BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pelayanan khusus sangat diperlukan bagi mereka yang menyandang
tunanetra, tanpa adanya perbedaan satu sama lain. Anak dengan tunanetra
juga bukan menjadi keinginannya, banyak faktor yang dapat menyebabkan
itu. Mereka pastinya ada rasa berbeda dengan teman lainnya. Maka dari itu
Pemerintah sudah selayaknya memberi perhatian penuh bagi pendidikan anak
berkebutuhan khusus contohnya tunanetra. Agar mereka tidak merasa
terasingkan dan didiskriminasi dalam hal pendidikan di lingkungan formal
khususnya. Anak tunanetra pastinya mempunyai kharakterstik tertentu yang
menyebabkan mereka berbeda dengan teman sebayanya, mereka tidak bisabermain
sesuka mereka. Dibutuhkannya pendampingan khusus bagi mereka yang menyandang
tunanetra.
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud
dengan tunnanetra?
2.
Faktor
apa saja menjadi penyebab ketunanetraan?
3. Bagaimanakah perkembangan kognitif, motorik, dan emosi anak tunanetra?
4. Bagaimanakah perkembangan sosial dan kepribadian anak tunanetra?
5. Seperti apakah pembelajaran bagi anak dengan ketunanetraan?
6. Apa yang menjadi kebutuhan
dan layanan pendidikan anak tunanetra?
7.
Bagaimanakah Strategi,
Media dan Evaluasi Pembelajaran Anak Tunanetra?
8. Seperti apakah dampak ketunanetraan bagi
keluarga, masyarakat dan penyelenggara pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang akan di
bahas, tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Menjelaskan pengertian
tunanetra.
2.
Menjelaskan faktor apa saja menjadi penyebab
ketunanetraan.
3.
Menjelaskan
perkembangan kognitif, motorik, dan emosi anak tunanetra.
4.
Menjelaskan
perkembangan sosial dan kepribadian anak tunanetra.
5.
Menjelaskan
bagaimana pembelajaran bagi anak dengan ketunanetraan.
6.
Menjelaskan apa saja yang
menjadi kebutuhan dan layanan pendidikan anak tunanetra.
7.
Menjelaskan
strategi, media dan evaluasi pembelajaran anak tunanetra.
8.
Menjelaskan
dampak ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat dan penyelenggara pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tunanetra
Dari segi bahasa kata tunanetra terdiri dari katatuna dannetra.
Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia kata tuna berarti tidak memiliki, tidakpunya,
luka atau rusak. Sedangkan kata netra berarti penglihatan. Dengan demikian
tunanetra berarti buta, tetapi buta
belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Dalam
literatur bahasa inggris istilah tunanetra juga disebut dengan“Visual
Impairment (Kerusakan Penglihatan)” atau“Sight Loss (Kehilangan Penglihatan)”. (dalam
Humairo:2013)
Dari kutipan Supena, M.Psi (dalam Humairo:2013) mengatakan bahwa
tunanetra (Visual Imprairment)adalah “mereka yang mengalami gangguanhambatan
penglihatan secara signifikan (berarti). Sehingga membutuhkan layanan
pendidikan atau pembelajaran yang khusus” Contohnya penggunaansistem baca tulis
braille, alat pembesar bahan bacaan dan bentuk modifikasi lainnya.
Menurut Pertuni (persatuan tunanetra indonesia) tunanetra (dalam
Humairo:2013) adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta
total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan, tetapi tidak mampu
menggunakan penglihatanya untuk membaca
tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meski pun dibantu
dengan kacamata (kurang awas).
Menurut somantri (2012:65) Anak tunanetra adalah individu yang
indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran informasi
dalam kegiatan sehari-hari sepertti halnya orang awas. Anak-anak dengan
gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
1.
Ketajaman
penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas.
2.
Terjadi
kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
3.
Posisi mata
sulit dikendalikan oleh syaraf otak
4.
Terjadinya
kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatannya.
Karakteristik
anak tunanetra menurut Somantri (2012: 66), yaitu: Dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya kurang dari 6/21.
Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter
yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter yang diukur dengan tes snellen card.
Berdasarkan acuan tersebut, anak tunanetra dikelompokan menjadi 2 macam,
yaitu:
a.
Buta jika
anak tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya = 0).
b.
Low vision jika anak
masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari
6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline
pada suarat kabar.
Jadi
dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tunanetra yaitu orang yang
kehilangan penglihatan sedemikian rupa, sehingga seseorang itu
sukar atau tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan dengan metode yang biasanya
dipergunakan disekolah biasa.
Anak tunanetra dalam pendidikan tidak saja mempergunakan metode
khusus, melainkan juga alat-alat bantu khusus, yang digunakan untuk membaca dan
menulis. Ada anak tunanetra yang sama sekali tidak ada penglihatan, anak
semacam ini biasanya disebut buta total.
Disamping buta total, masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan
untuk membaca dan menulis huruf biasa. Istilah buta ini mencakup pengertian
yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah asingnyablind. Istilah buta
yang sering digunakan masyarakat umum hendaknya tidak digunakan untuk sebutan
atau panggilan terhadap orang yang memiliki kelainan penglihatan, tetapi hanya
digunakan dalam pengelompokan untuk
keperluan layanan pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan penglihatan.
Klasifikasi Tunanetra (dalam
Humairo:2013) dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
a.
Berdasarkan
Tingkat Ketajaman Penglihatan
Tingkat ketajaman penglihatan yang dihasilkan dari tes Snellen,
dapat dikelompokan menjadi berbagai tingkatan. Hasil tes Snellen 20/20 feet
atau 6/6 meter menunjukan bahwa penglihatannya normal. Gangguan penglihatan
yang ringan atau yang mempunyai ketajaman antara 6/6 meter - 6/16 m atau 20/20
feet -20/50 feet, tidak dikelompokkan pada tunanetra atau bahkan masih dapat
dikatakan normal sedangkan yang mengalami gangguan penglihatan yang cukup berat
atau kurang dari 6/20m atau 20/70 feet, sudah dikategorikan tunanetra. Dengan
demikian, klasifikasi tunanetra berdasarkan ketajaman penglihatan . (dalam Humairo:2013) dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1)
Tunanetra
dengan ketajaman penglihatan 6/20 m - 6/60 m atau 20/70 feet -20/200 feet.
Tingkat ketajaman penglihatan seperti ini pada umumnya dikatakan tunanetra (low
vision). Pada taraf ini, para penderita masih mampu melihat dengan bantuan alat
khusus.
2)
Tunanetra
dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau kurang.Tingkat
ketajaman seperti ini sudah dikatakan tunanetra berat atau secara umum dapat
dikatakan buta (bind). Kelompok ini masih dapat terbagi menjadi dua yaitu
kelompok tunanetra yang masih dapat melihat gerakan tangan. Dan Kelompok
tunanetra yang hanya dapat membedakan terang dan gelap.
3)
Tunanetra
yang memiliki visus 0. Pada taraf yang terakhir ini, anak sudah tidak mampu
lagi melihat rangsangan cahaya atau dapat dikatakan tidak dapat melihat apapun.
Kelompok ini sering disebut buta total (totally
blind).
b.
Berdasarkan
saat terjadinya ketunanetraan
1)
Tunanetra
sebelum dan sejak lahir. Kelompok ini terdiri dari orang yang mengalami ketunanetraan
pada saat dalam kandungan atau sebelum usia satu tahun.
2)
Tunanetra
batita. Yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia dibawah tiga tahun.
3)
Tunanetra
balita. Yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada saat ia berusia antara 3-5 tahun.
