BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Belajar tidak mungkin dipaksakan. Cara belajar yang
baik, salah satunya adalah dalam suasana tanpa tekanan dan paksaan. Tentunya,
cara belajar yang paling menyenangkan adalah sambil bermain. Naluri anak yang
harus memperoleh kesempatan untuk bermain, tetap tersalurkan. Permainan
biasanya dapat dilakukan dengan menirukan atau memperagakan keadaan yang
sebenarnya.
Teknik mengajar dengan permainan, terutama
sangat efektif untuk menjelaskan suatu pengertian yang bersifat abstrak atau
konsep yang sering sulit dijelaskan dengan kata-kata. Melalui permainan yang
dirancang khusus, para siswa dapat mengalami sendiri secara langsung suatu
kejadian. Dengan permainan, siswa dapat memahami suatu konsep, prinsip, unsur
pokok dan hasil. Misalnya, untuk menjelaskan fonologi dan inotasi yang tidak
ada wujud bendanya, permainan dapat menguraikan secara rinci dan jelas melalui
prilaku siswa yang turut dalam permainan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana hubungan bermain dengan belajar?
2.
Apa pengertian bermain?
3.
Apa saja karakteristik kegiatan bermain?
4.
Bagaimana fungsi bermain dalam pendidikan?
5.
Apa saja permainan bahasa?
6.
Bagaimana membuat model-model pengembangan pembelajaran
dengan permainan bahasa?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui
hubungan bermain dengan belajar.
2.
Untuk mengetahui
pengertian bermain.
3.
Untuk mengetahui
karakteristik bermain.
4.
Untuk mengetahui
fungsi bermain dalam pendidikan.
5.
Untuk mengetahui
permainan bahasa.
6.
Untuk mengetahui
model-model pengembangan pembelajaran dengan permainan bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan
Bermain dengan Belajar
Anak-anak bermain dengan
berbagai bentuk dan cara. Ada permainan tertentu yang bentuknya berupa
aktivitas yang mereka lakukan dengan manusia (people). Mereka bermain
dengan teman sejawatnya, dengan kakak-adik-saudaranya, atau juga bermain dengan
kita. Ada juga bentuk permainan yang mereka lakukan dengan benda-benda (toys),
dari mulai yang paling canggih sampai yang sederhana, seperti sepeda atau bola.
Soal caranya, Mildred B. Parten (1932) mengamati ada enam cara bermain yang
biasa mereka tempuh. Keenam cara itu bisa kita lihat di bawah ini:
·
Unoccupied play:
anak kita hanya berposisi sebagai pemerhati anak lain yang bermain.
·
Onlooker play:
mereka melihat dan bertanya pada anak lain yang sedang bermain, tetapi tidak
mau terlibat.
·
Solitary play:
mereka bermain dengan barang mainannya tanpa ada keterlibatan dengan temanya,
terkadang juga ngomong sendiri.
·
Paralel play:
mereka sama-sama bermain dengan temannya (bukan bermain bersama), masing-masing
memainkan barang mainan yang dibawa, tanpa ada interaksi dalam permainan
·
Assosiative play:
mereka saling tukar barang mainan, namun tidak ada aturan yang mereka sepakati.
·
Co-operative play:
mereka bermain dangan aturan yang mereka sepakati, misalnya bermain bola,
perlombaan dalam naik sepeda, bermain game di komputer, dan biasanya
menerapan hukum siapa yang kalah dan siapa yang menang.
Berbagai
cara dalam bermain itu mereka lakukan sesuai dengan perkembangan usia dan jenis
kelamin. Anak perempuan, katanya, lebih suka bermain secara paralel, sementara
anak laki-laki bermain secara associative dan co-operative.
Terlepas apapun cara bermain yang mereka tempuh, sejauh menyenangkan dan tidak
membahayakan, bermain itu juga memberikan dampak perkembangan psikologis
tertentu.
Dalam
keilmuannya, banyak pendapat yang membeberkan hubungan sinergis antara bermain
dan belajar, tetapi dalam prakteknya, tradisi kita pada umumnya masih
mengkontradiksikan antara bermain dan belajar. Inipun muncul dengan berbagai alasan.
Misalnya saja main berlebihan sehingga tidak bisa berkonsentrasi belajar
(akademik) pada saat konsentrasi itu dibutuhkan. Atau juga, mereka bermain
hanya untuk bermain sehingga proses pembelajaran mental yang mestinya mereka
dapatkan dari permainan itu kurang optimal.
