Monday, 19 January 2015

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD MENGGUNAKAN PERMAINAN


BAB I
PENDAHULUAN

   A.    Latar Belakang
Belajar tidak mungkin dipaksakan. Cara belajar yang baik, salah satunya adalah dalam suasana tanpa tekanan dan paksaan. Tentunya, cara belajar yang paling menyenangkan adalah sambil bermain. Naluri anak yang harus memperoleh kesempatan untuk bermain, tetap tersalurkan. Permainan biasanya dapat dilakukan dengan menirukan atau memperagakan keadaan yang sebenarnya.
 Teknik mengajar dengan permainan, terutama sangat efektif untuk menjelaskan suatu pengertian yang bersifat abstrak atau konsep yang sering sulit dijelaskan dengan kata-kata. Melalui permainan yang dirancang khusus, para siswa dapat mengalami sendiri secara langsung suatu kejadian. Dengan permainan, siswa dapat memahami suatu konsep, prinsip, unsur pokok dan hasil. Misalnya, untuk menjelaskan fonologi dan inotasi yang tidak ada wujud bendanya, permainan dapat menguraikan secara rinci dan jelas melalui prilaku siswa yang turut dalam permainan.
   B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan bermain dengan belajar?
2.      Apa pengertian bermain?
3.      Apa saja karakteristik kegiatan bermain?
4.      Bagaimana fungsi bermain dalam pendidikan?
5.      Apa saja permainan bahasa?
6.      Bagaimana membuat model-model pengembangan pembelajaran dengan permainan bahasa?

   C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hubungan bermain dengan belajar.
2.      Untuk mengetahui pengertian bermain.
3.      Untuk mengetahui karakteristik bermain.
4.      Untuk mengetahui fungsi bermain dalam pendidikan.
5.      Untuk mengetahui permainan bahasa.
6.      Untuk mengetahui model-model pengembangan pembelajaran dengan permainan bahasa.

 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hubungan Bermain dengan Belajar
Anak-anak bermain dengan berbagai bentuk dan cara. Ada permainan tertentu yang bentuknya berupa aktivitas yang mereka lakukan dengan manusia (people). Mereka bermain dengan teman sejawatnya, dengan kakak-adik-saudaranya, atau juga bermain dengan kita. Ada juga bentuk permainan yang mereka lakukan dengan benda-benda (toys), dari mulai yang paling canggih sampai yang sederhana, seperti sepeda atau bola. Soal caranya, Mildred B. Parten (1932) mengamati ada enam cara bermain yang biasa mereka tempuh. Keenam cara itu bisa kita lihat di bawah ini:
·         Unoccupied play: anak kita hanya berposisi sebagai pemerhati anak lain yang bermain.
·         Onlooker play: mereka melihat dan bertanya pada anak lain yang sedang bermain, tetapi tidak mau terlibat.
·         Solitary play: mereka bermain dengan barang mainannya tanpa ada keterlibatan dengan temanya, terkadang juga ngomong sendiri.
·         Paralel play: mereka sama-sama bermain dengan temannya (bukan bermain bersama), masing-masing memainkan barang mainan yang dibawa, tanpa ada interaksi dalam permainan
·         Assosiative play: mereka saling tukar barang mainan, namun tidak ada aturan yang mereka sepakati.
·         Co-operative play: mereka bermain dangan aturan yang mereka sepakati, misalnya bermain bola, perlombaan dalam naik sepeda, bermain game di komputer, dan biasanya menerapan hukum siapa yang kalah dan siapa yang menang.
Berbagai cara dalam bermain itu mereka lakukan sesuai dengan perkembangan usia dan jenis kelamin. Anak perempuan, katanya, lebih suka bermain secara paralel, sementara anak laki-laki bermain secara associative dan co-operative. Terlepas apapun cara bermain yang mereka tempuh, sejauh menyenangkan dan tidak membahayakan, bermain itu juga memberikan dampak perkembangan psikologis tertentu.
Dalam keilmuannya, banyak pendapat yang membeberkan hubungan sinergis antara bermain dan belajar, tetapi dalam prakteknya, tradisi kita pada umumnya masih mengkontradiksikan antara bermain dan belajar. Inipun muncul dengan berbagai alasan. Misalnya saja main berlebihan sehingga tidak bisa berkonsentrasi belajar (akademik) pada saat konsentrasi itu dibutuhkan. Atau juga, mereka bermain hanya untuk bermain sehingga proses pembelajaran mental yang mestinya mereka dapatkan dari permainan itu kurang optimal.
Untuk yang terakhir itu, memang tidak bisa hanya mengandalkan pada kapasitas anak-anak. Karena itu, di sinilah perlunya kita memfasilitasi anak-anak agar bisa menyerap berbagai materi pembelajaran mental yang mestinya mereka dapatkan dari permainan yang mereka lakukan. Tentu saja harus mengedepankan asas menyenangkan, tidak tegang, atau tidak terlalu tinggi untuk bisa ditangkap oleh jangkauan berpikir mereka. Akan lebih bagus lagi kalau ditambah dengan cerita-cerita kepahlawanan, kesalehan, dan kehebatan sosok yang mereka kagumi pada saat kondisi jiwa mereka siap menerima (story telling method).

