BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Apresiasi
bukanlah pengetahuan sastra yang harus dihafalkan, melainkan bentuk aktivitas
jiwa. Artinya,
dalam mengapresiasi, siswa tidak sekedar mengambil informasi yang berkaitan
dengan isi atau mencari beberapa simpulan logis. Melalui apresiasi
sastra idealnya siswa dapat mengindra atau merasakan kehadiran pelaku,
peristiwa, suasana, dan gambaran obyek secara imajinatif. Lebih dari itu,
menurut apresiasi harus mencakup tanggapan emosional pada isi cerita, tanggapan
pada pelaku atau peristiwa, dan perasaan siswa dalam merasakan/menikmati gaya
bahasa pengarang cerita.
Dalam
dunia pendidikan kajian sastra mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar
dalam pola kebudayaan, sejarah, sosial dan dalam sastra itu sendiri,
sebab Sastra mampu menjawab terhadap apa yang pernah ada di muka
bumi, karena sastra berasal dari hasil pengamatan tentang apa yang
terjadi disekelilingnya sebagai opini yang mesti di ungkapkan serta hasil dari
akibat pengalaman bathin. Sastra adalah hasil dari olah pikir rasa dan karsa
manusia sehingga sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun beberapa rumusan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pembelajaran apresiasi puisi sebagai
kegiatan reseptif dan ekspresif?
2. Bagaimana
karakteristik cerita
anak?
3. Apa perbedaan jenis bacaan cerita anak?
4. Bagaimana strategi pembelajaran sastra baik reseptif
dan ekspresif?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang
akan dibahas, adapun tujuan yang dicapai dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui
pembelajaran apresiasi puisi sebagai kegiatan reseptif dan ekspresif.
2. Untuk
mengetahui karakteristik
cerita anak.
3. Untuk
mengetahui perbedaan jenis bacaan
cerita anak.
4. Untuk
mengetahuistrategi pembelajaran sastra
baik reseptif dan ekspresif.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pembelajaran Apresiasi Puisi sebagai Kegiatan
Reseptif dan Ekspresif
Pada
dasarnya puisi anak-anak dan puisi orang dewasa hanya sedikit perbedaannya. Hal utama yang
membedakan adalah dari segi bahasa, tema, dan ungkapan gejolak emosi yang
digambarkan. Puisi anak yang dilihat dari dunia citraannya digambarkan dalam things (gambaran sesuatu) dan sign yang sesuai dengan pengalaman anak.
Dalam
proses pemahaman bacaan sastra untuk anak-anak sekolah dasar dikenal tiga jenis
cara atau teknik, yaitu teknik bottom up, teknik top down dan model interaktif.
Dari ketiga teknik tersebut yang cocok digunakan untuk memahami puisi anak
adalah model interaktif, yaitu pemahaman sebagai hasil decoding dan dengan
menghubungkan skema isi yang dimiliki.
Berikut
adalah contoh puisi yang cocok untuk anak sekolah dasar jenjang kelas akhir
yang akan diapresiasikan dengan menggunakan model interaktif diatas.
LEBAH
DAN MAWAR
Adalah seekor lebah
Terbang ke mawar dan
sembah
zum,
zum, zum, zum
Hai bunga tolong beri
aku
Sedikit dari madumu!
zum,
zum, zum, zum
Lebah silahkan duduk
Tampaknya malu, ia
tunduk
zum,
zum, zum, zum
zum,
zum, zum, zum
Kembang itu baik peri
Manisan lalu diberikan
zum,
sum, zum, zum
zum,
zum, zum, zum
zum,
zum, zum, zum
Lebah mengambil manisan
Lalu berpantun hiasan
Hai bidadari puteri
Sekarang kumohon diri
zum,
zum, zum, zum
zum,
zum, zum, zum
(A. E.
Wiranata)
Dalam
proses pemahaman, puisi diatas, bisa digunakan model interaktif, yaitu
pemahaman melalui proses decoding dan penggunaan skemata. Puisi anak-anak
diciptakan melalui penggambaran things dan sign. Karena itu dalam proses
pemahamannya pun tidak terlepaskan dari gambaran dari keduan hal diatas. Puisi
anak-anak yang awalnya disajikan pada anak sebagai fungsi instrumental dan
tidak diajarkan sebagaimana sastra itu sendiri. Begitupun dengan puisi,
bila anak ingin mengungkapkan sesuatu, yang ada pertama kali dalam benaknya
adalah gambar sesuatu (things) kemudian hadir interpretasi dalam berbagai macam
alternative. Penafsiran puisi yang diberikan anak akan sesuai dengan pengalaman
dan pengetahuan mereka karena yang awal diinterpretasikan adalah tanda bukan
bendanya.
Sign dalam puisi
yang merupakan print out atau system
tanda harus ditafsirkan sehingga hadir interpretasi. Dalam menginterpretasikan
ini pemahaman anak ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan atau skemata isi
yang dimilikinya (prior knowledge).