4)
Tunanetra pada
usia sekolah. Kelompok ini meliputi anak yang mengalami ketunanetraan pada usia
anak 6 -12 tahun.
5)
Tunanetra
remaja. Adalah orang yang mengalami ketunanetraan pada saat usia remaja atau
antara usia 13-19 tahun.
6)
Tunanetra
dewasa. Yaitu orang yang mengalami ketunanetraan pada usia dewasa atau usia 19
tahun keatas.. (dalam Humairo:2013)
c.
Berdasarkan
adaptasi pendidikan
Klasifikasi tunanetra ini tidak didasarkan pada hasil tes ketajaman
tetapi didasarkan adaptasi/penyesuaian pendidikan khusus yang sangat penting
dalam membantu mereka belajar atau diperlukan dalam menentukan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan
kemampuan penglihatannya. (dalam Humairo:2013). Klasifikasi ini dikemukakan
oleh Kirk, yaitu sebagai berikut:
1)
Ketidakmampuan
melihat taraf sedang.
2)
Ketidakmampuan
melihat taraf berat
3)
Ketidakmampuan
melihat taraf sangat berat
Dapat disimpulkan orang tunanetra belum tentu buta, sedangkan
orang buta sudah pasti tunanetra,
kebutaan merupakan tingkatketunanetraan yang
paling berat.
B.
Penyebab
Terjadinya Ketunanetraan
Penyebab terjadinya tunanetra pada dasarnya sangat beraneka ragam,
bak itu dari pre-natal (sebelum kelahiran) dan post-natal (setelah kelahiran).
1.
Prenatal
Faktor penyebab
ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah
keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:
a.
Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari
hasil perkawinan bersaudara, sesama
tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor
keturunan antara lainRetinitis Pigmentosa,penyakit pada retina yang umumnya
merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau
memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam hari,
diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.
b.
Pertumbuhan
anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan
dapat disebabkan oleh:
1)
Gangguan waktu
ibu hamil.
2)
Penyakit
menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan
janin dalam kandungan.
3)
Infeksi atau
luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat
menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf
pusat pada janin yang sedang berkembang.
4)
Infeksi karena
penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada
otak yang berhubungan dengan indera
penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
5)
Kurangnya
vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya
fungsi penglihatan.
2.
Postnatal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi
pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain :
a.
Kerusakan pada
mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.
b.
Pada waktu
persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya
setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c.
Mengalami
penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya:
1)
Xeropthalmia;
yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
2)
Trachoma; yaitu
penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
3)
Catarac; yaitu
penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh,
akibatnya terlihat dari luar mata menjadi
putih.
4)
Glaucoma; yaitu
penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam
bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
5)
Diabetik
Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis.
Retina penuh dengan pembuluh- pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh
kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
6)
Macular Degeneration;
adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara
berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan
perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek
di bagian tengah bidang penglihatan.
7)
Retinopathy of
prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur.
Pada saat lahir masih memiliki potensi
penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi
oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator
terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak
normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini
sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.
d.
Kerusakan mata
yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam,
cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.
C.
Perkembangan
Kognitif, Motorik, dan Emosi Anak
Tunanetra
1.
Perkembangan
Kognitif Anak Tunanetra
Manusia berhubungan dengan lingkungan, baik sosial, maupun melalui
kemampuan inderanya. Akibat dari ketunanetraan, maka pengenalan atau pengertian
terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh.
Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan
dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif
tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau kemampuan intelegensinya,
tetapi juga dengan kemampuan indera penglihatannya. (dalam Somantri, 2012:67)
Indera peglihatan ialah salah satu indera penting dalam menerima
informasi yang datang dari luar dirinya. Sekalipun cara kerjanya dibatasi oleh
ruang, indera ini mampu mendeteksi objek pada jarak jauh. Melalui indera ini
pula sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya
diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu
terhadap rangsang tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus
menerus seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan
perkembangan kognitif seseorang sehingga mampu berkembang secara optimal. (dalam
Somantri, 2012:67)
Anak tunanetra dalam menerima rangsangan hanya dapat dilakukan
melalui pemanfaatan indera-indera lain di luar indera penglihatannya. Namun
karena dorongan dan kebutuhan anak untuk tetap mengenal dunia sekitarnya, anak
tunanetra biasanya menggantikannya dengan indera pendengaran sebagai saluran utama
penerima informasi. Sedangkan indera pendengaran hanya mampu menerima informasi
dari luar yang berupa suara. Berdasarkan suara,
seseorang hanya akan mampu mendeteksi dan menggambarkan tentang arah,
sumber, jarak, suatu objek informasi, tentang ukuran dan kualitas ruangan,
tetapi tidak mampu memberikan gambaran yang konkrit mengenai bentuk, kedalaman,
warna, dan dinamikanya. Akibat dari ketunanetraan membawa konsekuensi terhadap
terhambatnya perkembangan kognitif anak
tunanetra. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif seseorang menuntut
partisipasi aktif, peranan dan fungsi penglihatan sebagai saluran utama dalam
melakukan pengamatan terhadap dunia luar. (dalam Somantri, 2012:68)
Menurut Piaget (dalam Somantri, 2012:70) perkembangan fungsi
kognitif berlangsung mengikuti prinsip mencari keseimbangan (seeking
equlilibrium), yaitu kegiatan organisme dan lingkungan yang bersifat timbal
balik. Artinya lingkungan dipandang sebagai suatu hal yang terus mendorong
organisme untuk menyesuaikan diri, dan demikian pula secara timbal balik
organisme secara konstan menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang
merupakan bagian dari dirinya. Tekniknya ialah dengan asimilasi dan akomodasi.
Teknik asimilasi yaitu apabila individu memandang bahwa hal-hal baru yang
dihadapinya dapat disesuaikan dengan kerangka berpikir atau kognitive structure yang telah
dimilikinya, sedangkan teknik akomodasi yaitu apabila individu itu memandang
bahwa bahwa hal-hal baru yang dihadapinya tidak dapat disesuaikan dengan
kerangka berpikirnya sehingga harus mengubah cognitive structure-nya. (dalam
Somantri, 2012:70)
Kesulitan besar akan terjadi dan sangat mungkin dihadapi anak
apabila realitas lingkungan tersebut secara dinamis mengalami
perubahan-perubahan dan dengan mudah dapat diamati melaui indera penglihatan.