B.     Pengertian Bermain
Pengertian bermain sangatlah unik dan deskriptif. Terdapat berbagai pandangan dan pengertian yang diberikan oleh kaum akademik maupun nonakademik secara luas dan beraagam, mulai teori klasik yang dikaitkan dengan “surplus energy” dan hewan. Teori ini menyatakan, semakin tinggi spesies makhluk hidup semakin banyak waktu dihabiskan untuk bermain di mana pada kasus spesies yang lebih rendah energi dikeluarkan hanya untuk memenuhi kebutuhan utama organisme tersebut. Antara tahun 50-an hingga 70-an  teori-teori tentang bermain muncul. Ada teori bermain yang dikaitkan dengan dorongan dan keperluan dasar organisme. Disamping itu ada juga teori yang menyatakan bermain sebagai komunikasi, bermain sebagai peluang menjelajah perilaku baru bahkan Heron (1971) menegaskan bermain sebagai suatu pekerjaan bagi anak-anak. Lebih jauh Moyles (1991) menegaskan bahwa bermain adalah suatu proses yang diperlukan baik oleh anak-anak maupun orang dewasa.  Bermain merupakan proses pembelajaran yang melibatkan pikiran, persepsi, konsep, kemahiran sosial dan fisik. Selain itu bermain juga dikaitkan dengan ganjaran instrinsik dan kegembiraan. Dengan demikian bermain merupakan aktivitas yang natural bagi anak-anak yang memberi peluang kepada mereka untuk mencipta, menjelajah dan mengenal dunia mereka sendiri.
Menurut tokoh-tokoh pendidikan anak-anak, seperti: Plato, Aristoteles,  Frobel, Hurlock dan Spencer (dalam Satya, 2006) bermain  adalah suatu upaya anak  untuk mencari kepuasan, melarikan diri ke alam fantasi dengan melepaskan segala keinginannya yang tidak dapat tersalurkan, seperti : keinginan untuk menjadi presiden, raja, permaisuri, cinderella dan lain-lain. Bermain sebagai kegiatan  mempunyai nilai praktis. Artinya bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Sedangkan menurut Hurlock, bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan. Di samping itu bermain bagi anak  adalah upaya yang menyalurkan energi yang berlebihan dan dapat menghindari hal-hal negatif yang diakibatkan dari tenaga yang berlebihan, salah-satu contoh akibat dari kelebihan tenaga ini adalah timbulnya perkelahian antar pelajar.
Menurut Rebecca Isbell dalam bukunya The Complete Learning Center Book, “Play is Children’s Work and Children Want to Play”, dalam bermain, anak-anak mengembangkan keahlian memecahkan masalah dengan menggunakan berbagai cara untuk melakukan sesuatu dan menentukan pendekatan terbaik. Dalam bermain anak-anak menggunakan bahasa untuk melakukan kegiatan mereka, memperluas dan memperbaiki bahasa mereka sambil berbicara dengan anak lainnya. Ketika bermain, mereka belajar tentang orang lain selain dirinya dan mereka mencoba berbagai peran dan menyesuaikan diri saat bekerjasama dengan orang lain. Bermain membentuk perkembangan anak pada semua bagian: intelektual, sosial, emosional dan fisik (Isbell dalam Satya, 2006)