Untuk
yang terakhir itu, memang tidak bisa hanya mengandalkan pada kapasitas
anak-anak. Karena itu, di sinilah perlunya kita memfasilitasi anak-anak agar
bisa menyerap berbagai materi pembelajaran mental yang mestinya mereka dapatkan
dari permainan yang mereka lakukan. Tentu saja harus mengedepankan asas
menyenangkan, tidak tegang, atau tidak terlalu tinggi untuk bisa ditangkap oleh
jangkauan berpikir mereka. Akan lebih bagus lagi kalau ditambah dengan
cerita-cerita kepahlawanan, kesalehan, dan kehebatan sosok yang mereka kagumi
pada saat kondisi jiwa mereka siap menerima (story telling method).
B.
Pengertian Bermain
Pengertian bermain sangatlah
unik dan deskriptif. Terdapat berbagai pandangan dan pengertian yang diberikan
oleh kaum akademik maupun nonakademik secara luas dan beraagam, mulai teori
klasik yang dikaitkan dengan “surplus energy” dan hewan. Teori ini menyatakan,
semakin tinggi spesies makhluk hidup semakin banyak waktu dihabiskan untuk
bermain di mana pada kasus spesies yang lebih rendah energi dikeluarkan hanya
untuk memenuhi kebutuhan utama organisme tersebut. Antara tahun 50-an hingga
70-an teori-teori tentang bermain
muncul. Ada teori bermain yang dikaitkan dengan dorongan dan keperluan dasar
organisme. Disamping itu ada juga teori yang menyatakan bermain sebagai
komunikasi, bermain sebagai peluang menjelajah perilaku baru bahkan Heron
(1971) menegaskan bermain sebagai suatu pekerjaan bagi anak-anak. Lebih jauh
Moyles (1991) menegaskan bahwa bermain adalah suatu proses yang diperlukan baik
oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Bermain merupakan proses pembelajaran yang melibatkan pikiran, persepsi,
konsep, kemahiran sosial dan fisik. Selain itu bermain juga dikaitkan dengan
ganjaran instrinsik dan kegembiraan. Dengan demikian bermain merupakan
aktivitas yang natural bagi anak-anak yang memberi peluang kepada mereka untuk
mencipta, menjelajah dan mengenal dunia mereka sendiri.
Menurut tokoh-tokoh pendidikan anak-anak, seperti: Plato,
Aristoteles, Frobel, Hurlock dan Spencer
(dalam Satya, 2006) bermain adalah suatu
upaya anak untuk mencari kepuasan,
melarikan diri ke alam fantasi dengan melepaskan segala keinginannya yang tidak
dapat tersalurkan, seperti : keinginan untuk menjadi presiden, raja, permaisuri,
cinderella dan lain-lain. Bermain sebagai kegiatan mempunyai nilai praktis. Artinya bermain
digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu
pada anak. Sedangkan menurut Hurlock, bermain adalah setiap kegiatan yang
dilakukan untuk kesenangan. Di samping itu bermain bagi anak adalah upaya yang menyalurkan energi yang
berlebihan dan dapat menghindari hal-hal negatif yang diakibatkan dari tenaga
yang berlebihan, salah-satu contoh akibat dari kelebihan tenaga ini adalah
timbulnya perkelahian antar pelajar.
Menurut Rebecca Isbell dalam bukunya The Complete Learning Center
Book, “Play is Children’s Work and Children Want to Play”, dalam
bermain, anak-anak mengembangkan keahlian memecahkan masalah dengan
menggunakan berbagai cara untuk melakukan sesuatu dan menentukan
pendekatan terbaik. Dalam bermain anak-anak menggunakan bahasa untuk
melakukan kegiatan mereka, memperluas dan memperbaiki bahasa mereka
sambil berbicara dengan anak lainnya. Ketika bermain, mereka belajar
tentang orang lain selain dirinya dan mereka mencoba berbagai peran dan
menyesuaikan diri saat bekerjasama dengan orang lain. Bermain membentuk
perkembangan anak pada semua bagian: intelektual, sosial, emosional dan
fisik (Isbell dalam Satya, 2006)
Bermain adalah pekerjaan anak-anak dan anak-anak sangat gemar bermain.