Proses membaca puisi ditandai oleh formulasi hipotesis menyangkut
pengertian-pengertian dalam bacaan.
Anak
mengawali proses interpretasi puisinya dengan membaca tanda yang berupa kata
(lebah, mawar, madu, dst) yang membawa anak berkelana menyusuri skemata isi
yang dimilikinya. Untuk memformulasi hipotesis makna puisi “Lebah dan Mawar”
ini anak harus mengungkit pengalaman dan pengetahuannya tentang bunga mawar dan
binatang lebah yang selalu menghisap madu. Dengan demikian, anak akan
mengakumulasikan rasa ingin tahu dan gambaran menemukan jawaban tentang makna
puisi itu melalui internalisasi yang mengacu pada gambar makna dalam bacaan dan
vicarious experience anak sehingga
gambaran makna puisi itu ditemukan.
Berdasarkan
uraian diatas, dalam proses pemahaman puisinya, anak menggunakan vicarious experience tentang kehidupan
lebah dan mawar serta hubungan kedua things
tersebut sehingga dengan mengacu pada skemata isi yang telah dimiliki dan
keterbacaan tertentu yang dikompakkan kepada anak sehubungan dengan hal-hal
yang bisa menimbulkan ketidakseimbangan (disequilibrium)
seperti terlihat pada kata-kata peri,
bidadari, puteri, dan bunyi zum, zum,
zum, zum,dan diharapkan puisi itu dapat dipahami anak. Jadi, isi penafsiran
itu harus sesuai dengan dunia vicarious anak mulai dari signdan penghayatan tings-nya
melalui perbandingan secara langsung dan dengan mereflesikan sesuatu tentang
mawar dan lebah tersebut yang tersembunyi dalam simbol-simbol.
Bertolak
dari uraian diatas, proses membaca puisi diawali dengan penyiapan skemata dalam
hubungan timbal balik tentang lebah dan mawar tadi dengan perhatian pada print
out sebagai system tanda. Dalam batas yang sulit ditetapkan, terjadi proses
pemaknaan yang ditandai dengan terdapatnya rekognisi makna kata, kalimat, atau
satuan paparan yang dapat dianalogikan sebagai kalimat seperti terlihat pada
bait pertama,
Adalah
seekor lebah
Terbang
ke mawar dan sembah
zum,
zun, zum, zum,
dan penghubungan
butir-butir pengertian baik secara restropektif yang mengacu pada pemahaman
satuan pengertian sebelumnya maupun secara prospektif yang mengacu pada
kemungkinan satuan pengertian lanjut yang mungkin dibuahkan. Penghubungan ini
terlihat dalam bait 1 dan 2, dan bait 2 dan 3, dst sehingga terlihat kohesi dan
koherensinya. Proses tersebut membuahkan dan diarahkan melalui pemahaman informasi
grafofonis. Pemahaman informasi grafofonis itu sendiri berkaitan dengan proses
inferensi, rekontruksi butir-butir pengertian dari setiap bait yang secara
tentative membuhkan totalitas pemahaman sebagaimana terbentuk dalam
komprehensi. Secara srimultan proses diatas idealnya disertai dengan persepsi
yang menyangkut gambaran elemen-elemen puisi anak-anak, yaitu ritme, rima
bunyi, imajeri, bahasa figurative, dll.
Tanggapan
alamiah anak terhadapa ritme sebbuah puisi memiliki jenis music tersendiri yang
biasanya sangat ditanggapi oleh anak.Kebiasaan ank memukul-mukul meja,
menendang sesuatu, melantunkan kata-kata seperti bernyanyi merupakan bagian
dari irama kehidupan sehari-hari anak. Adanya persamaan bunyi akhir setiap bait
dan pengulangan “zum” menghadirkan ritme yang menarik bagi anak untuk
menirukannya. Dengan demikian pelibatan dunia anak dalam “dunia dalam bacaan”
membangkitkan lintasan memori anak akan sesuatu. Aspek rima dan bunyi dalam
puisi ini terlihat dari pengulangan dan susunan bunyi zum, juga menambah
interes anak.
Imajeri
puisi ini bagi anak juga menarik karena betul-betul mengacu pada pengalaman
tanggapan inderawi anak terhadap diksi yang ada sehingga memudahkan anak untuk
memahami puisi tersebut.Bahasa figurative puisi anak memberikan imaji baru pada
anak. Hal ini dapat dilihat dalam bait ke 3 sampai ke 5 melalui pengontrasan
keberadaan lebah dan mawar. Bentuk puisi anak secara umum merupakan bentuk
prosa.
Pengajaran
apresiasi secara ekspresif dapat mengarahkan siswa pada kegiatan pengungkapan
ide, gagasan, dan perasaannya melalui pilihan kata yang tepat.Pada
implementasinya dikelas siswa dapat diarahkan untuk melalui penulisan puisinya
melalui penyusunan kata menjadi bentuk cinquain, haiku, alitostik, dll.
B.