Sementara anak tunanetra belum memperoleh informasi secara lisan terhadap
perubahan tersebut. (dalam Somantri, 2012:70)
Pada tahapan pra-operasional yang ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik kesimpulan
tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal yang khusus, sapi disebut kerbau),
dominasi pengamatan yang bersifat egosentris (belum memahami cara orang
memandang objek yang sama), serta bersifat searah, anak tunanetra cenderung mengalami hambatan
atau kesulitan dalam cara-cara berpikirseperti itu. Ketidakmampuan dalam
menggunakan indera penglihatan sebagai saluran informasi cenderung
mengakibatkan kesulitan dalam belajar mengklasifikasikan objek-objek atas dasar
satu ciri yang mencolok (menonjol) atau kriteria tertentu. Anak mungkin dapat
melakukan klasifikasi atas dasar ciri-ciri yang menonjol berdasarkan hasil dari
proses pendengaran, perabaan, penciuman, atau pengecapan. Sedangkan klasifikasi
yang berhubungan dengan bentuk, keluasan/kedalaman, atau warna cenderung sulit
atau bahkan tidak dapat dilakukan. (dalam Somantri, 2012:72)
Pada tahap operasional konkret yang ditandai dengan kemampuan anak
dalam mengklasifikasikan, menyusun, mengasosiasikan angka-angka atau bilangan,
serta proses berpikir. Walaupun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat
konkret, anak tunanetra dapat mengoperasikan kaidah-kaidah logika dalam
batas-batas tertentu, namun secara umum hal ini akan sulit dilakukan. Ini
disebabkan oleh sistem organisasi kognitif sebelumnya yang mutlak diperlukan
dalam cara-cara seperti di atas tidak terorganisasi secara utuh pada anak
tunanetra. (dalam Somantri, 2012:72)
Pada tahap operasional formal yang ditandai dengan kemampuan untuk
mengoperasikan kaidah-kaidah formal yang tidak terikat lagi dengan objek-objek
yang bersifat konkret, seperti kemempuan berpikir hipotesis deduktif
(hypothetic deductive thinking), mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan (a
combination thinking), mengembangkan suatu proporsi atau dasar-dasar proporsi
yang diketahui (proporsional thinking), serta kemampuan menarik generalisasi
dan infrensi dari berbagi objek kategori objek yang bervariasi, anak tunanetra
dalam hal-hal tertentu mungkin dapat melakukan dengan baik walaupun sifatnya
sangat verbalitas. Hal ini karena dalam pemikiran operasional formal berawal dari kemungkinan-kemungkinan
yang hipotetik dan teoritik dan bukan berawal dari hal-hal nyata. Namun demikian,
karena dalam perkembangan kognitif ini sifatnya hierarkis, artinya tahapan
sebelumnya akan menjadi dasar bagi berkembangnya tahapan berikutnya, pencapaian
tahapan operasi formal ini juga tidak akan dicapai secara utuh oleh anak
tunanetra. (dalam Somantri, 2012:73)
2.
Perkembangan
Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra dijelaskan Somantri (2012: 76)Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat dibandingkan dengan
anak awas pada umumnya, karena dalam perkembangan perilaku motorik
diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (sistem persyarafan dan otot) dan fungsi
psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh
lingkungan. Fungsi neuromuscular system
tidak bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi
hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak
mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karena
fungsi psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan
mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba
terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan
kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan
aktivitas motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak
langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat.
Hambatan fisik dan psikis pada anak tunanetra nantinya akan menghambat pada
setiap tahap perkembangan anak tunanetra.Menurut Somantri (2012:76)
perkembangan motorik anak tunanetra, yaitu:Bagi anak awas, mungkin sangat mudah
melakukan sesuatu aktivitas motorik. Namun bagi
anak tunanetra, hal ini adalah masalah besar. Anak hanya akan tahu segala hal
hanya dengan dideteksi oleh tangan, kaki atau indera pendengaran dan
penciumannya. Hambatan inilah yang pada akhirnya seorang tunanetra mengalami
masalah besar dalam orientasi dan mobilitasnya.Hal ini pula yang menjadikan anak tunanetra terlambat berkembang
dibandingkan anak awas pada umumnya.
Menurut Somantri (2012: 76-80) perkembangan perilaku motorik anak
tunanetra, yaitu:Perkembangan perilaku motorik yang baik juga menuntut dua
macam perilaku psikomotorik dasar yang bersifat universal harus dikuasai oleh
individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanak, yaitu berjalan, dan
memegang benda. Kedua macam perilaku
psikomotorik ini akan menjadi dasar bagi keterampilan motorik yang lebih
kompleks, seperti bermain dan bekerja. Bagi anak tunanetra, penguasaan perilaku
psikomotorik dasar seperti berjalan dan memegang benda ini bukanlah pekerjaan
yang mudah, ini menjadi hambatan bagi penguasaan keterampilan motorik lebih
lanjut yang bersifat kompleks.
Pada bayi tunanetra perlu
diperhatikan upaya-upaya untuk melengkapi kekurangan rangsangan
visualnya.Sebagai gambaran, berikut ini adalah tahap perkembangan perilaku
motorik permulaan dalam kaitannya dengan fungsi penglihatan.
a.
Tahap Sebelum Berjalan
Anak
tunanetra juga mengikuti pola perkembangan motorik yang sama seperti
perkembangan bayi normal yaitu untuk sampai ke tahap berjalan, harus melalui
tahapan menegakan kepala, telungkup, merayap, merangkak dan seterusnya namun
hanya saja faktor kecepatannya yang berbeda akibat dari kurangnya rangsangan
visual. Gangguan atau hambatan yang
terjadi dalam perkembangan koordinasi tangan dan koordinasi badan akan
berpengaruh pada perilaku motorik tunanetra dikemudian hari (setelah dewasa).
1)
Koordinasi Tangan
Pada usia 16 minggu bayi
tunanetra tidak mengalami secara alamiah koordinasi tangan yang baik yang
diperoleh dari pengalaman dan percobaan kerjasama mata dan tangan seperti bayi
normal. Karena mereka tidak mengetahui apa yang ada di sekelilingnya, bayi
tunanetra cenderung tidak responsif dan diam. Maka dari itu perlu diciptakan
suatu lingkungan tersendiri sebagai pengalaman pengganti yang mampu merangsang
perkembangan gerak tunanetra sekaligus mengurangi keterlambatan ini. Hambatan
dalam perkembangan koordinasi tangan ini akan berpengarup pada berbagai
aktivitas kemudian seperti dalam jabat tangan yang lemah, kesulitan memegang
benda, serta kelambatan dalam membaca huruf Braille.
2)
Koordinasi Badan
Pada usia 18 minggu koordinasi
badan bayi tunanetra tidak mengalami kesempatan atau peristiwa secara alami
seperti bayi normal. Oleh karena itu tanpa adanya pengalaman pengganti tidak
mungkin anak akan termotivasi untuk melakukan aktivitas seperti menegakan
kepala, menatap, merayap, meraih, memegang, atau mengambil. Bayi tunanetra
cenderung diam atau mengadakan gerakan-gerakan yang kurang berarti disebut
dengan blindism, seperti
menusuk-nusuk mata dengan jarinya, mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan
kaki atau sejenisnya.Tanpa disadari kebiasaan terhadap gerakan ini biasanya
terbawa sampai dewasa.
b.
Tahap Berjalan
Pada usia sekitar 15 bulan,
kemungkinannya dapat bergerak sama dengan anak awas. Ia akan berjalan pada usia
yang lebih tua dari usia anak awas. Hal tersebut, terjadi karena kurangnya
motivasi atau pendorong baik yang sifatnya internal maupun eksternal untuk
melangkahkan kakinya pada posisi berdiri mengambil benda yang ada disekitarnya.
Anak tunanetra merasakan apa yang ada didepannya adalah bahaya karena ia tidak
tahu persis apa yang ada dan terjadi didepannya. Ia tidak mampu
mengidentifikasi melalui indra penglihatannya segala objek atau peristiwa yang
ada di depannya. Ia hanya mampu mengidentifikasi sebagian objek atau peristiwa
yang ada disekitarnya sepanjang hal tersebut memberikan tanda-tanda yang dapat
di identifikasi di luar indra penglihatannya. Keterbatasan ini disamping karena
faktor-faktor diatas juga karena anak tunanetra tidak pernah mendapatkan
kesempatan untuk melakukan observasi visual secara langsung terhadap suatu
gerakan yang dilakukan orang lain sehingga ia tidak mampu pula dalam meniruka
sesuatu gerakan seperti halnya anak awas. Kesempatan dari lingkungan yang
diberikan kepada anak juga seringkali menghambat perkembangan perilaku motorik
anak tunanetra.Sikap over protection, tak acuh, serta salah pengertian
tentang kebutuhan, mengakibatkan keterbatasan anak dalam memperoleh
pengalaman-pengalaman dan keterampilan-keterampilan motorik tertentu.Namun yang
pasti bahwa kurangnya atau ketidak mampuannya menerima rangsang visual
mengakibatkan anak tidak mampu mengobservasi atau menirukan gerak-gerak motorik
tertentu, akibatnya perkembangan menjadi terhambat.