Dalam bermain anak mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dengan mencoba
berbagai cara dengan mengerjakan sesuatu dan memilih dan menentukan cara yang
paling tepat. Dalam bermain anak-anak menggunakan bahasa untuk membawakan
aktivitasnya, memperluas dan menyaring bahasa mereka dengan berbicara dan
mendengar anak lain. Ketika bermain mereka belajar memahami orang lain dengan
cara mensepakati komitmen yang mereka buat dari berbagai aturan dan menilai
pekerjaan secara bersama-sama. Bermain mematangkan perkembangan anak-anak dalam
semua area; intelektual, sosial ekonomi dan fisik.
Bermain bagi anak adalah apa yang mereka lakukan sepanjang hari, bermain
adalah kehidupan dan kehidupan adalah bermain. Anak-anak tidak membedakan
antara bermain, belajar dan bekerja. Anak-anak adalah pemain alami, mereka
menikmati bermain dan dapat berkonsentrasi dalam waktu yang lama untuk sebuah
keterampilan. Bermain merupakan motivasi interinsik bagi anak dan tidak ada
seorangpun yang dapat mengatakan apa yang akan dilakukan dan bagaimana
melakukannya.
Dalam bermain anak dapat mengembangkan mental, menumbuhkan kemampuan
untuk memecahkan masalah dalam hidupnya (perkembangan sosial) dan meningkatkan
kebugaran komponen motoriknya. Tidak ada satu definisi yang dapat menjelaskan arti bermain yang sebenarnya.(
Mary Mayesky, 1990; dalam Satya 2006).
Permainan anak-anak merupakan wadah dasar dan indikator pengembangan
mental. Bermain memungkinkan anak-anak untuk memajukan perkembangannya seperti
sensori motor, intelegensi pada bayi, mulai dari operasional sampai operasional
konkrit pada anak pra sekolah juga mengembangkan kognitif, fisik, dan
perkembangan sosial ekonomi (George W Maxim, 1992, dalam Satya 2006).
Bermain merupakan kepentingan utama seorang anak dalam hidupnya, lewat
bermain ia belajar keahlian untuk bertahan dan menemukan pola dalam dunia yang
penuh kebingungan. (Lee, 1977).
Bermain merupakan tujuan dasar dari belajar pada masa kanak-kanak.
Anak-anak secara bertahap mengembangkan konsep dari hubungan yang wajar,
kemampuan untuk membedakan, untuk menilai, untuk menganalisis dan mengambil
intisari, untuk membayangkan dan merumuskan.
C.
Karakteristik Kegiatan Bermain
George W Maxim (dalam Satya, 2006) mengemukakan lima karakteristik yang dapat
diidentifikasi dalam bermain yaitu :
·
Motivasi interinsik, aktivitas bertujuan untuk kesenangan dan
motivasi datang dari dalam diri anak
·
Penekanan pada proses bukan hasil
·
Perilaku nonliteral, anak-anak menggunakan kekuatan yang luar
biasa untuk berpura-pura selama bermain
·
Kebebasan
·
Kesenangan
Sedangkan karakteristik bermain yang dikemukakan oleh Mary Mayesky antara
lain:
·
Bagian alami dalam kehidupan anak, orang dewasa tidak
dapat mengemukakan bagaimana anak
bermain
·
Langsung pada diri sendiri
·
Aktivitas kreatif bukan hasilnya
·
Aktivitas total
·
Sesuatu yang sensitif bagi anak
D.
Fungsi Bermain dalam Pendidikan
1.
Bigo, Kohnstam, dan Palland (1950 : 275-276)
Ketiga pakar ini berpendapat
bahwa permainan mempunyai makna pendidikan, dengan uraian sebagai berikut :
-
Permainan merupakan salah satu dari banyak wahana untuk
membawa anak kepada hidup bersama atau bermasyarakat. Anak akan memahami dan
menghargai dirinya atau temannya. Pada anak yang bermain, akan tumbuh rasa
kebersamaan, yang sangat baik bagi pembentukan rasa sosialnya.
-
Dalam permainan anak akan mengetahui kekuatannya, menguasai
alat bermain, dan mengetahui sifat alat.
-
Dalam permainan, anak akan mempunyai suasana, yang tidak
hanya mengungkapkan fantasinya saja, tetapi juga akan mengungkapkan semua sifat
aslinya, dan pengungkapan itu dilakukan secara patuh dan spontan. Anak
laki-laki dan perempuan yang berumur sama akan berbuat yang berbeda terhadap permainan
yang sama (misalnya bermain dengan kubus, atau boneka).