Karakteristik Cerita Anak
Bacaan
sastra untuk anak-anak adalah bentuk karya sastra yang disusun untuk konsumsi
anak. Bacaan
sastra untuk anak dapat berupa puisi ataupun fiksi dengan kategori yang sangat
luas, yaitu cerita fantasi, sejarah dan biografi, fiksi ilmiah, dan lain
sebagainya. Dalam
sastra anak muncul beragam/variasi tema yang sesuai dengan dunia meraka.
Adapun
ciri-ciri atau karakteristik bacaan cerita anak-anak bila ditinjau dari
beberapa segi antara lain sebagai berikut:
1. Bentuk
Penyajian
Bacaan sastra untuk anak-anak dari segi bentuk
penyajian memiliki ciri tertentu dibandingkan dengan bentuk penyajian bacaan
sastra untuk orang dewasa. Bentuk
penyajian sastra anak-anak memperhatikan format buku, bentuk huruf, variasi
warna kertas, ukuran huruf, dan kekayaan gambar.
Format buku sebaiknya disesuaikan dengan dunia
anak-anak sehingga memberikan efek khusus kesan visual dari bentuk yang
membadani seluruh buku itu.Ilustrasi gambar sampul hendaknya mewakili tema yang
digarap dalam buku itu dan harus disesuaikan dengan khalayak penikmatnya (siswa
SD).
Bentuk buku untuk anak-anak sebaiknya dipilihkan
bentuk persegi panjang yang horizontal dengan ukuran disesuaikan, misalnya,
kelas awal dan menengah digunakan ukuran 20,5 x 28 cm, sedangkan untuk kelas
tinggi 20,5 x 23 cm. Penjilidan juga turut menentukan minat anak,sebaiknya buku
dijilid tebal sehingga tidak mudah rusak, dan divariasikan dengan warna yang
variatif yang memberikan efek visual yang menarik.
Ukuran dan bentuk huruf hendaknya tidak terlalu
kecil,tetapi juga tidak terlalu besar sehingga tidak menyulitkan anak saat
membacanya.Setiap buku untuk anak-anak juga diharapkan dicetak dalam kertas
putih bersinar sehingga memberikan efek visual yang lebih, terutama bila
didalamnya disajikan banyak gambar dengan mengunakan ilustrasi multiwarna
sebagai pengayaan yang memudahkan anak memahami cerita dan membuat mereka lebih
tertarik.
Ilustrasi gambar sebagai alat penceritaan harus
mampu membuat cerita lebih hidup dan yang lebih penting harus menunjukan adanya
harmoni atau kesesuaian dengan cerita.Dengan demikian, bila anak melihat
gambar, mereka akan tergolong untuk lebih melatih dirinya dalam mengembangkan
persepsi, imajinasi dan bahasa melalui gambar tentang realitas yang dia amati.
Gambar yang berisi realitas-imajinasi yang akan dia amati dalam buku cerita
yang akan dilihat dibahasakan sebaiknya jangan disajikan memenuhi satu halaman
karena akan menggangu persepsi anak.
2. Bahasa
yang digunakan
Ditinjau dari bahasa, bacaan cerita anak-anak
sebaiknya memiliki ciri menggunakan bahasa yang sederhana.Penggunaan bahasa
mempertimbangkan perkembangan bahasa anak usia sekolah dasar baik dari segi
penguasaan struktur tata bahasa maupun dari segi kemampuan anak dalam
memproduksi dan memahaminya.
Dalam cerita anak-anak bahasa yang digunakan harus
mempertimbangkan penggunaan kosakata dan kalimat. Hal ini dimungkinkan karena
dalam proses pemahaman dan penikmatannya anak akan membaca teks melalui proses
pemahaman print out yang diarahkan
oleh dunia pengalaman dan pengetahuannya.
Teks yang berupa sistem tanda ini menghadirkan
gambaran makna dan pengertian tertentu yang dapat dipahami dalam proses
decoding dengan mengidentifikasi tulisan, kata-kata, rentetan kata, kombinasi
hubungan kalimat atau satuan bentuk yang ditransformasikan sebagai kalimat
sampai pada untaian kalimat satuan sintaktik tertentu yang dikembangkan dalam
bentuk paragraf atau dalam satuan yang lebih besar (wacana). Oleh karena itu,
agar makna bacaan cerita anak dapat dengan mudah dipahami oleh mereka,
kata-kata yang dipakai hendaknya sesuai dengan jenis kosakata yang semestinya
dikuasai anak SD dengan mengacu pada kenyataan konkret yang diasumsikan dekat
dan akrab dengan kehidupan anak.Jika kata-kata yang digunakan masih asing bagi
anak, hendaknya dilengkapi dengan ilustrasi gambar atau melalui paparan
deskriptif. Pemanfaatan konteks bacaan dan kalimat sebagai petunjuk penafsiran
makna suatu kata hendaknya
dipertimbangkan.