Bermain adalah pekerjaan anak-anak dan anak-anak sangat gemar bermain. Dalam bermain anak mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dengan mencoba berbagai cara dengan mengerjakan sesuatu dan memilih dan menentukan cara yang paling tepat. Dalam bermain anak-anak menggunakan bahasa untuk membawakan aktivitasnya, memperluas dan menyaring bahasa mereka dengan berbicara dan mendengar anak lain. Ketika bermain mereka belajar memahami orang lain dengan cara mensepakati komitmen yang mereka buat dari berbagai aturan dan menilai pekerjaan secara bersama-sama. Bermain mematangkan perkembangan anak-anak dalam semua area; intelektual, sosial ekonomi dan fisik.
Bermain bagi anak adalah apa yang mereka lakukan sepanjang hari, bermain adalah kehidupan dan kehidupan adalah bermain. Anak-anak tidak membedakan antara bermain, belajar dan bekerja. Anak-anak adalah pemain alami, mereka menikmati bermain dan dapat berkonsentrasi dalam waktu yang lama untuk sebuah keterampilan. Bermain merupakan motivasi interinsik bagi anak dan tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Dalam bermain anak dapat mengembangkan mental, menumbuhkan kemampuan untuk memecahkan masalah dalam hidupnya (perkembangan sosial) dan meningkatkan kebugaran komponen motoriknya. Tidak ada satu definisi yang dapat  menjelaskan arti bermain yang sebenarnya.( Mary Mayesky, 1990; dalam Satya 2006).
Permainan anak-anak merupakan wadah dasar dan indikator pengembangan mental. Bermain memungkinkan anak-anak untuk memajukan perkembangannya seperti sensori motor, intelegensi pada bayi, mulai dari operasional sampai operasional konkrit pada anak pra sekolah juga mengembangkan kognitif, fisik, dan perkembangan sosial ekonomi (George W Maxim, 1992, dalam Satya 2006).
Bermain merupakan kepentingan utama seorang anak dalam hidupnya, lewat bermain ia belajar keahlian untuk bertahan dan menemukan pola dalam dunia yang penuh kebingungan. (Lee, 1977).
Bermain merupakan tujuan dasar dari belajar pada masa kanak-kanak. Anak-anak secara bertahap mengembangkan konsep dari hubungan yang wajar, kemampuan untuk membedakan, untuk menilai, untuk menganalisis dan mengambil intisari, untuk membayangkan dan merumuskan.