-
Dalam permainan, anak mengungkapkan macam-macam emosinya, dan
sesuai dengan yang diperolehnya saat itu jenis emosi itu diungkapkannya, serta
tidak mengarah pada prestasi.
-
Dalam bermain anak akan dibawa kepada kesenangan,
kegembiraan, dan kebahagiaan dalam dunia kehidupan anak. Semua situasi ini
mempunyai makna wahana pendidikan.
-
Permainan akan mendasari kerjasama, taat kepada peraturan
permainan, pembinaan watak jujur dalam bermain, dan semuanya ini akan membentuk
sifat ”fairplay” (jujur, sifat kesatria, atau baik) dalam bermain.
-
Bahaya dalam bermain dapat saja timbul, dan keadaan ini akan
banyak gunanya dalam hidup yang sesungguhnya.
2.
Pendapat Huizinga (1950) karena masalah permainan dalam perluasannya
merupakan gejala kebudayaan, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa permainan itu mempunyai makna pendidikan
praktis.
3.
Montessori (Bigot, Kohnstamm, dan Pallad, 1950 : 273)
menyebutkan permainan sebagai alat untuk
mempelajari fungsi. Rasa senang akan terdapat dalam segala macam jenis
permainan, akan merupakan dorongan yang kuat untuk mempelajari sesuatu.
4.
Bucher (1960 : 48) berpendapat bahwa permainan yang telah
lama dikenal oleh anak-anak, orang tua,
laki-laki maupun perempuan, mampu menggerakkan untuk berlatih, bergembira, dan
rileks. Permainan merupakan salah satu komponen pokok pada tiap program
pendidikan jasmani, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mengenal
secara mendalam tentang seluk beluk permainan.
5.
Cowell dan Honzeltn (1955 : 146) mengatakan bahwa untuk
membawa anak kepada cita-cita pendidikan, maka perlu adanya usaha peningkatan
keadaan jasmani, sosial, mental, dan moral anak yang optimal. Agar memperoleh
peningkatan tersebut, anak dapat dibantu dengan permainan, karena anak dapat
menampilkan dan memperbaiki keterampilan jasmani, rasa sosial, percaya diri,
peningkatan moral dan spiritual lewat ”fairplay” dan ”sportmanship” atau
bermain dengan jujur, sopan, dan berjiwa olahragawan sejati.
6.
Drijarkara (1955 : 15)
mengutarakan bahwa dorongan untuk bermain itu pasti ada pada setiap manusia.
Akan tetapi lebih-lebih pada manusia muda, sebab itu sudah semestinya bahwa
permainan digunakan pada pendidikan.
7.
Hadi Soekatna (Taman Siswa, 1956 : 165) mengemukakan bahwa
memang kita kaum Taman Siswa mempunyai keyakinan setebal-tebalnya bahwa dengan
permainan kanak-kanak sebagai alat pendidikan itu dapat membimbing anak kita ke
arah kesempurnaan hidup kebangsaan semurni-murninya.
8.
Rob dan Leetouwer (1950 : 38) mengatakan, bila seorang guru
permainan menentukan dan menempati tujuan permainan, bahwa anak bermain untuk
kesenangannya, para pemain akan bermain dengan senang, maka akan timbullah
realitas yang harmonis dengan ditandai dengan adanya ketertiban dan
keteraturan, akan timbul banyak situasi pedagogik.
9.
Rijsdorp (1971 : 47) mengutarakan bahwa anak yang bermain
kepribadiannya akan berkembang, dan wataknya akan terbentuk juga.
E.
Permainan Bahasa
Dengan jalan bermain, dapat
diperoleh suatu kegembiraan atau kepuasan. Dibalik kegembiraan atau kepuasan,
sebenarnya siswa memperoleh sejumlah keterampilan. Di dalam setiap permainan,
terdapat suatu tantangan yang harus dihadapi. Tantangan itu kadang-kadang
berupa masalah yang harus dipecahkan, kadang-kadang berupa rintangan yang harus
diatasi, kadang-kadang pula berupa kompetisi yang harus dimenangkan.
Untuk memperoleh pengalaman
dan keterampilan dalam bidang kebahasaan, dapat ditempuh melalui berbagai
permainan. Permainan-permaian yang berfungsi untuk melatih keterampilan dalam
bidang kebahasaan itulah yang dinamakan permainan bahasa. Dalam kehidupan
sehari-hari, permainan semacam itu sudah sering dilakukan. Akan tetapi pada
umumnya hanya merupakan kegiatan pengisi waktu luang saja.