Keseimbangan, kemulusan, dan kelancaran proses
pemahaman bacaan sastra oleh anak juga ditentukan oleh penggunaan kata-kata yang
dari segi bentuk dan maknanya berbeda. Dari segi kalimat, sebaiknya digunakan
kalimat sederhana dalam arti tidak terlalu panjang dan tidak banyak menggunakan
pelesapan kata. Dengan demikian, agar pengekspresian sesuatu melalui wahana
bahasa yang terwujud dalam bentuk teks
dan tersusun dalam bentuk sebuah cerita itu mudah dipahami anak, penggunaan
bahasa sangatlah perlu diperhatikan kesesuaiannya terutama dengan tingkat
kemampuan membaca anak.
3. Cara
penuturan
Dari segi cara penuturan, ciri bacaan cerita anak
diarahkan pada teknik penuturan cerita yang merujuk pada pemilihan kata,
penggunaan gaya bahasa, dan teknik penggambaran tokoh dan latar cerita.
Dalam teknik penuturan, pemilihan kata dan gaya
bahasa hendaknya disesuaikan dengan keterbacaan anak, yaitu dengan menggunakan
kata dan gaya bahasa yang konkret sesuai dengan perkembangan kognitif mereka
dan mengacu pada pengertian yang tersurat. Teknik penuturan latar dan tokoh
sebaiknya lebih banyak digunakan teknik adegan dilengkapi dengan dialog atau
penggambaran dan teknik montase,
yaitu penuturan berdasarkan kesan dan observasi yang tersaji secara asosiatif.
Ditinjau dari bacaan cerita anak, cara penuturan bisa dilakukan dengan cara
reportatif, deskriptif, naratif, atau secara langsung. Dalam teknik penuturan
sebaiknya yang digunakan adalah teknik penyajian naratif yang memang banyak
digunakan dalam cerita anak-anak.Meskipun demikian, didalamnya masih tetap
mendukung repertoar dan deskripsi berupa ilustrasi gambar. Pemilihan teknik
penuturan biasanya disesuaikan dengan keterbacaan anak, seperti cara naratif
atau bisa juga dengan menggunakan gaya penuturan lakuan melalui dialog dan
narasi dan digambarkan secara hidup dan menarik sehingga dipahami oleh anak.
Penuturan secara langsung kurang cocok digunakan karena tidak mengembangkan
imajinasi anak.
4. Tokoh,
penokohan, latar, plot, dan tema
Dari segi tokoh, cerita anak-anak menampilkan tokoh
yang jumlahnya tidak terlalu banyak (tidak melebihi 6 pelaku). Hal ini dimaksudkan
agar tidak membingungkan anak dalam memahami alur cerita yang tergambarkan
melalui rentetan peristiwa yang ada. Penokohan atau karakterisasi tokoh
dilakukan dengan tegas dan langsung menggambarkan wataknya dengan dilengkapi
oleh penggambaran fisik dengan cara yang jelas. Karakterisasi juga bisa dilakukan
melalui penggambaran perilaku tokoh-tokoh yang tergambarkan dalam alur. Motivasi dan peran yang
diemban para tokoh digambarkan dengan tegas secara imajinatif.
Latar cerita, anak hendaknya menggambarkan
tempat-tempat tertentu yang menarik minat mereka, misalnya tempat persembunyian
John Wayne (dalam “Batman”) atau Clark (dalam “superman”) saat mereka mengganti
baju atau berubah menjadi tokoh Batman dan Superman dalam cerita jenis fantasi.
Dalam jenis cerita lain tempat hendaknya disesuaikan kedekatannya dalam
kehidupan anak, misalnya, lingkungan rumah, sekolah, tempat bermain, dan kebun
binatang. Latar cerita yang digunakan harus mampu mengaktualisasikan dan
menghidupkan cerita.
Dari segi alur atau plot, bacaan cerita anak-anak
mengandung plot yang bersifat linier dan berpusat pada satu cerita sehingga
tidak membingungkan anak. Rentetan peristiwanya dikisahkan dengan cara yang
tidak kompleks dan menunjukkan hubungan sebab akibat yang diungkapkan secara
jelas dan digambarkan secara hidup dan menarik.
Tema bacaan cerita anak biasanya sesuai dengan minat
mereka, misalnya tentang keluarga, berteman, cerita misteri, petualangan,
fantasi, cerita yang lucu-lucu, tentang binatang, dan cerita kepahlawanan.
Point of view
dalam cerita anak-anak dipilih penutur dan disesuaikan dengan karakteristik
gambar peristiwanya. Penutur tidak meng-aku-kan diri yang berperan sebagai
pelaku karena akan menimbulkan kesan aneh. Jadi, hendaknya penuturan langsung menggunakan
penyebutan nama.
C.
Perbedaan Jenis Bacaan
Cerita Anak
1. Cerita Bergambar
a) Buku Informasi dan Buku Cerita
Dalam
konteks ini, buku dibedakan dalam dua hal yang berbeda, yaitu “buku informasi”
dan “buku cerita”.Dasar pengelompokkan ini dilihat dari penggunaan ilustrasi
yang menggunakan gambar sebagai medianya.Penggunaan gambar inni berfungsi
sebagai wahana pengembangan cerita.Dalam buku informasi, seperti “buku abjad”
(alphabet books), buku berhitung (counting books) dan buku-buku konsep (concept
books), gambar yang dipergunakan semata-mata berfungsi untuk memberikan satu
pesan khusus.