C.    Karakteristik Kegiatan Bermain
George W Maxim (dalam Satya, 2006) mengemukakan lima karakteristik yang dapat diidentifikasi dalam bermain yaitu :
·         Motivasi interinsik, aktivitas bertujuan untuk kesenangan dan motivasi datang dari dalam diri anak
·         Penekanan pada proses bukan hasil
·         Perilaku nonliteral, anak-anak menggunakan kekuatan yang luar biasa untuk berpura-pura selama bermain
·         Kebebasan
·         Kesenangan
Sedangkan karakteristik bermain yang dikemukakan oleh Mary Mayesky antara lain:
·         Bagian alami dalam kehidupan anak, orang dewasa tidak dapat  mengemukakan bagaimana anak bermain
·         Langsung pada diri sendiri
·         Aktivitas kreatif bukan hasilnya
·         Aktivitas total
·         Sesuatu yang sensitif bagi anak

D.    Fungsi Bermain dalam Pendidikan
1.      Bigo, Kohnstam, dan Palland (1950 : 275-276)
Ketiga pakar ini berpendapat bahwa permainan mempunyai makna pendidikan, dengan uraian sebagai berikut :
-          Permainan merupakan salah satu dari banyak wahana untuk membawa anak kepada hidup bersama atau bermasyarakat. Anak akan memahami dan menghargai dirinya atau temannya. Pada anak yang bermain, akan tumbuh rasa kebersamaan, yang sangat baik bagi pembentukan rasa sosialnya.
-          Dalam permainan anak akan mengetahui kekuatannya, menguasai alat bermain, dan mengetahui sifat alat.
-          Dalam permainan, anak akan mempunyai suasana, yang tidak hanya mengungkapkan fantasinya saja, tetapi juga akan mengungkapkan semua sifat aslinya, dan pengungkapan itu dilakukan secara patuh dan spontan. Anak laki-laki dan perempuan yang berumur sama akan berbuat yang berbeda terhadap permainan yang sama (misalnya bermain dengan kubus, atau boneka).
-          Dalam permainan, anak mengungkapkan macam-macam emosinya, dan sesuai dengan yang diperolehnya saat itu jenis emosi itu diungkapkannya, serta tidak mengarah pada prestasi.
-          Dalam bermain anak akan dibawa kepada kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan dalam dunia kehidupan anak. Semua situasi ini mempunyai makna wahana pendidikan.
-          Permainan akan mendasari kerjasama, taat kepada peraturan permainan, pembinaan watak jujur dalam bermain, dan semuanya ini akan membentuk sifat ”fairplay” (jujur, sifat kesatria, atau baik) dalam bermain.
-          Bahaya dalam bermain dapat saja timbul, dan keadaan ini akan banyak gunanya dalam hidup yang sesungguhnya.
2.      Pendapat Huizinga (1950) karena masalah permainan dalam perluasannya  merupakan gejala kebudayaan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa permainan itu mempunyai makna pendidikan praktis.
3.      Montessori (Bigot, Kohnstamm, dan Pallad, 1950 : 273) menyebutkan  permainan sebagai alat untuk mempelajari fungsi. Rasa senang akan terdapat dalam segala macam jenis permainan, akan merupakan dorongan yang kuat untuk mempelajari sesuatu.
4.      Bucher (1960 : 48) berpendapat bahwa permainan yang telah lama dikenal  oleh anak-anak, orang tua, laki-laki maupun perempuan, mampu menggerakkan untuk berlatih, bergembira, dan rileks. Permainan merupakan salah satu komponen pokok pada tiap program pendidikan jasmani, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mengenal secara mendalam tentang seluk beluk permainan.
5.      Cowell dan Honzeltn (1955 : 146) mengatakan bahwa untuk membawa anak kepada cita-cita pendidikan, maka perlu adanya usaha peningkatan keadaan jasmani, sosial, mental, dan moral anak yang optimal. Agar memperoleh peningkatan tersebut, anak dapat dibantu dengan permainan, karena anak dapat menampilkan dan memperbaiki keterampilan jasmani, rasa sosial, percaya diri, peningkatan moral dan spiritual lewat ”fairplay” dan ”sportmanship” atau bermain dengan jujur, sopan, dan berjiwa olahragawan sejati.
6.       Drijarkara (1955 : 15) mengutarakan bahwa dorongan untuk bermain itu pasti ada pada setiap manusia. Akan tetapi lebih-lebih pada manusia muda, sebab itu sudah semestinya bahwa permainan digunakan pada pendidikan.
7.      Hadi Soekatna (Taman Siswa, 1956 : 165) mengemukakan bahwa memang kita kaum Taman Siswa mempunyai keyakinan setebal-tebalnya bahwa dengan permainan kanak-kanak sebagai alat pendidikan itu dapat membimbing anak kita ke arah kesempurnaan hidup kebangsaan semurni-murninya.
8.      Rob dan Leetouwer (1950 : 38) mengatakan, bila seorang guru permainan menentukan dan menempati tujuan permainan, bahwa anak bermain untuk kesenangannya, para pemain akan bermain dengan senang, maka akan timbullah realitas yang harmonis dengan ditandai dengan adanya ketertiban dan keteraturan, akan timbul banyak situasi pedagogik.
9.      Rijsdorp (1971 : 47) mengutarakan bahwa anak yang bermain kepribadiannya akan berkembang, dan wataknya akan terbentuk juga.