Tujuan permainan bahasa
menurut Soeparno (1980: 60) yaitu untuk memperoleh kegembiraan dan memperoleh
keterampilan tertentu dalam bidang kebahasaan. Apabila ada jenis permainan
namun tidak ada keterampilan kebahasaan yang dilatihkan, maka permainan
tersebut bukanlah permainan bahasa.
Berikut
ciri-ciri permainan bahasa yang baik dan cocok dipraktikkan dalam pengajaran
bahasa:
·
Dapat mengukuhkan
dan meningkatkan penguasaan bahasa, seperti mendengar, berbicara, membaca, dan
menulis. Selain itu juga dapat meningkatkan penguasaan unsur bahasa. (kosa kata
dan tata bahasa).
·
Mempunyai
rangsangan dan bahan yang menarik sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa
pelajar.
·
Memberikan peluang
kepada siswa untuk bertindak secara aktif dan positif serta dapat meningkatkan
minat mereka.
·
Melibatkan peserta
didik secara aktif, baik dalam kelompok maupun kelas.
·
Mempunyai petunjuk
dan peraturan yang jelas serta mudah dipahami.
·
Dapat dijalankan
dalam jangka waktu dan tempat yang sesuai agar pembelajaran dapat dicapai
secara objektif.
Terdapat beragam macam
permainan yang dapat diguanakan untuk pembelajaran Bahasa Indonesia. Beberapa
contoh diantaranya sebagai berikut:
1. Bisik Berantai
Permainan ini dilakukan
dengan cara setiap siswa harus membisikkan suatu kata (untuk kelas rendah) atau
kalimat atau cerita (untuk kelas tinggi) kepada pemain berikutnya. Terus
berurut sampai pemain terakhir. Pemain terakhir harus mengatakan isi kata atau
kalimat atau cerita yang dibisikkan. Permainan ini dapat
dilombakan dengan cara berkelompok. Permainan ini melatih keterampilan menyimak
atau mendengarkan.
2. Bertanya dan Menerka
Pada permainan ini siswa dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok
satu sebagai penjawab dan kelompok kedua sebagai penannya. Kelompok penjawab
harus menyembunyikan satu benda yang akan diterka oleh kelompok penannya dengan
cara memberi pertanyaan yang mengarah kepada benda yang harus diterka. Setiap
anggota kelompok penanya diberi kesempatan untuk memberikan satu pertanyaan
kepada kelompok penjawab. Kelompok penjawab hanya boleh menjawab ”ya” atau ”tidak”.
Setelah seluruh anggota kelompok bertanya, maka kelompok harus berunding dari
hasil jawaban penjawab, benda apa yang disembunyikannya itu. Bila dapat
diterka, maka kelompok penanya mendapat nilai. Permainan ini untuk melatih
berbicara dan berpikir analitis
3.
Meloncat Bulatan Kata
Buatlah bulatan-bulatan dari kertas karton,
kira-kira sebesar piring. Tulislah nama-nama susunan
keluarga, misalnya; ayah, ibu, kakak, adik. Pasanglah
bulatan kata itu di lantai. Bentuklah siswa menjadi beberapa kelompok. Seluruh
siswa setiap kelompok meloncati bulatan kata yang diucapkan kelompok lain atau
guru. Misalnya loncat ke kakak, loncat ke ibu, loncat ke adik. Dengan demikian,
setiap anak membaca bulatan untuk diinjak. Lebih
meningkat lagi, bulatan kata bisa dalam bentuk yang lebih sulit, misalnya kata
yang bila digabung menjadi kalimat. Kata dalam bulatan disebar di lantai dan
memungkinkan dapat menyusun beberapa kalimat bila diloncati dengan benar.
Misalnya: Ayah pergi ke pasar. Ayah membawa buku. Jadi siswa harus loncat ke
ayah, pergi ke dan pasar. Permainan ini untuk membaca permulaan.
4.
Teka-Teki Silang
Permainan ini adalah
menebak padanan kata sesuai dengan jumlah kotak yang disediakan. Permainan ini
berguna untuk olah pikir mahasiswa dalam memahami sebuah istilah, dengan
melacak kata demi kata yang sesuai dengan ungkapan dalam perintah tts.
5.