Sedangkan
buku cerita menggunakan media gambar untuk memberikan gambaran atau ilustrasi
yang berkaitan dengan “penokohan, latar, dan plot”.Kemudian, buku cerita dalam
hal ini, dibedakan menjadi buku cerita bergambar tanpa kata dan buku cerita
dengan kata.
b) Buku Cerita Bergambar Tanpa kata
Dalam
cerita bergambar tanpa kata, buku tersebut mengandalkan pada penggunaan media
gambar sebagai wahana pengembangan cerita.Pada buku tanpa kata ini, lebih
menonjolkan unsur fantasinya. Namun, jika disimak dengan lebih seksama maka
kadar kerealistisan dari cerita itu tidak lepas dari kehidupan sehari-hari.
Sekalipun, lebih didominasi oleh tokoh-tokoh binatang, namun binatang yang
berperikemanusiaan.
c) Media dan Ilustrasi sebagai Wahana Penceritaan
Media
dan ilustrasi sebagai wahana penceritaan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1) Buku cerita bergambar
Dalam
buku bergambar, ilustrasi yang digunakan berupa gambar dimaksudkan untuk dapat
memberikan satu pesan keseluruhan dari suatu objek atau masalah yang
dimaksudkan dengan tampilan gambar tersebut.Buku berilustrasi biasanya
diperuntukkan bagi konsumsi pembaca tingkat lanjut atau bagi anak-anak yang
berusia agak dewasa.
2) Buku bercerita bergambar
Gambar
yang digunakan dalam buku cerita bergambar berfungsi untuk mengilustrasikan:
penokohan, latar, setting, dan kejadian yang dipakai untuk membangun suatu plot
dari suatu cerita.
3) Buku berilustrasi
Buku
berilustrasi biasanya diperuntukkan bagi konsumsi pembaca tingkat lanjut atau
bagi anak-anak yang berusia agak dewasa.
Penikmat buku berilustrasi berprasyarat keterampilan membaca lanjut. Melihat
keberadaan buku tersebut ampilan gambar, berilustrasi mempertegas atau
memperjelas keterbacaan.
2. Cerita Rakyat
Cerita rakyat didefinisikan sebagai semua bentuk narasi
yang tertulis atau lisan yang ada terus sepanjang tahun.Definisi ini mencakup
syair kepahlawanan, balada, legenda, dan lagu-lagu rakyat sebagaimana dongeng
dan cerita binatang.
Ada beberapa bentuk cerita rakyat menurut versi huck
sebagai berikut :
a)
Cerita Kumulatif
Anak-anak tertarik pada cerita-cerita kumulatif ata cerita berangkai/
bersusun, misalnya cerita tentang Wanita Tua dan Babinya. Cerita kumulatif ini
banyak mengulang hal-hal penting untuk membangun klimaks yang cepat.
b)
Cerita Pourqoui
Beberapa cerita rakyat merupakan cerita-cerita ‘why’ atau pourqui yang
menerangkan tentang sifat-sifat atau ciri binatang tertentu atau kebiasaan
manusia atau masyarakat. Misalnya, mengapa binatang atau manusia mempunyai
sifat atau kebiasaan seperti itu.
c)
Cerita Binatang
Dalam cerita binatang, binatang tersebut bertingkah laku seperti manusia.
Anak-anak suka membandingkan versi dari berbagai cerita terkenal, mengamati
perbedaan pemeranan, teknik ilustrasi, media, dan penggunaan bahasa pencerita.
Di indonesia cerita-cerita binatang tersebut jug kita temui dalam berbagai
versi misalnya: Kancil yang Cerdik, Burung Bangupai dan Puan, dan banyak vesi
yang lain.
d)
Cerita Noodlehead
Merupakan bagian dari semua budaya rakyat. Cerita tersebut mengikuti
pola-pola. Kelucuan dari cerita ini adalah omong kosongnya, kemustahilan,
ketololan dan kedunguan. Anak-anak senang meskipun ia mengtahui bahwa
cerita-cerita itu mungkin tidak akan terjadi. Cerita-cerita noodlehead banyak
kita temui di indonesia, misalnya, Pak Kodok, Pak Pandir, Pak Belalang, Lebai
Malang.
e)
Cerita keajaiban
Anak-anak sering menyebut cerita keajaiban sebagai sihir dan cerita peri
yang gaib. Sedikit sekali cerita-cerita tersebut yang mempunyai wali wanita.
Secara tradisi kita menganggap cerita peri melibatkan percintaan dan
petualangan, misalnya, Cinderella, Putihya salju, Tiga keinginan. Sementara
itu, untuk jenis cerita nyata/realistik hanya sedikit termasuk dalam
hikayat/cerita.
