3)      Buku berilustrasi
Buku berilustrasi biasanya diperuntukkan bagi konsumsi pembaca tingkat lanjut atau bagi anak-anak yang berusia agak dewasa. Penikmat buku berilustrasi berprasyarat keterampilan membaca lanjut. Melihat keberadaan buku tersebut ampilan gambar, berilustrasi mempertegas atau memperjelas keterbacaan.
2.      Cerita Rakyat
Cerita rakyat didefinisikan sebagai semua bentuk narasi yang tertulis atau lisan yang ada terus sepanjang tahun.Definisi ini mencakup syair kepahlawanan, balada, legenda, dan lagu-lagu rakyat sebagaimana dongeng dan cerita binatang.

Ada beberapa bentuk cerita rakyat menurut versi huck sebagai berikut :
a)      Cerita Kumulatif
Anak-anak tertarik pada cerita-cerita kumulatif ata cerita berangkai/ bersusun, misalnya cerita tentang Wanita Tua dan Babinya. Cerita kumulatif ini banyak mengulang hal-hal penting untuk membangun klimaks yang cepat.
b)      Cerita Pourqoui
Beberapa cerita rakyat merupakan cerita-cerita ‘why’ atau pourqui yang menerangkan tentang sifat-sifat atau ciri binatang tertentu atau kebiasaan manusia atau masyarakat. Misalnya, mengapa binatang atau manusia mempunyai sifat atau kebiasaan seperti itu.
c)      Cerita Binatang
Dalam cerita binatang, binatang tersebut bertingkah laku seperti manusia. Anak-anak suka membandingkan versi dari berbagai cerita terkenal, mengamati perbedaan pemeranan, teknik ilustrasi, media, dan penggunaan bahasa pencerita. Di indonesia cerita-cerita binatang tersebut jug kita temui dalam berbagai versi misalnya: Kancil yang Cerdik, Burung Bangupai dan Puan, dan banyak vesi yang lain.
d)     Cerita Noodlehead
Merupakan bagian dari semua budaya rakyat. Cerita tersebut mengikuti pola-pola. Kelucuan dari cerita ini adalah omong kosongnya, kemustahilan, ketololan dan kedunguan. Anak-anak senang meskipun ia mengtahui bahwa cerita-cerita itu mungkin tidak akan terjadi. Cerita-cerita noodlehead banyak kita temui di indonesia, misalnya, Pak Kodok, Pak Pandir, Pak Belalang, Lebai Malang.
e)      Cerita keajaiban
Anak-anak sering menyebut cerita keajaiban sebagai sihir dan cerita peri yang gaib. Sedikit sekali cerita-cerita tersebut yang mempunyai wali wanita. Secara tradisi kita menganggap cerita peri melibatkan percintaan dan petualangan, misalnya, Cinderella, Putihya salju, Tiga keinginan. Sementara itu, untuk jenis cerita nyata/realistik hanya sedikit termasuk dalam hikayat/cerita.
3.      Fabel, Legenda dan mitos sebagai Karya Tradisional
Fabel merupakan cerita mengenai kehidupan binatang. Adapun karakteristik (ciri-ciri) fable yakni: berkisah tentang binatang, atau unsure alam lain yang mampu berbicara layaknya sebagai manusia, bersifat simbolis, bersifat didaktis, moralistis, ringkas, dan sederhana.
Legenda didefinisikan sebagai dongeng yang diciptakan masyarakat sehubungan dengan keadaan alam dan nama sebuah daerah. Dongeng biasanya menceritakan terjadinyanama kota, gunung, pulau, dan sebagainya.
Sedangkan mitos dapat diartikan sebagai cerita-cerita anonym mengenai asal mula alam semesta dan nasib serta tujuan hidup.Mitos juga dapat berarti sebagai dongeng yang menceritakan makhlus halus, setan, hantu, dan sebagainya.
4.      Cerita Fantasi
Cerita fantasi merupakan cerita yang dibuat berdasarkan imajinasi dan seseorang yang seakan ada dalam kehidupan sehari-hari tetapi kenyataannya hanya ada dalam impian.
Karakteristik cerita fantasi anak adalah nilai pendidikan, dimana nilai pendidikan di dalam cerita anak diharapkan dapat mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak untuk menunjang perkembangan berbahasa, kognitif, kepribadian, dan bermasyarakat atau sosial.