Klos Wacana (mengisi wacana
rumpang),
Klos
Wacana adalah uraian cerita rumpang yang didalamnya terdapat bagian cet bagian
cerita yang dihilangkan. Tugas mahasiswa adalah menuliskan kata-kata yang
sesuai dengan jalan ce yang sesuai dengan jalan cerita yang diberikan.
6.
Klos Bergambar
Klos Bergambar adalah
cerita rumpang yang didalamnya terdapat sebuah gambar yang haru dideskripsikan
dengan tulisan agar sesuai dengan cerita yang disampaikan. Permaianan ini
berguna untuk membantu dalam mengeinterpreasikan sebuah gambar sesuai dengan
jalan cerita yang disampaikan.
7.
Menyusun Kaliamat Dari Kata Akhir
Pada permainan ini anak
diminta untuk berdiri berjajar. Selanjutnya guru mengawali dengan sebuah
kalimat, dari kalimat yang sudah diucapkan secara lisan akan ditemukan kata
akhir. Kata akhir tersebut lalu digunakan oleh anak berikutnya menjadi kata pertama
untuk membuat kalimat baru.
8.
Menebak Benda Misteri
Anak disuruh membawa
benda terbungkus yang tidak boleh diketahui oleh kelompok lain, mereka juga
disuruh mendeskripsikan isi benda tersebut. Kelompok lain di suruh membaca dan
menebak nama isi benda tersebut.
9.
Memasangkan Gambar Dengan Teks
Permainan ini
memberikan pengarahan tentang deskripsi sebuah sikap atau perbuatan baik dan
buruk. Dari kegiatan ini, anak bisa belajar membaca dan menunjukkan nilai-nilai
dalam tauladan hidupnya. Cara permaian
ini mudah. Siswa tinggal menarik garis penghubung antara gambar dengan
kotak deskripsi yang sesuai.
10. Berbalas Pantun
Siswa berbaris melingkar,
guru berada ditengah lingkaran menyiapkan sebuah pantun dan sebuah bola yang
akan dilempar kepeserta sambil menyebutkan nama siswa. Siswa yang menerima
harus membalas pantun, kemudian melempar bola kepada teman sambil menyebut
namanya.
F.
Membuat Model-Model Pengembangan Pembelajaran dengan
Permainan Bahasa
Menyusun Kaliamat Dari Kata Akhir
Pada permainan ini anak diminta untuk baris berjajar. Selanjutnya guru mengawali dengan sebuah
kalimat, dari kalimat yang sudah
diucapkan secara lisan akan ditemukan kata akhir. Kata akhir tersebut lalu
digunakan oleh anak berikutnya menjadi kata pertama untuk
membuat kalimat baru. Contoh :
·
Setiap hari aku pergi kesekolah naik sepeda
·
Sepeda baru aku adalah hadiah
lomba melukis
·
Melukis adalah yang paling aku suka
·
Sukailah karya bangsa sendiri
·
Sendiri di rumah sangat susah
·
Susah senang itu adalah kembang kehidupan
·
Kehidupan di dunia hanyalah sementara. dan seterusnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bermain merupakan proses
pembelajaran yang melibatkan pikiran, persepsi, konsep, kemahiran sosial dan
fisik. Selain itu bermain juga dikaitkan dengan ganjaran instrinsik dan
kegembiraan. Dengan demikian bermain merupakan aktivitas yang natural bagi
anak-anak yang memberi peluang kepada mereka untuk mencipta, menjelajah dan
mengenal dunia mereka sendiri.
Permainan bahasa merupakan
permainan-permaian yang berfungsi untuk melatih keterampilan dalam bidang
kebahasaan. Pada dasarnya tujuan permainan bahasa yaitu untuk memperoleh
kegembiraan dan memperoleh keterampilan tertentu dalam bidang kebahasaan.
Apabila ada jenis permainan namun tidak ada keterampilan kebahasaan yang dilatihkan,
maka permainan tersebut bukanlah permainan bahasa. (Soeparno 1980: 60)
B.
Saran
Bagi guru-guru sekolah dasar
dan calon guru sekolah dasar yang akan menggunakan permainan bahasa selayaknya
terlebih dahulu mempelajari permainan bahasa dari sumber yang lebih lengkap
lagi untuk menyesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan anak didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Simon, Rochdi, dkk. (2007). Model Permainan di Sekolah Dasar. FIP. UPI
Sugiarsih, Septia. (2010). Permainan Bahasa Dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Sekolah Dasar. FIP. Universitas Negeri
Yogyakarta