Menurut Mestika (dalam Sumiyati:2014) “Pergerakan motorik anak tunanetra yang sudah dapat berjalan dapat dilatih
dengan olahraga yang dilakukan untuk saluran penghubung kualitas hidup melalui
sarana bantu atletik lari dengan sistem kerja line follower.”
Menurut Rudiyati (dalam Sumiyati:2014) “Selain melakukan olahraga dapat
pula diberikan kepekaan non-visual untuk melatih perkembangan motorik penderita
tunanetra melalui kegiatan latihan kepekaan pendengaran, latihan kepekaan
taktual, latihan kepekaan pembau, latihan kepekaan pencecap, latihan kinestetik
dan latihan keseimbangan/vestabula.”
3. Perkembangan
Emosi Anak Tunanetra
Menurut
Somantri (2012: 80-83).Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan
dibandingkan dengan anak yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh
keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa
kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba
untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena
dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara
tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai
yang diharapkan oleh diri maupunlingkungannya.
Kesulitan
bagi anak tunanetra ialah ia tidak mampu belajar secara visual tentang
stimulus-stimulus apa saja yang harus diberikan terhadap stimulus-stimulus
tersebut. Dengan kata lain anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam
berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi atau reaksi-reaksi wajah atau
tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang dirasakannya kepada orang lain.
Perkembangan emosi anak tunanetra
akan semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi, yaitu kurang memiliki
kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih
sayang, kegembiraan, perhatian dan kesenangan. Anak yang mengalami deprivasi
emosi ini adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya
ditolak kehadirannya oleh keluarga atau lingkungannya. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan
lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara,
intelektual, dan sosialnya.
Masalah-masalah lain yang sering
muncul dan dihadapi dalam perkembangan emosi anak tunanetra ialah gejala-gejala
emosi yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan
seperti perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta
kesedihan yang berlebihan.
Perasaan takut yang berlebihan pada
anak tunanetra biasanya berhubungan ketidakmampuannya dalam melihat
mengakibatkan ia tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan-kemungkinan
bahaya yang mengancam keselamatannya. Sedangkan perasaan khawatir dan cemas
seringkali menghinggapi anak tunanetra sebagai akibat dari ketidakmampuan atau
keterbatasan dalam memprediksikan dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi di lingkungannya dan menimpa dirinya. Sedangkan perasaan iri hati biasanya muncul karena kurang atau hilangnya
kasih sayang dari lingkungannya.Biasanya tumbuh dan berkembang dari reaksi
lingkungan terhadap dirinya yang ternyata diperlakukan secara berbeda karena
tunanetra nya.
Jadi
perkembangan emosi anak tunanetra harus ditangani dengan tepat agar tidak
terjadi deprivasi emosi melalui kasih saying, kegembiraan, perhatian dan
kesenangan dari keluarganya.Memberikan motivasi yang lebih agar anak tunanetra
tidak memiliki rasa takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta
kesedihan yang berlebihan.
D.
Perkembangan
Sosial dan Kepribadian Anak Tunanetra
1. Perkembangan
Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial anak tunanetradijelaskan Somantri (83-85), yaitu: Hambatan-hambatan
muncul pada anak tunanetra sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
ketunanetraan, yaitu kurangnya motivasi, kekuatan menghadapi lingkungan sosial,
perasaan rendah diri, malu, penolakan masyarakat, penghinaan, sikap tak acuh,
ketidak jelasan tuntutan sosial, terbatasnya kesempatan belajar tentang pola
tingkah laku yang diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat
mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi terhambat.
Pengalaman sosial anak
tunanetra pada usia dini yang tidak menyenangkan sebagai akibat dari sikap dan
perlakuan negatif orang tua dan keluarganya akan sangat merugikan perkembangan
anak tunanetra. Hal ini karena usia tersebut merupakan masa-masa kritis dimana
pegalaman-pengalaman dasar sosial yang trbentuk pada masa itu akan sulit untuk
diubah dan terbawa sampai ia dewasa. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dalam perkembangan sosial anak tunanetra, sikap dan
perlakuan orang tua serta keluarga tunanetra nampaknya harus menjadi perhatian
terutama pada usia dini.
Masa sosialisasi yang sesungguhnya
akan terjadi pada saat anak memasuki lingkungan pendidikan kedua, yaitu
sekolah. Pada masa ini anak akan
dihadapkan pada berbagai aturan dan disiplin serta penghargaan terhadap orang
lain. Bagi anak tunanetra, memasuki sekolah atau lingkungan yang baru adalah
saat-saat yang kritis, apalagi ia sudah merasakan dirinya berbeda dengan orang
lain yang tentunya akan mengundang berbagai reaksi tertentu yang mungkin
menyenangkan atau sebaliknya. Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam
memasuki sekolah atau lingkungan baru atau kelompok lain yang berbeda atau
lebih luas seringkali mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam mengembangkan
kemampuan sosialnya.
Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan sosial anak tunanetra
sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama
lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Akibat ketunanetraan
secara langsung atau tak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan
sosial anak seperti keterbatasan anak untuk belajar social melalui identifikasi
maupun imitasi, keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi
kebutuhan sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat
keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman.
Jadi
perkembangan sosial anak tunanetra harus didukung oleh lingkungan keluarga
melalui hal-hal positif agar termotivasi hidupnya dan memberikan peluang besar
untuk diterima di lingkungan masyarakat seperti kesempatan belajar, berinteraksi
secara normal dan diterima layaknya anak normal
2. Perkembangan
Kepribadan Anak Tunanetra
Pada
hakikatnya perkembangan apapun mengenai anak tunanetra sangat bergantung pada
orang yang menanganinya.Jika anak tunanetra didukung dan dipercaya untuk
melakukan kegiatan yang positif maka perkembangannya pun akan bermakna.
Sebagai
orang terdekat, orang tua dan keluarga sangat berperan dalam perkembangan
segala aspek anak tunanetra sehingga dianjurkan bahkan diharuskan pihak-pihak
ini memberi dorongan/ motivasi, terus secara continue memberi semangat dan
memberikan input yang dapat menimbulkan perkembangan positif bagi anak
tunanetra termasuk dalam perkembangan kepribadian sehingga anak tunanetra dapat
menyadari, mengenali dan memiliki konsep diri.
Menurut
Davis (dalam Somantri,2012: 85-86) menyatakan mengenai proses perkembangan awal
anak tunanetra, yaitu:Dalam proses perkembangan awal, diferensiasi konsep diri
merupakan sesuatu yang sulit untuk dicapai sehingga untuk memasuki lingkungan
baru, seorang anak tunanetra harus dibantu oleh ibu atau orang tuanya melalui
komunikasi verbal, memberikan semangat dan memberikan gambaran lingkungan
tersebut sejelas-jelasnya seperti anak tunanetra mengenal tubuhnya sendiri.
Pada
pembahasan konsep diri disampaikan pula 3 aspek yang terdapat di dalamnya
menurut Callhoun dan Acocella (dalam Sumiyati:2104), yaitu:
a.
Pengetahuan merupakan apa yang individu ketahui
tentang dirinya. Di dalam benaknya terdapat satu daftar yang menggambarkan
dirinya, kelengkapan atau kekurangan fisik, usia, jenis kelamin, kebangsaan,
suku, pekerjaan, agama dan lain-lain.
b.