E.     Permainan Bahasa
Dengan jalan bermain, dapat diperoleh suatu kegembiraan atau kepuasan. Dibalik kegembiraan atau kepuasan, sebenarnya siswa memperoleh sejumlah keterampilan. Di dalam setiap permainan, terdapat suatu tantangan yang harus dihadapi. Tantangan itu kadang-kadang berupa masalah yang harus dipecahkan, kadang-kadang berupa rintangan yang harus diatasi, kadang-kadang pula berupa kompetisi yang harus dimenangkan.
Untuk memperoleh pengalaman dan keterampilan dalam bidang kebahasaan, dapat ditempuh melalui berbagai permainan. Permainan-permaian yang berfungsi untuk melatih keterampilan dalam bidang kebahasaan itulah yang dinamakan permainan bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari, permainan semacam itu sudah sering dilakukan. Akan tetapi pada umumnya hanya merupakan kegiatan pengisi waktu luang saja.
Tujuan permainan bahasa menurut Soeparno (1980: 60) yaitu untuk memperoleh kegembiraan dan memperoleh keterampilan tertentu dalam bidang kebahasaan. Apabila ada jenis permainan namun tidak ada keterampilan kebahasaan yang dilatihkan, maka permainan tersebut bukanlah permainan bahasa.
Berikut ciri-ciri permainan bahasa yang baik dan cocok dipraktikkan dalam pengajaran bahasa:
·         Dapat mengukuhkan dan meningkatkan penguasaan bahasa, seperti mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Selain itu juga dapat meningkatkan penguasaan unsur bahasa. (kosa kata dan tata bahasa).
·         Mempunyai rangsangan dan bahan yang menarik sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa pelajar.
·         Memberikan peluang kepada siswa untuk bertindak secara aktif dan positif serta dapat meningkatkan minat mereka.
·         Melibatkan peserta didik secara aktif, baik dalam kelompok maupun kelas.
·         Mempunyai petunjuk dan peraturan yang jelas serta mudah dipahami.
·         Dapat dijalankan dalam jangka waktu dan tempat yang sesuai agar pembelajaran dapat dicapai secara objektif.
Terdapat beragam macam permainan yang dapat diguanakan untuk pembelajaran Bahasa Indonesia. Beberapa contoh diantaranya sebagai berikut: 
1.      Bisik Berantai
Permainan ini dilakukan dengan cara setiap siswa harus membisikkan suatu kata (untuk kelas rendah) atau kalimat atau cerita (untuk kelas tinggi) kepada pemain berikutnya. Terus berurut sampai pemain terakhir. Pemain terakhir harus mengatakan isi kata atau kalimat atau cerita yang dibisikkan. Permainan ini dapat dilombakan dengan cara berkelompok. Permainan ini melatih keterampilan menyimak atau mendengarkan. 
2.      Bertanya dan Menerka
Pada permainan ini siswa dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok satu sebagai penjawab dan kelompok kedua sebagai penannya. Kelompok penjawab harus menyembunyikan satu benda yang akan diterka oleh kelompok penannya dengan cara memberi pertanyaan yang mengarah kepada benda yang harus diterka. Setiap anggota kelompok penanya diberi kesempatan untuk memberikan satu pertanyaan kepada kelompok penjawab. Kelompok penjawab hanya boleh menjawab ”ya” atau ”tidak”. Setelah seluruh anggota kelompok bertanya, maka kelompok harus berunding dari hasil jawaban penjawab, benda apa yang disembunyikannya itu. Bila dapat diterka, maka kelompok penanya mendapat nilai. Permainan ini untuk melatih berbicara dan berpikir analitis 
3.      Meloncat Bulatan Kata
Buatlah bulatan-bulatan dari kertas karton, kira-kira sebesar piring. Tulislah nama-nama susunan keluarga, misalnya; ayah, ibu, kakak, adik. Pasanglah bulatan kata itu di lantai. Bentuklah siswa menjadi beberapa kelompok. Seluruh siswa setiap kelompok meloncati bulatan kata yang diucapkan kelompok lain atau guru. Misalnya loncat ke kakak, loncat ke ibu, loncat ke adik. Dengan demikian, setiap anak membaca bulatan untuk diinjak. Lebih meningkat lagi, bulatan kata bisa dalam bentuk yang lebih sulit, misalnya kata yang bila digabung menjadi kalimat. Kata dalam bulatan disebar di lantai dan memungkinkan dapat menyusun beberapa kalimat bila diloncati dengan benar. Misalnya: Ayah pergi ke pasar. Ayah membawa buku. Jadi siswa harus loncat ke ayah, pergi ke dan pasar. Permainan ini untuk membaca permulaan.  