3. Fabel, Legenda dan mitos sebagai Karya Tradisional
Fabel merupakan cerita
mengenai kehidupan binatang. Adapun karakteristik (ciri-ciri) fable yakni:
berkisah tentang binatang, atau unsure alam lain yang mampu berbicara layaknya
sebagai manusia, bersifat simbolis, bersifat didaktis, moralistis, ringkas, dan
sederhana.
Legenda didefinisikan sebagai dongeng yang
diciptakan masyarakat sehubungan dengan keadaan alam dan nama sebuah daerah.
Dongeng biasanya menceritakan terjadinyanama kota, gunung, pulau, dan
sebagainya.
Sedangkan mitos dapat diartikan sebagai
cerita-cerita anonym mengenai asal mula alam semesta dan nasib serta tujuan
hidup.Mitos juga dapat berarti sebagai dongeng yang menceritakan makhlus halus,
setan, hantu, dan sebagainya.
4. Cerita Fantasi
Cerita fantasi merupakan
cerita yang dibuat berdasarkan imajinasi dan seseorang yang seakan ada dalam
kehidupan sehari-hari tetapi kenyataannya hanya ada dalam impian.
Karakteristik cerita fantasi anak adalah nilai
pendidikan, dimana nilai pendidikan di dalam cerita anak diharapkan dapat
mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak untuk menunjang perkembangan
berbahasa, kognitif, kepribadian, dan bermasyarakat atau sosial.
Jenis-jenis cerita fantasi antara lain yaitu cerita
rakyat, binatang, boneka mainan, cerita menakutkan/gaib, cerita petualangan,
cerita fantasi modern.
5. Fiksi Ilmu Pengetahuan
Fiksi ilmu pengetahuan adalah suatu bentuk fantasi
berdasarkan bentuk hipotesis tentang ramalan yang masuk akal.Salah satu dari
nilai fiksi ilmu pengetahuan untuk anak-anak adalah kemampuan untuk membangun
imajinasi, intuisi, dan keluwesan pada pikiran pembaca.Cerita fiksi ilmu
pengetahuan yang diberikan untuk anak-anak sangatlah penting sebagai alat
penambah pengetahuan, disamping untuk pelajaran-pelajaran yang mereka peroleh
dari sekolah/rumah.
6. Cerita Sejarah
Cerita sejarah didekskripsikan sebagai cerita rekaan
yang timbul di suatu masa yang lalu (masa lampau). Cerita sejarah menampilkan
sebuah masalah atau konflik plot yang ganjil terhadap waktu. Biasanya masalah
yang dimunculkan yakni masalah-masalah yang dialami manusia di segala zaman.
Sedangkan kriteria cerita sejarah yakni buku sejarah
harus menarik, cerita sejarah tidak harus tepat dan otentik, sejarah harus
secara akurat merefleksikan semangat atau jiwa dan nilai yang terjadi pada
waktu itu beserta kejadiannya, keotentikan bahasa dalam cerita sejarah harus
pula mendapat perhatian, dan cerita sejarah harus tetap berpijak dengan seksama
pada tempat sejarahnya.
7. Biografi
Biografi menceritakan tentang keadaan atau perjalanan hidup seseorang.
Biografi dalam dunia anak-anak kita nampaknya masih asing karena nampaknya buku
biografi untuk anak-anak mah belum banyak jumlahnya bahkan jarang.
Bentuk biografi dapat dibedakan menjadi dua yakni :
a)
Biografi otentik, yaitu biografi yang berkaitan dengan biografi untuk orang dewasa.
b)
Biografi yang difiksikan, yaitu biografi yang dituliskan berdasarkan penelitian yang mendalam, namun
membiarkan pengarang mendramatisir peristiwa-peristiwa tertentu dan
mempersonalikan subjek tersebut, bukan sekadar melaporkan langsung seperti
biografi otentik.
D.
Strategi Pembelajaran
Sastra Baik Reseptif dan Ekspresif
Hal yang erat sekali hubungannya
dengan penumbuhan minat pada siswa adalah penggunaan teknik evaluasi
pembelajaran.Selama ini, evalusi pembelajaran sastra lebih diarahkan pada
penguasaan teori dan sejarah sastra.Soal-soal buatan guru ataupun soal standar
nasional belum berorientasi sepenuhnya pada evaluasi yang bersifat apresiatif.
Evaluasi yang bersifat apresiatif seharusnya beranjak dari hakikat karya sastra
sebagai karya yang memungkinkan timbulnya interpretasi yang beragam, yang
mungkin berbeda antara satu siswa dengan siswa yang lain. Karenanya, penggunaan
soal bentuk isian ataupun soal uraian tampaknya lebih tepat digunakan dalam
evaluasi pembelajaran sastra. Penggunaan soal bentuk yang lain, pilihan ganda
misalnya, memaksa siswa untuk memilih satu jawaban yang dianggap paling tepat
oleh pembuat soal sehingga interpretasi personal siswa tidak berkembang.