Harapan digambarkan sebagai suatu aspek dimana
seseorang memandang tentang dirinya, kemungkinan dirinya menjadi apa di masa
depan.
c.
Penilaian, individu berkedudukan sebagai penilai
tentang dirinya sendiri.
Menurut
Somantri (2012: 86) “Anak tunanetra setengah akan mengalami kesulitan menemukan
konsep diri yang lebih besar daripada anak yang buta total karena mereka sering
mengalami konflik identitas di mana suatu saat oleh lingkungannya disebut anak
awas tapi pada saat yang lain disebut anak tunanetra.”
Konsep diri
merupakan hal yang penting yang harus disadari penderita tunanetra sehingga
penderita tunanetra dapat memandang dirinya lebih bermakna dan berharga,
menutupi kekurangan dengan kelebihan yang akan membuatnya lebih bersyukur dan
bisa membuktikan pada dunia luar jika dirinya juga bisa hidup mandiri seperti
orang lain dengan kondisi fisik yang normal yang pada akhirnya akan membentuk
perkembangan kepribadian yang positif pada diri penderita tunanetra.
E.
Pembelajaran
bagi Anak Tunanetraan
Pembelajaran yang terbaik bagi siswa tunanetra (dalam Humairo:2013)
adalah yang berpusat pada apa,
bagaimana,dan di mana pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhannya itu
tersedia. Pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa adalah tentang
apa yang diajarkan, prinsip- prinsip tentang metoda khusus yang ditawarkan
dalam konteks bagaimana pembelajaran tersebut disediakan, dan yang terakhir
adalah tempat pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan anak dimana pembelajaran akan dilakukan. Dalam mengajar anak dengan
kelainan penglihatan ada beberapa hal yang
perlu mendapat perhatian secara khusus yaitu :
1.
Pembelajaran
dalam Kurikulum Inti yang Diperluas
Para ahli mengemukakan (dalam Humairo:2013), bahwa tunanetra
mempunyai dua perangkat kebutuhan kurikulum: pertama adalah kurikulum yang
diperuntukan bagi siswa pada umumnya,
seperti: bahasa, seni, matematika, dan IPS; kedua adalah yang dapat memenuhi
kebutuhan khususnya sebagai akibat dari ketunanetraannya yaitu kurikulum inti
yang diperluas, seperti: keterampilan kompensatoris, keterampilan interaksi
sosial, dan keterampilan pendidikan karir.
Para ahli pendidikan bagi tunanetra, khususnya mereka yang
memberikan bantuan dan mengajar siswa dalam setting inklusi, mungkin akan
dihadapkan dengan dilema apa yang akan diajarkan dalam waktu yang terbatas.
Mereka sebaiknya mengajarkan langsung kepada siswa tunanetra keterampilan
khusus untuk mendukung keberhasilannya berada di sekolah umum.
2. Model Pendidikan
a. Pendidikan Khusus (SLB)
SLB adalah lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus yang meliputi: Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra, yaitu sekolah yang
hanya memberikan pelayanan pendidikan kepada anak tunanetra, dan Sekolah Dasar
Luar Biasa, yaitu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan khusus, dengan
bermacam jenis kelainan yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
(dalam Adriana:2013)
b. Pendidikan Terpadu
Pendidikan Terpadu
ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak yang berkebutuhan
khusus yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal dalam satuan
pendidikan yang bersangkutan di sekolah reguler (SD,SMP, SMA dan SMK) dengan
menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan (Kepmendikbud
No. 002/U/1986). Dalam pendidikan terpadu ini harus disiapkan:
1) Seorang guru Pembimbing Khusus (Guru PLB), dan
2) Sebuah ruangan khusus yang dilengkapi dengan alat pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus. Ruangan khusus ini dibuat dengan tujuan apabila anak yang
berkebutuhan khusus tersebut mengalami kesulitan di dalam kelas, maka ia dibawa
ke ruang khusus untuk diberi pelayanan dan bimbingan oleh guru Pembimbing
Khusus. Bimbingan ini dapat berupa bantuan untuk lebih memahami dan menguasai
materi pelajaran, menggunakan alat bantu atau alat peraga, pengayaan agar
ketika anak belajar di kelas bersama anak lainnya anak tunanetra sudah siap
menerima materi pelajaran, dan rehabilitasi sosial bagi anak berkebutuhan
khusus yang mengalami kesulitan dalam bergaul dengan teman sebayanya. (dalam
Adriana:2013)
c. Guru Kunjung
Di dalam sistem
Pendidikan Luar Biasa terdapat sebuah model pelayanan pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus yaitu dengan model Guru Kunjung. Model guru kunjung ini
dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus
usia sekolah. Oleh karena sesuatu hal, anak tersebut tidak dapat belajar
di sekolah khusus atau sekolah lainnya, seperti tempat tinggal yang sulit
dijangkau akibat dari kemampuan mobilitas yang terbatas, jarak sekolah dan
rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan untuk
berjalan, menderita penyakit yang berkepanjangan, dll.
Pelayanan pendidikan
dengan model guru kunjung ini bisa dilaksanakan di beberapa tempat, seperti rumah
anak tunanetra sendiri, sebuah tempat yang dapat menampung beberapa anak
tunanetra, dan rumah sakit. Kurikulum yang digunakan pada model guru kunjung
adalah kurikulum PLB, kemudian dikembangkan kepada program pendidikan
individual yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing anak.
(dalam Adriana:2013)
d. Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif
adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang
memerlukan pendidikan khusus pada sekolah reguler dalam satu kesatuan yang sistemik.
Berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0491/U/1992, anak-anak yang memiliki
kebutuhan khusus seperti tunanetra dapat belajar secara terpadu dengan anak
sebaya lainnya dalam satu sistem pendidikan yang sama.
Layanan pendidikan di
dalam pendidikan inklusif memperhatikan beberapa hal, yaitu kebutuhan dan
kemampuan siswa, satu sekolah untuk semua, tempat pembelajaran yang sama bagi
semua siswa, pembelajaran didasarkan kepada hasil assessment,
tersedianya aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan siswa, sehingga siswa
merasa aman dan nyaman, dan lingkungan kelas yang disesuaikan dengan kebutuhan
siswa. Sementara untuk kurikulum yang digunakan adalah kurikulum yang
fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa. (dalam
Adriana:2013)
3.
Mempergunakan
Prinsip-prinsip Metoda Khusus
Siswa tunanetra (dalam Humairo:2013) hendaknya diberikan
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar khusus bagi mereka. Guru umum
biasanya lebih menekankan pembelajaran melalui saluran visual, yang sudah tentu
tidak sesuai dengan tunanetra. Lowenfeld (dalam Humairo:2013) mengemukakan tiga
prinsip metode khusus untuk membantu mengatasi keterbatasan akibat
ketunanetraan:
a.
Membutuhkan
Pengalaman Nyata.
Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari
lingkungannya melalui eksplorasi perabaan tentang situasi dan benda- benda yang ada di sekitarnya selain melalui
indera-indera yang lainnya. Bagi siswa yang masih mempunyai sisa penglihatan(lo
vision), aktifitas seperti itu merupakan tambahan dari eksplorasi visual yang
dilakukan. Kalau benda-benda nyata tidak tersedia, bisa dipergunakan model.
b.
Membutuhkan
Pengalaman Menyatukan
Karena ketunanetraan
menimbulkan keterbatasan kemampuan untuk melihat keseluruhan dari suatu benda
atau kejadian, guru hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menyatukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang utuh. Mempegunakan
pembelajaran gabungan, dimana siswa belajar menghubungkan antara mata pelajaran
akademis dengan pengalaman kehidupan
nyata, merupakan suatu cara yang bagus untuk memberikan pengalaman menyatukan.
c.