Jenis-jenis cerita fantasi antara lain yaitu cerita rakyat, binatang, boneka mainan, cerita menakutkan/gaib, cerita petualangan, cerita fantasi modern.
5.      Fiksi Ilmu Pengetahuan
Fiksi ilmu pengetahuan adalah suatu bentuk fantasi berdasarkan bentuk hipotesis tentang ramalan yang masuk akal.Salah satu dari nilai fiksi ilmu pengetahuan untuk anak-anak adalah kemampuan untuk membangun imajinasi, intuisi, dan keluwesan pada pikiran pembaca.Cerita fiksi ilmu pengetahuan yang diberikan untuk anak-anak sangatlah penting sebagai alat penambah pengetahuan, disamping untuk pelajaran-pelajaran yang mereka peroleh dari sekolah/rumah.
6.      Cerita Sejarah
Cerita sejarah didekskripsikan sebagai cerita rekaan yang timbul di suatu masa yang lalu (masa lampau). Cerita sejarah menampilkan sebuah masalah atau konflik plot yang ganjil terhadap waktu. Biasanya masalah yang dimunculkan yakni masalah-masalah yang dialami manusia di segala zaman.
Sedangkan kriteria cerita sejarah yakni buku sejarah harus menarik, cerita sejarah tidak harus tepat dan otentik, sejarah harus secara akurat merefleksikan semangat atau jiwa dan nilai yang terjadi pada waktu itu beserta kejadiannya, keotentikan bahasa dalam cerita sejarah harus pula mendapat perhatian, dan cerita sejarah harus tetap berpijak dengan seksama pada tempat sejarahnya.
7.      Biografi
Biografi menceritakan tentang keadaan atau perjalanan hidup seseorang. Biografi dalam dunia anak-anak kita nampaknya masih asing karena nampaknya buku biografi untuk anak-anak mah belum banyak jumlahnya bahkan jarang.
Bentuk biografi dapat dibedakan menjadi dua yakni :
a)      Biografi otentik, yaitu biografi yang berkaitan dengan biografi untuk orang dewasa.
b)      Biografi yang difiksikan, yaitu biografi yang dituliskan berdasarkan penelitian yang mendalam, namun membiarkan pengarang mendramatisir peristiwa-peristiwa tertentu dan mempersonalikan subjek tersebut, bukan sekadar melaporkan langsung seperti biografi otentik.



D.    Strategi Pembelajaran Sastra Baik Reseptif dan Ekspresif
Hal yang erat sekali hubungannya dengan penumbuhan minat pada siswa adalah penggunaan teknik evaluasi pembelajaran.Selama ini, evalusi pembelajaran sastra lebih diarahkan pada penguasaan teori dan sejarah sastra.Soal-soal buatan guru ataupun soal standar nasional belum berorientasi sepenuhnya pada evaluasi yang bersifat apresiatif. Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya beranjak dari hakikat karya sastra sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi yang beragam, yang mungkin berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Karenanya, penggunaan soal bentuk isian ataupun soal uraian tampaknya lebih tepat digunakan dalam evaluasi pembelajaran sastra. Penggunaan soal bentuk yang lain, pilihan ganda misalnya, memaksa siswa untuk memilih satu jawaban yang dianggap paling tepat oleh pembuat soal sehingga interpretasi personal siswa tidak berkembang.
1.      Strategi Prosa Fiksi
Tugas guru bahasa dan sastra Indonesia adalah akan berurusan dengan pengajaran sastra. Hal ini agar guru dapat menanamkan apresiasi sastra pada diri siswanya, sebagai salah satu tuntunan kurikulum sekolah dalam bidang pengajaran bahasa dan sastra yang ditunjang dengan dengan strategi-strategi pengajarannya, seperti pemilihan bahan ajar, cara penyajian, dan sebagainya.
a.       Strategi Analisis
Agar analisis tidak merusak proses penikmatan perlu diperhatikan hakikat dan tujuan analisis adalah :
·      Mengenal bagian-bagian yang membangun cipta sastra
·      Menentukan hubungan antar bagian
·      Menemukan hubungan bagian-bagian tersebut dengan struktur keseluruhan
Analisis selalu diakhiri dengan munculnya pengertian/kesan yang penuh cipta sebagai suatu keseluruhan yang utuh (Kenny, 1966). Dengan analisi, keterampilan intelektual dan nasional dapat berkembang hingga dengan latihan analisis pada akhirnya pembaca akan sampai pada kesenangan untuk mengerjakannya, yang berartiu muncul menggemari, menikmati cipta sastra yang bersangkutan.