1.
Strategi Prosa Fiksi
Tugas guru
bahasa dan sastra Indonesia adalah akan berurusan dengan pengajaran sastra. Hal
ini agar guru dapat menanamkan apresiasi sastra pada diri siswanya, sebagai
salah satu tuntunan kurikulum sekolah dalam bidang pengajaran bahasa dan sastra
yang ditunjang dengan dengan strategi-strategi pengajarannya, seperti pemilihan
bahan ajar, cara penyajian, dan sebagainya.
a.
Strategi Analisis
Agar analisis tidak merusak proses
penikmatan perlu diperhatikan hakikat dan tujuan analisis adalah :
·
Mengenal bagian-bagian yang membangun cipta sastra
·
Menentukan hubungan antar bagian
·
Menemukan hubungan bagian-bagian tersebut dengan struktur
keseluruhan
Analisis selalu diakhiri dengan
munculnya pengertian/kesan yang penuh cipta sebagai suatu keseluruhan yang utuh
(Kenny, 1966). Dengan analisi, keterampilan intelektual dan nasional dapat
berkembang hingga dengan latihan analisis pada akhirnya pembaca akan sampai
pada kesenangan untuk mengerjakannya, yang berartiu muncul menggemari,
menikmati cipta sastra yang bersangkutan.
2. Strategi Model Gordon
Model ini
ditawarkan oleh Willian J.J Gordon, karena itu disebut model Gordon. Model ini
menekankan pada keaktifan dan kreativitas siswa. Model Gordon mengenal tiga
teknik, yaitu :
a.
Analogi personal
b.
Analogi langsung
c.
Konflik kempaan
Prinsip yang harus dipegang dari
model Gordon adalah :
a.
Jangan membatasi pengalaman yang mungkin diperoleh siswa
b.
Hormati gagasan-gagasan yang muncul
c.
Jangan takuti siswa dengan soal ujian
d.
Biarlah siswa berproses secara bebas
e.
Berilah ruang untuk mengadu pendapat, karena perbedaan individual
sangat mungkin terjadi
f.
Gugahlah mereka sehingga timbul ide-ide kreatif dan
produktif mereka.
3. CDA (Critical Discourse Analysis)
sebagai model
Dalam CDA,
pembelajaran sastra dapat dilakukan dengan tata cara sebagai berikut :
a.
Pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secara
analisis.
b.
Penguntaian asosiasi semantic dalam wacana dengan konteks,
wacana lain secara intertertekstual, maupun pola-pola paraanggapan yang terkait
praanggapan logis, semantic, maupun pragmatis.
c.
Asumsi implicit yang melatarbelakangi, ciri koherensinya
dengan makna dalam wacana, dan inferensi.
d.
Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis.
·
Penyajian Pengajaran
Rahmanto (1988) menguraikan tata
cara penyajian yang perlu diperhatikan oleh setiap guru dalam memberikan
pengajaran prosa, antara lain meliputi beberapa tahap sebagai berikut:
a. Pelacakan/pendahuluan
Sebelum prosa disajikan kepada
siswa, guru sebaiknya menilik judulnya, isinya, dab bahasa yang sesuai dengan
perkembangan siswa.
b. Penentuan sikap praktis
Untuk memperoleh gambaran tentang
isi prosa perlu dibandingkan dengan karya lainnya dengan memperhatikan tema
yang sama.
c. Introduksi
Guru memberi stimulus kepada siswa
dengan cara mengomentari secara singkat jenis prosa yang telah dibacanya agar
siswa mempunyai pengetahuan awal tentang bahan yang akan dibaca. Setelah itu,
siswa disuruh membaca, baik secara individu, keompok atau bergiliran di depan
kelas. Tugas membaca tidak harus diselesaikan pada satu kali tatap muka saja,
melainkan beberapa kali tatap muka bahkan dapat pula dilanjutkan siswa membaca
di rumah.
d. Penyajian
Sebelum memulai membahas guru
seharusnya telah menyiapkan beberapa pertanyaan bab demi bab secara betahap
yang berhubungan dengan isi cerita, misalnya tema, alur, penokohan. Untuk
mengembangkan minat baca siswa dan memacu meningkatkan kecepatan membaca, guru
dapat menggunakan cara lain seperti pembuatan synopsis baik laporan tertulis
atau lisan yang diseritakan secara berantai dikelas.
e. Tugas-tugas praktis
Selama proses pengajaran, setelah
semua selesai dibaca, guru dapat memberikan tugas-tugas paraktis di rumah,
seperti membuat diagram tokoh latar cerita dan alur, baik cerita yang dibaca,
didengar dari radio, orang lain atau yang diliaht dari televise atau panggung
pentas.
f. Diskusi
Untuk mengakhiri pengajaran sastra,
dapat dilakukan dengan diskusi kelompok dan dipresentasikan baik secara lisan
maupun tertulis, misalnya mengenai analisis cerita dengan berbagai pendekatan
objektif, pragmatic, mimesis, dan ekspresif.