Membutuhkan
Belajar sambil Bekerja.
Guru hendaknya memberi kesempatan kepada siswa tunanetra untuk
mempelajari suatu keterampilan dengan melakukan dan mempraktekan keterampilan
tersebut. Banyak bidang yang terdapat dalam kurikulum inti yang diperluas,
misalnya orientasi dan mobilitas, dapat diperlajari dengan mudah oleh tunanetra
apabila mempergunakan pendekatan belajar sambil
bekerja ini. Semua siswa, apakah dia tunanetra atau bukan, akan
mendapatkan keuntungan dari pembelajaran yang berdasar pada tiga prinsip metoda
husus tersebut, dan mempergunakan metoda pembelajaran seperti itu dapat
membantu siswa untuk belajar membuat suatu konsep dari suatu pola umum. Ada beberapa hal (dalam
Humairo:2013) yang dapat diberikan kepada siswa sehubungan dengan adanya
kekurangan siswa dalam hal penglihatan (tunanetra). Kebutuhan-kebutuhan ini
sangat membantu siswa tunanetra dalam menjalankan pendidikannya, antara lain:
1)
Alat pendidikan
Tunanetra (blind)
Alat pendidikan
bagi tunanetra terdiri dari :
a)
Alat Pendidikan
Khusus
(1) Mesin tik
Braille
(2) Printer Braille
b)
Alat Bantu
(1) Alat bantu
perabaan (buku-buku, air panas/dingin, batu)
(2) Alat Bantu
pendengaran (kaset, CD, talkingbooks)
c)
Alat Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati
melalui perabaan atau pendengaran.(patung hewan, patung tubuh manusia , peta
timbul)
2)
Low vision
Alat Bantu
pendidikan bagi anak low vision terdiri dari:
a)
Alat Bantu Optik
:
(1) Kaca mata
(2) Kaca mata
perbesaran
(3) Hand
magnifier / kaca pembesar
b)
Alat Bantu
(1) Kertas
bergaris besar
(2) Spidol
hitam
(3) Lampu meja
(3) Penyangga
buku
c)
Alat Peraga
(1) Gambar yang
diperbesar
(2) Benda asli
yang diawetkan
(3) Patung /
benda model tiruan
1.
Kebutuhan Pendidikan
Kehilangan
penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit dalam melakukan mobilitas, artinya
sulit untuk bergerak, dari satu tempat ketempat lainnya yang diinginkan . Oleh
karena itu, kepada mereka perlu diberikan suatu keterampilan khusus , agar
dapat melakukan mobilitas dengan cepat , tepat dan aman bagi anak yang
tergolong buta sisa penglihatannya tidak lagi digunakan untuk membaca huruf
awas sehinga bagi mereka digunakan huruf
Braille. (dalam Riyanti:2013)
Adanya
keterbatasaan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai aktivitas
yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena
memiliki hambatan maka selain membutuhkan layanan pendidikan umum sebagai mana
halnya anak awas, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk
merehabilitasi kelainannya. (dalam Riyanti:2013)
2.
Layanan Pendidikan Bagi Anak
Tunanetra
Layanan
pendidikan bagi anak tunanetra pada dasarnya sama dengan layanan pendidikan
bagi anak awas hanya dalam teknik penyampaiannya disesuaikan dengan kemampuan
dan ketidak mampuan atau karakteristik anak tunanetra. (dalam Riyanti:2013)
a.
Jenis Layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan
pendidikan bagi anak tunanetra meliputi layanan umum dan layanan khusus.
1)
Layanan umum
Latihan yang diberikan terhadap anak
tunanetra, umumnya meliputi hal-hal berikut:
a)
Keterampilan
b)
Kesenian
c)
Olahraga
2)
Layanan khusus/layanan rehabilitasi
Layanan khusus /rehabilitasi yang
diberikan terhadap anak tunanetra, antara lain sebagai berikut:
a)
latihan membaca dan menulis braille
b)
latihan penggunaan tongkat
c)
latihan orientasi dan mobilitas
d)
latihan visual/fungsional penglihatan
b.
Tempat /Sistem Layanan
1)
Tempat khusus/ sistem segregasi
Tempat pendidikan melalui sistem
segregasi bagi anak tunanetra adalah berikut ini:
a)
Sekolah khusus
Sekolah khusus yang konvensional
adalah Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra (SLB bagian A). Sekolah ini
memiliki kurikulum tersendiri yang dikhususkan bagi anak tunanetra.
b)
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB yang dimaksudkan disini berbeda
dengan SDLB yang ada dalam kurikulum 1994. SDLB yang dimaksud dalam kurikulum
tersebut, diperuntukkan bagi satu jenis kelainan, yaitu anak tunanetra saja,
sedangkan dalam konsep SDLB ini merupakan suatu sekolah pada tingkat dasar yang
menampung berbagai jenis kelainan, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa.
c)
Kelas jauh/kelas kunjung
Kelas jauh/kelas kunjung adalah
kelas yang dibentuk untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak luar biasa
termasuk anak tunanetra yang bertempat tinggal jauh dari SLB/SDLB.
2)
Sekolah biasa/sistem integrasi.
Penyelenggaraan sistem pendidikan
terpadu memerlukan seorang ahli ke-PLB-an yang disebut Guru Pembimbing Khusus
(GPK),dan ruang bimbingan khusus untuk memberikan layanan khusus bagi anak
tunanetra.
Melalui sistem integrasi/terpadu,
anak tunanetra belajar bersama-sama dengan anak normal (awas) dengan memperoleh
hak kewajiban yang sederajat. Sekolah
dasar atau sekolah biasa lainnya yang menerima anak tunanetra (anak luar biasa
pada umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Apabila disekolah
tersebut tidak terdapat bagi anak luar biasa maka secara otomatis sebutan
sekolah terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut sekolah dasar atau sekolah
biasa lainnya). Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan
memperoleh keuntungan berikut:
a)
Memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengenyam pendidikan bersama-sama dengan anak awas lainnya.
b)
Kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan
diri dalam menghadapi lingkungan dengan membiasakan diri berinteraksi dengan
teman-temannya yang awas.
Bentuk keterpaduan dalam sistem
pendidikan integrasi, sangat bervariasi. Kirk & Gallagher (1989:61-62)
mengemukakan bentuk-bentuk keterpaduan/integrasi yang meliputi:
(1) Bentuk
kelas biasa dengan guru konsultasi (regular classroom with consultant teacher)
(2) Kelas
biasa dengan guru kunjungan (itinerant teacher)
(3) Kelas
biasa dengan ruang sumber (resource room) atau ruang bimbingan khusus
(3) Kelas
khusus (special class)
c.
Ciri Khas Layanan dan
Bimbingan
Hal-hal yang
khas dalam pendidikan anak tunanetra adalah berikut ini:
1)
Penempatan anak tunanetra
Dalam menempatkan anak tunanetra,
perlu diperhatikan hal-hal berikut:
a)
Anak tunanetra ditempatkan didepan, agar dapat
mendengarkan penjelasan guru dengan jelas.
b)
Memberikan kesempatan kepada anak tunanetra untuk
memiliki tempat duduk yang sesuai dengan kemampuan penglihatannya
c)
Anak tunanetra hendaknya ditempatkan berdekatan dengan
anak yang relatif cerdas, agar terjadi proses saling membantu.
d)
Tidak diperkenankan dua anak tunanetra duduk
berdekatan, agar lebih terintegrasi dengan anak awas.