2.      Strategi Model Gordon
Model ini ditawarkan oleh Willian J.J Gordon, karena itu disebut model Gordon. Model ini menekankan pada keaktifan dan kreativitas siswa. Model Gordon mengenal tiga teknik, yaitu :
a.         Analogi personal
b.         Analogi langsung
c.         Konflik kempaan
Prinsip yang harus dipegang dari model Gordon adalah :
a.         Jangan membatasi pengalaman yang mungkin diperoleh siswa
b.         Hormati gagasan-gagasan yang muncul
c.         Jangan takuti siswa dengan soal ujian
d.        Biarlah siswa berproses secara bebas
e.         Berilah ruang untuk mengadu pendapat, karena perbedaan individual sangat mungkin terjadi
f.          Gugahlah mereka sehingga timbul ide-ide kreatif dan produktif mereka.
3.      CDA (Critical Discourse Analysis) sebagai model
Dalam CDA, pembelajaran sastra dapat dilakukan dengan tata cara sebagai berikut :
a.         Pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara analisis.
b.         Penguntaian asosiasi semantic dalam wacana dengan konteks, wacana lain secara intertertekstual, maupun pola-pola paraanggapan yang terkait praanggapan logis, semantic, maupun pragmatis.
c.         Asumsi implicit yang melatarbelakangi, ciri koherensinya dengan makna dalam wacana, dan inferensi.
d.        Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis.
·           Penyajian Pengajaran
Rahmanto (1988) menguraikan tata cara penyajian yang perlu diperhatikan oleh setiap guru dalam memberikan pengajaran prosa, antara lain meliputi beberapa tahap sebagai berikut:
a.       Pelacakan/pendahuluan
Sebelum prosa disajikan kepada siswa, guru sebaiknya menilik judulnya, isinya, dab bahasa yang sesuai dengan perkembangan siswa.
b.      Penentuan sikap praktis
Untuk memperoleh gambaran tentang isi prosa perlu dibandingkan dengan karya lainnya dengan memperhatikan tema yang sama.
c.       Introduksi
Guru memberi stimulus kepada siswa dengan cara mengomentari secara singkat jenis prosa yang telah dibacanya agar siswa mempunyai pengetahuan awal tentang bahan yang akan dibaca. Setelah itu, siswa disuruh membaca, baik secara individu, keompok atau bergiliran di depan kelas. Tugas membaca tidak harus diselesaikan pada satu kali tatap muka saja, melainkan beberapa kali tatap muka bahkan dapat pula dilanjutkan siswa membaca di rumah.
d.      Penyajian
Sebelum memulai membahas guru seharusnya telah menyiapkan beberapa pertanyaan bab demi bab secara betahap yang berhubungan dengan isi cerita, misalnya tema, alur, penokohan. Untuk mengembangkan minat baca siswa dan memacu meningkatkan kecepatan membaca, guru dapat menggunakan cara lain seperti pembuatan synopsis baik laporan tertulis atau lisan yang diseritakan secara berantai dikelas.
e.       Tugas-tugas praktis
Selama proses pengajaran, setelah semua selesai dibaca, guru dapat memberikan tugas-tugas paraktis di rumah, seperti membuat diagram tokoh latar cerita dan alur, baik cerita yang dibaca, didengar dari radio, orang lain atau yang diliaht dari televise atau panggung pentas.
f.       Diskusi
Untuk mengakhiri pengajaran sastra, dapat dilakukan dengan diskusi kelompok dan dipresentasikan baik secara lisan maupun tertulis, misalnya mengenai analisis cerita dengan berbagai pendekatan objektif, pragmatic, mimesis, dan ekspresif.