·
Model Pengajaran Sastra
1) Model Strata
Strategi ini diperoleh dari tulisan
seorang ahli pendidikan yang bernama Leslie Strata sehingga disebut strategi
strata. Wardhani (1981) mengemukakan langkah dalam strategi ini yakni:
a. Penjelajahan
Siswa melakukan penjelajahan
terhadap cipta sastra yang disukainya atau yang disrankan oleh
guru.Penjelajahan dapat dilakukan dengan membaca, bertanya,
mengamati/menyaksikan pementasan, dan kegiatan yang bertujuan untuk mendapat
pemahaman tentang cipta sastra yang sedang dijelajahi.
b. Interpretasi
Setelah penjelajahan, dilakukuanlah
penafsiran terhadap cipta sastra yang dijelajahi. Penafsiran dapat dilakukan
dengan presentasi atau sutau penampilan lain. Dapat pula dengan menganalisis
unsure-unsur yang membangun cipta sastra tersebut.
c. Re-Kreasi
Langkah ini adalah langkah
pendalaman. Siswa diminta untuk mengkreasikan kembali apa yang telah
dipahaminya. Misalnya, mengubah bentuk cerita menjadi drama, menuliskan suatu
bagian dalam sastra klasik dengan gaya masa kini, dan sebagainya.
Cara melaksanakan setiap langkah di
atas bergantung pada teknik yang ingin dipergunakan oleh guru.Strategi ini
memungkinkan guru bekerja dengan siswa dalam kelompok-kelompok ataupun secara
perorangan.
2) Model Taba
Strategi ini terdiri atas
tahap-tahap.Setiap tahap diprakarsai oleh guru dengan pertanyaan guru menetukan
jenis kegiatan siswa. Siswa secara berurut terlibat dalam suatu proses
pembentukan generalisasi., penjelasan/penafsiran, dan ramalan kesimpulan baru
(penerapan).
Ada tigatahap pokok dalam model taba
ini.Setiap tahap dapat dikembangkan lagi menjadi tahap-tahap baru sesuai dengan
kegiatan yang dilaksanakan.
a. Pembentukan konsep
b. Penafsiran data
c. Penerapan prinsip
Penerapan model taba, prinsipnya
diperlukan pengkajian unsure-unsur sastra baik intrinsic Maupin
ekstrinsik.Siswa harus digiring kea rah generalisasi.Model ini mengikuti pola
pemikiran induktif. Melalui model ini, siswa kan bebas terlibat dalam sebuah
karya sastra. Mereka dapat membaca sendiri, mendengarkan sebuah pembacaan
sastra, menyaksikan pentas drama, selanjutnya diminta member tanggapan.Dari
sekian tanggapan siswa, lalu dirangkum, dicari titik temunya, kemudian
disimpulkan.
3) Model Moody
Moody dalam Endraswara (2005)
menunjukkan enam tahap penyajian pengajaran sastra yang dapat diterapkan pada
apresiasi puisi, yaitu:
a. Preliminary assessment
b. Practical decision
c. Introduction of the work
d. Presentation of the work
e. Discussion
f. Reinforcement (testing)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Apresiasi terhadap
bentuk puisi dapat dilakukan dengan cara membaca puisi dengan suara nyaring
atau mendengarkan pembacaan puisi (poetary reading) dan deklamasi.
·
Karakteristik
cerita anak dintinjau dari beberapa segi, yaitu: bentuk
penyajian, bahasa yang digunakan, cara penuturan, tokoh, penokohan, latar,
plot, dan tema.
·
Perbedaan jenis
bacaan cerita anak yaitu cerita bergambar dan cerita rakyat. Cerita bergambar
terdiri atas: 1. Buku Informasi dan Buku CeritaBuku; 2. Cerita Bergambar Tanpa Kata; 3. Media dan
Ilustrasi sebagai Wahana Penceritaan.
·
Terdapat 3 strategi
dalam pembelajaran apresiasi sastra baik reseptif dan ekspresif, yaitu: 1. Strategi
Prosa Fiksi; 2. CDA
(Critical Discourse Analysis) sebagai model;
3. Strategi Model Gordon. Serta terdapat 3 model pembelajaran sastra pada makalah ini, yaitu: Model
Strata, Model Taba dan Model Moody.
B.
Saran
Seorang
guru hendaknya dapat mengajarkan sastra dengan baik kepada siswa. Apabila sastra tersebut
berupa cerita, maka guru harus memperhatikan bacaan cerita sesuai dengan
tingkat perkembangan siswa. Sehingga
mempermudah siswa dalam mempelajari sastra.
DAFTAR
PUSTAKA
UPI. (2011). Bahan Ajar Bahasa Indonesia SD/MI.
Bandung: UPI.
Lestari, P.
(2011). Makalah Pengajaran Sastra.
[Online]
Tersedia: http://chocochipzluvondhe-ondhe.blogspot.com/2011/04/makalah-pengajaran-sastra.html