2)
Alat peraga yang digunakan hendaknya memiliki warna
yang kontras. Pada alat peraga bahan cetakan, antara tulisan dan warna dasar
kertas harus kontras.
3)
Ruang belajar bagi anak tunanetra terutama anak low vision cukup mendapatkan
cahaya/penerangan.
4)
Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah
yang berkaitan dengan kebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan
guru dalam bentuk:
a)
Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari
sisi fisik bangunan maupun dari sisi interaksi orang per-orang.
b)
Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang
dalam lingkungan barunya.
c)
Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi
sebagai bekal pemahaman kognitif, afektif dan psikomotornya.
d)
Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal
hal-hal baru, terutama hal-hal yang tidak ia temui ketika berada di rumah.
e)
Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam
berkomunikasi dan melakukan kontak.
f)
Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan
kontak-kontak sosial yang akan dilakukan dengan teman sebaya.
g)
Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan
dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika
yang berlaku di rumah dapat
berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian individu.
berbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadian individu.
h)
Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter
interaksi kelompok. Hal ini dapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok
memiliki karakter interaksi yang
berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa.
berbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orang dewasa.
G.
Strategi, Media dan Evaluasi
Pembelajaran Anak Tunanetra
1. Strategi
pembelajaran
Strategi
pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari
semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan,
materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi
sehingga proses pembelajaran tersebut berjalan dengan efektif dan efisien.
(dalam Riyanti:2013)
Dalam proses
pembelajaran (dalam Riyanti:2013), dapat digunakan berbagai macam strategi
pembelajaran yang didasarkan pada pertimbangan tertentu, antara lain berikut
ini:
a.
Berdasarkan pertimbangan pengolahan pesan terdapat dua
macam strategi pembelajaran, yaitu deduktif dan induktif.
b.
Berdasarkan pihak pengolah pesan, terdapat dua
strategi pembelajaran, yaitu ekspositorik dan heuristik.
c.
Berdasarkan pertimbangan pengaturan guru, ada 2 macam
strategi, yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu (team
teaching).
d.
Berdasarkan pertimbangan jumlah siswa, terdapat
strategi pembelajaran klasikal, kelompok kecil, dan individual.
e.
Berdasarkan interaksi guru dan siswa, terdapat
strategi pembelajaran tatap muka, dan melalui media.
Di samping strategi yang telah
dijelaskan diatas, ada strategi lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran
anak tunanetra, yaitu:
1)
Strategi individualisasi,
2)
Kooperatif, dan
3)
Modifikasi perilaku
Permasalahan
dalam strategi pembelajaran anak tunanetra adalah bagaimana upaya guru dalam
melakukan penyesuaian (modifikasi) terhadap semua komponen dalam proses
pembelajaran sehingga pesan maupun pengalaman pembelajaran menjadi sesuatu yang
dapat diterima/ditangkap oleh anak tunanetra melalui indera-indera yang masih
berfungsi, yaitu indera pendengaran, perabaan, pengecapan, serta sisa
penglihatan (bagi anak low vision).
(dalam Riyanti:2013)
Permasalahan
lainnya adalah bagaimana guru membiasakan dan melatih indera yang masih
berfungsi pada anak tunanetra agar lebih peka dalam menangkap pesan
pembelajara. Agar lebih mudah melakukan modifikasi dalam strategi pembelajaran
anak tunanetra, guru (dalam Riyanti:2013) harus memahami prinsip-prinsip dasar
dalam pembelajaran anak tunanetra, yaitu sebagai berikut.
a)
Prinsip individual
Prinsip individual, mempunyai pengertian
bahwa dalam proses pembelajaran, seorang guru harus memperhatikan
perbedaan-perbedaan individu.
b)
Prinsip kekonkretan/pengalaman penginderaan langsung
Prinsip ini mempunyai pengertian
bahwa strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memungkinkan anak
tunanetra mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya.
c)
Prinsip totalitas
Prinsip ini mempunyai pengertian
bahwa strategi pembelajaran yang dilakukan guru harus memungkinkan anak
tunanetra memperoleh pengalaman objek atau setuasi secara total atau
menyeluruh.
d)
Prinsip aktivitas mandiri (self activity)
Prinsip ini mempunyai pengertian
bahwa strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa memperoleh kesempatan
untuk belajar secara aktif dan mandiri. Dengan demikian, guru berfungsi sebagai
fasilitator, yang membantu kemudahan siswa belajar dan motivasi, yang
membangkitkan motivasi anak untuk belajar.
2. Media
pembelajaran
Media
pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat dilepaskan dari suatu proses
pembelajaran karena keberhasilan proses pembelajaran tersebut, salah satunya
ditentukan oleh penggunaan komponen ini.(dalam Riyanti:2013)
Menurut
fungsinya(dalam Riyanti:2013), media pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua
kelompok sebagai berikut.
a.
Media yang berfungsi untuk memperjelas penanaman
konsep, yang sering disebut sebagai alat peraga
b.
Media yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses
pembelajaran itu sendiri yang sering disebut sebagai alat bantu pembelajaran.
Berikut ini akan dijelaskan
jenis-jenis alat peraga dan alat bantu pembelajaran yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran anak tunanetra.
1)
Alat peraga
a)
Objek atau situasi yang sebenarnya.
Contohnya, objek yang sebenarnya: tumbuhan dan hewan
asli/sebenarnya.
b)
Benda asli yang diawetkan, contohnya binatang yang
diawetkan.
c)
Tiruan (model), yang terdiri dari model tiga dimensi
dan dua dimensi.
(1) Model/tiruan
3 dimensi memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi (memiliki volume)
sehingga bentuknya hampir sama dengan objek sebenarnya, akan tetapi sifat
substansi, permukaan, dan ukuran ada kemungkinan tidak sama.
(2) Model
dua dimensi, yaitu dimensi panjang dan lebar.
2)
Alat bantu pembelajaran
Alat bantu pembelajaran yang dapat
digunakan oleh anak tunanetra, antara lain berikut ini.
a)
Alat bantu untuk baca-tulis,
b)
Alat bantu untuk membaca (bagi anak low vision),
c)
Alat bantu berhitung,
d)
Alat bantu audio yang sering digunakan oleh anak
tunanetra.
3. Evaluasi
Evaluasi
terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra, pada dasarnya sama
dengan yang dilakukan terhadap anak awas, namun ada sedikit perbedaan yang
menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes. Materi tes atau
pertanyaan yang diberikan kepada anak tunanetra, tidak mengandung unsur-unsur
yang memerlukan persepsi visual. Contohnya jangan menanyakan tentang warna
kepada anak tunanetra karena warna hanya dapat diperoleh melalui persepsi
visual.
a.
Soal yang diberikan kepada anak tunanetra yang
tergolong buta, hendaknya dalam bentuk huruf braille, sedangkan bagi anak low vision dapat menggunakan huruf biasa
yang ukurannya disesuaikan dengan kemampuan penglihatannya.
b.
Anda harus bersifat objektif dalam mengevaluasi
pencapaian prestasi belajar anak tunanetra atau memberikan penilaian yang
sesuai dengan kemampuan.
c.
Waktu pelaksanaan tes bagi anak tunanetra, hendaknya
lebih lama dibandingkan dengan pelaksanaan tes untuk anak awas
d.
Mempergunakan
Prinsip-prinsip Metoda Khusus(dalam Riyanti:2013)
H.
Dampak Ketunanetraan bagi Keluarga, Masyarakat dan Penyelenggara
Pendidikan
Ketunanetraan memberi dampak yang tidak begitu baik
bagi keluarga. Salah satu contoh dampak ketunanetraan bagi keluarga, yaitu:
1.