·           Model Pengajaran Sastra
1)      Model Strata
Strategi ini diperoleh dari tulisan seorang ahli pendidikan yang bernama Leslie Strata sehingga disebut strategi strata. Wardhani (1981) mengemukakan langkah dalam strategi ini yakni:
a.       Penjelajahan
Siswa melakukan penjelajahan terhadap cipta sastra yang disukainya atau yang disrankan oleh guru.Penjelajahan dapat dilakukan dengan membaca, bertanya, mengamati/menyaksikan pementasan, dan kegiatan yang bertujuan untuk mendapat pemahaman tentang cipta sastra yang sedang dijelajahi.
b.      Interpretasi
Setelah penjelajahan, dilakukuanlah penafsiran terhadap cipta sastra yang dijelajahi. Penafsiran dapat dilakukan dengan presentasi atau sutau penampilan lain. Dapat pula dengan menganalisis unsure-unsur yang membangun cipta sastra tersebut.
c.       Re-Kreasi
Langkah ini adalah langkah pendalaman. Siswa diminta untuk mengkreasikan kembali apa yang telah dipahaminya. Misalnya, mengubah bentuk cerita menjadi drama, menuliskan suatu bagian dalam sastra klasik dengan gaya masa kini, dan sebagainya.
Cara melaksanakan setiap langkah di atas bergantung pada teknik yang ingin dipergunakan oleh guru.Strategi ini memungkinkan guru bekerja dengan siswa dalam kelompok-kelompok ataupun secara perorangan.
2)      Model Taba
Strategi ini terdiri atas tahap-tahap.Setiap tahap diprakarsai oleh guru dengan pertanyaan guru menetukan jenis kegiatan siswa. Siswa secara berurut terlibat dalam suatu proses pembentukan generalisasi., penjelasan/penafsiran, dan ramalan kesimpulan baru (penerapan).
Ada tigatahap pokok dalam model taba ini.Setiap tahap dapat dikembangkan lagi menjadi tahap-tahap baru sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan.
a.       Pembentukan konsep
b.      Penafsiran data
c.       Penerapan prinsip
Penerapan model taba, prinsipnya diperlukan pengkajian unsure-unsur sastra baik intrinsic Maupin ekstrinsik.Siswa harus digiring kea rah generalisasi.Model ini mengikuti pola pemikiran induktif. Melalui model ini, siswa kan bebas terlibat dalam sebuah karya sastra. Mereka dapat membaca sendiri, mendengarkan sebuah pembacaan sastra, menyaksikan pentas drama, selanjutnya diminta member tanggapan.Dari sekian tanggapan siswa, lalu dirangkum, dicari titik temunya, kemudian disimpulkan.
3)      Model Moody
Moody dalam Endraswara (2005) menunjukkan enam tahap penyajian pengajaran sastra yang dapat diterapkan pada apresiasi puisi, yaitu:
a.       Preliminary assessment
b.      Practical decision
c.       Introduction of the work
d.      Presentation of the work
e.       Discussion
f.       Reinforcement (testing)

     
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
·         Apresiasi terhadap bentuk puisi dapat dilakukan dengan cara membaca puisi dengan suara nyaring atau mendengarkan pembacaan puisi (poetary reading) dan deklamasi.
·         Karakteristik cerita anak dintinjau dari beberapa segi, yaitu: bentuk penyajian, bahasa yang digunakan, cara penuturan, tokoh, penokohan, latar, plot, dan tema.
·         Perbedaan jenis bacaan cerita anak yaitu cerita bergambar dan cerita rakyat. Cerita bergambar terdiri atas: 1. Buku Informasi dan Buku CeritaBuku; 2. Cerita Bergambar Tanpa Kata; 3. Media dan Ilustrasi sebagai Wahana Penceritaan.
·         Terdapat 3 strategi dalam pembelajaran apresiasi sastra baik reseptif dan ekspresif, yaitu: 1. Strategi Prosa Fiksi; 2. CDA (Critical Discourse Analysis) sebagai model; 3. Strategi Model Gordon. Serta terdapat 3 model pembelajaran sastra pada makalah ini, yaitu: Model Strata, Model Taba dan Model Moody.

B.     Saran
Seorang guru hendaknya dapat mengajarkan sastra dengan baik kepada siswa. Apabila sastra tersebut berupa cerita, maka guru harus memperhatikan bacaan cerita sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Sehingga mempermudah siswa dalam mempelajari sastra.


DAFTAR PUSTAKA

UPI. (2011). Bahan Ajar Bahasa Indonesia SD/MI. Bandung: UPI.
Lestari, P. (2011). Makalah Pengajaran Sastra. [Online]
Tersedia: http://chocochipzluvondhe-ondhe.blogspot.com/2011/04/makalah-pengajaran-sastra.html