4.      Teka-Teki Silang
Permainan ini adalah menebak padanan kata sesuai dengan jumlah kotak yang disediakan. Permainan ini berguna untuk olah pikir mahasiswa dalam memahami sebuah istilah, dengan melacak kata demi kata yang sesuai dengan ungkapan dalam perintah tts. 
5.      Klos Wacana (mengisi wacana rumpang),
Klos Wacana adalah uraian cerita rumpang yang didalamnya terdapat bagian cet bagian cerita yang dihilangkan. Tugas mahasiswa adalah menuliskan kata-kata yang sesuai dengan jalan ce yang sesuai dengan jalan cerita yang diberikan. 
6.      Klos Bergambar
Klos Bergambar adalah cerita rumpang yang didalamnya terdapat sebuah gambar yang haru dideskripsikan dengan tulisan agar sesuai dengan cerita yang disampaikan. Permaianan ini berguna untuk membantu dalam mengeinterpreasikan sebuah gambar sesuai dengan jalan cerita yang disampaikan. 
7.      Menyusun Kaliamat Dari Kata Akhir
Pada permainan ini anak diminta untuk berdiri berjajar. Selanjutnya guru mengawali dengan sebuah kalimat, dari kalimat yang sudah diucapkan secara lisan akan ditemukan kata akhir. Kata akhir tersebut lalu digunakan oleh anak berikutnya menjadi kata pertama untuk membuat kalimat baru. 
8.      Menebak Benda Misteri
 Anak disuruh membawa benda terbungkus yang tidak boleh diketahui oleh kelompok lain, mereka juga disuruh mendeskripsikan isi benda tersebut. Kelompok lain di suruh membaca dan menebak nama isi benda tersebut. 



9.      Memasangkan Gambar Dengan Teks
Permainan ini memberikan pengarahan tentang deskripsi sebuah sikap atau perbuatan baik dan buruk. Dari kegiatan ini, anak bisa belajar membaca dan menunjukkan nilai-nilai dalam tauladan hidupnya. Cara permaian  ini mudah. Siswa tinggal menarik garis penghubung antara gambar dengan kotak deskripsi yang sesuai. 
10.  Berbalas Pantun
Siswa berbaris melingkar, guru berada ditengah lingkaran menyiapkan sebuah pantun dan sebuah bola yang akan dilempar kepeserta sambil menyebutkan nama siswa. Siswa yang menerima harus membalas pantun, kemudian melempar bola kepada teman sambil menyebut namanya. 

F.     Membuat Model-Model Pengembangan Pembelajaran dengan Permainan Bahasa
Menyusun Kaliamat Dari Kata Akhir
Pada permainan ini anak diminta untuk baris berjajar. Selanjutnya guru mengawali dengan sebuah kalimat, dari kalimat yang sudah diucapkan secara lisan akan ditemukan kata akhir. Kata akhir tersebut lalu digunakan oleh anak berikutnya menjadi kata pertama untuk membuat kalimat baru. Contoh :
·         Setiap hari aku pergi kesekolah naik sepeda
·         Sepeda baru aku adalah hadiah lomba melukis  
·         Melukis adalah yang paling aku suka  
·         Sukailah karya bangsa sendiri  
·         Sendiri di rumah sangat susah 
·         Susah senang itu adalah kembang kehidupan
·         Kehidupan di dunia hanyalah sementara. dan seterusnya.



BAB III
PENUTUP

   A.    Kesimpulan
Bermain merupakan proses pembelajaran yang melibatkan pikiran, persepsi, konsep, kemahiran sosial dan fisik. Selain itu bermain juga dikaitkan dengan ganjaran instrinsik dan kegembiraan. Dengan demikian bermain merupakan aktivitas yang natural bagi anak-anak yang memberi peluang kepada mereka untuk mencipta, menjelajah dan mengenal dunia mereka sendiri.
Permainan bahasa merupakan permainan-permaian yang berfungsi untuk melatih keterampilan dalam bidang kebahasaan. Pada dasarnya tujuan permainan bahasa yaitu untuk memperoleh kegembiraan dan memperoleh keterampilan tertentu dalam bidang kebahasaan. Apabila ada jenis permainan namun tidak ada keterampilan kebahasaan yang dilatihkan, maka permainan tersebut bukanlah permainan bahasa. (Soeparno 1980: 60)
   B.     Saran
Bagi guru-guru sekolah dasar dan calon guru sekolah dasar yang akan menggunakan permainan bahasa selayaknya terlebih dahulu mempelajari permainan bahasa dari sumber yang lebih lengkap lagi untuk menyesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan anak didiknya.



DAFTAR PUSTAKA

Simon, Rochdi, dkk. (2007). Model Permainan di Sekolah Dasar. FIP. UPI
Sugiarsih, Septia. (2010). Permainan Bahasa Dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Sekolah Dasar. FIP. Universitas Negeri Yogyakarta