Sebagian orang awam (kurang mengerti) menganggap bahwa
ketunanetraan yang terjadi pada anak diakibatkan oleh dosa orang tuanya
sehingga anak menjadi “wadal” dari dosa yang diperbuat orang tua. Asumsi
sebagian masyarakat tersebut seringkali dijadikan bahan olok-olokan bagi
konsumsi masyarakat.
2.
Sebagian orang berpendapat pula bahwa ketunanetraan
yang terjadi pada diakibatkan oleh penyakit atau kelainan yang diderita orang
tuanya, misalkan kedua orang tuanya merupakan penderita tunanetra.
Dampak yang
diakibatkan ketunanetraan bagi masyarakat, yaitu ketidakpercayaan masyarakat
kepada penderita tunanetra mengenai segala aspek yang dimilkinya, seperti keterampilan,
kelayakan untuk bekerja dan lain-lain sehingga asumsi ini lebih merugikan
penderita tunanetra.
Melalui
sistem pendidikan yang lebih terbuka (segresi ke integrasi hingga inklusif)
memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap individu tanpa pandang bulu
untuk mendapat pendidikan yang bermutu sesuai kondisi dan kebutuhan
masing-masing individu.
“Penyelenggara
pendidikan (guru PLB) menunjukkan cenderung lebih bersikap positif terhadap
anak tunanetra dibandingkan guru biasa yang tidak pernah berhubungan dengan
anak tunanetra khususnya di dalam kelas”, Murphy (dalam Somantri, 2012: 91).
Dampak yang
diterima orang tua dari ketunanetraan anaknya terkadang menimbulkan reaksi yang
berbeda yang orang tua tunjukkan kepada anaknya. Reaksi-reaksi tersebut dipaparkan Somantri (2012: 90), yaitu:
a.
Penerimaan
secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya
Reaksi ini ditunjukkan dengan pemberian kasih sayang yang wajar serta
pemberian perlakuan yang sama dengan anak lainnya.
b.
Penyangkalan
terhadap ketunetraan anak
Reaksi ini ditanggapi dengan sikap yang terbuka namun dengan alasan yang
tidak realistik terhadap kecatatan anaknya.Dalam pendidikan, orang tua
seringkali tidak percaya bahwa anak tidak perlu layanan pendidikan secara
khusus dan menyangkal bahwa akhirnya prestasinya rendah.
c.
Perlindungan
yang berlebihan
Ketunanetraan dirasakan sebagai akibat dari perasaan bersalah atau berdosa.
Sikap ini cenderung tidak menguntungkan anak karena akan menghambat
perkembangan dan kematangan anak terutama dalam kemandirian.
d.
Penolakan
secara tertutup
Reaksi ini ditunjukkan dengan sikap menyembunyikan anaknya dari
masyarakat.Ia tidak ingin diketahui bahwa telah memiliki anak tunanetra.
e.
Penolakan
secara terbuka
Reaksi ini ditunjukkan dengan sikap bahwa secara terus terang ia menyadari
ketunanetraan anaknya, tetapi sebenarnya secara rasio maupun emosional tidak
pernah dapat menerima kehadiran anaknya. Orang tua akan bersikap masa bodoh dan
tidak peduli dengan segala kebutuhan anaknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tunanetra
artinya rusaknya penglihatan.Tes yang digunakan untukmengetahui ketunanetraan
disebut snellen card.Tunanetra
disebabkan oleh retrolenta fibroplasia (RLF)/
banyaknya bayi lahir prematur serta faktor internal (bawaan) dan eksternal yang
lain (penyakit).Pembendaharaan kosakata pada anak tunanetra diperoleh dari
dalam dirinya sendiri dan orang lain.Hambatan-hambatan dalam perkembangan
motorik anak tunanetra berhubungan erat dengan ketidakmampuannya dalam
penglihatannya yang selanjutnya berpengaruh terhadapa faktor psikis dan fisik
anak pada tahap-tahap perkembangan anak tunanetra selanjutnya.
Perkembangan emosi anak tunanetra
digambarkan Somantri (2012: 82), yaitu:Perkembangan emosi anak tunanetra akan
semakin terhambat apabila mengalami deprivasi emosi, yaitu kurang memiliki
kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih
sayang, kegembiraan, perhatian, kesenangan, perasaan takut, malu, khawatir,
cemas, mudah marah, iri hati, dan kesedihan yang berlebihan.
Perkembangan sosial anak tunanetra
digambarkan Somantri (2012: 83-84), yaitu: Perkembangan sosial anak tunanetra
banyak menghadapi masalah, baik masalah
yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung, seperti kurangnya
motivasi, kekuatan menghadapi lingkungan sosial, perasaan rendah diri, malu,
penolakan masyarakat, penghinaan, sikap tak acuh, ketidak jelasan tuntutan
sosial dan terbatasnya kesempatan belajar tentang pola tingkah laku yang
diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan
perkembangan sosialnya menjadi terhambat.
Konsep diri (pengetahuan, harapan
dan penilaian) merupakan hal yang penting yang harus disadari penderita
tunanetra sehingga penderita tunanetradapat memandang dirinya lebih bermakna
dan berharga, menutupi kekurangan dengan kelebihan yang akan membuatnya lebih
bersyukur dan bisa membuktikan pada dunia luar jika dirinya juga bisa hidup
mandiri seperti orang lain dengan kondisi fisik yang normal yang pada akhirnya
akan membentuk perkembangan kepribadian yang positif pada diri penderita
tunanetra
Masalah-masalah yang dihadapi anak
tunanetra sangat beragam termasuk dalam ruang lingkup pendidikan, sosial,
emosi, kesehatan, pengajaran mencakup kesulitan dalam proses belajar anak,
orientasi dan mobilitas serta kebiasaan diri, gangguan emosi, penyesuaian diri,
keterampilan dan pekerjaan, ketergantungan diri dan penggunaan waktu senggang.
Dampak yang diterima orang terdekat
penderita tunanetra akan dilimpahkan kembali kepada anak tunanetra, misalnya
melalui reaksi-reaksi orang tua terhadap ketunanetraan anaknya, yaitu
penerimaan secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya, penyangkalan
terhadap ketunetraan anak, perlindungan yang berlebihan, penolakan secara
tertutup dan penolakan secara terbuka.
B. Saran
Setelah mengetahui beberapa hal tentang ketunanetraan, kami memeberikan
saran, setelah mengetahui faktor-faktor penyebab ketunanetraan, sebaiknya
keluarga, masyarakat dan tenaga pengajar cepat tanggap dalam menanggulangi
ketunanetraan berdasarkan pada faktor penyebabnya.Masalah anak tunanetra berupa masalah
pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian waktu luang, maupun
pekerjaan.Semua masalah tersebut dapat diantisipasi dengan memberikan layanan
pendidikan, arahan, bimbingan, latihan, dan kesempatan yang luas kepada anak
tunanetra.
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, Sutjihati. (2012). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT
Refika Aditama.
Humairo
Noer. (2013). Makalah Tunanetra, [Online]. Tersedia:
http://www.academia.edu. [05 Maret 2015].
Riyanti
Widi. (2013). Karakteristik dan Pendidikan Tunanetra, [Online].
Tersedia: http://www.academia.edu. [05Maret 2015].
Adriana.
(2013). Layanan Pendidikan Bagi Anak Dengan Ganggyan Tunanetra,
[Online]. Tersedia: http://www.academia.edu. [06 Maret 2015].
Sumiyati
Yeti. (2014). Makalah Bimbingan dan Pendidikan Anak Tunanetra, [Online].
Tersedia: http://www.academia.edu. [06 Maret 2015].