BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tata
surya adalah kumpulan benda langit yang terdiri atas sebuah bintang yang
disebut matahari dan semua objek yang terkait oleh gaya gravitasinya.
Objek-objek tersebut termasuk delapan buah planet yang sudah dketahui dengan
orbit berbentuk elips, lima planet kerdil, 173 satelit alami yang telah
diidentifikasi, dan jutaan benda langit (meteor, asteroid, komet) lainnya.
Tata
surya terbagi menjadi matahari, empat planet bagian dalam, sabuk asteroid,
empat, planet luar, dan di bagian terluar adalah sabuk kuiper dan piringan
terbesar. Enam dari delapan planet dan tiga dari lima planet kerdil itu
dikelilingi oleh satelit alami yang bisa disebut dengan bulan. Contoh: bulan
atau satelit alami bumi. Masing-masing planet bagian luar dikelilingi oleh
cincin planet yang terdiri dari debu dan partikel lain.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
perbedaan model tata surya geosentris dan heliosentris?
2. Apa
saja hukum-hukum fisika dalam model heliosentris?
3. Bagaimana
teori-teori pembentukan tata surya?
4. Apa
saja jenis-jenis pengelompokkan planet?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perbedaan model tata surya
geosentris dan heliosentris.
2. Untuk mengetahui hukum-hukum fisika dalam
model heliosentris.
5. Untuk mengetahui teori-teori pembentukan
tata surya.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis pengelompokkan
planet.
4.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Model Tata Surya
1.
Model Geosentris
Teori geosentris dikembangkan oleh Hipparchus (ahli
astronomi terbesar di masa Yunani Kuno) sekitar tahun 140 SM. Menurut teori
ini, bumi sebagai pusat alam semesta berada dalam keadaan diam, dan
planet-planet, matahari serta benda-benda langit lainnya bergerak mengitarinya.
Gerak semu (apparent motions) planet, bulan, dan matahari relatif
terhadap bintang dan terhadap satu sama lain.
Selanjutnya teori tersebut dikembangkan oleh Claudius
Ptolemaeus (Ptolemy) sekitar tahun 150 TM (Tarikh Masehi) dan disebut
sebagai teori Ptolemaic (Tjasyono, 2003).
Gambar. Model tata surya geosentris
Dalam teori Ptolemaic, Bumi berada pada pusat alam
semesta (universe). Bulan berputar mengelilingi Bumi dengan orbit yang
paling dekat, sementara bintang-bintang terletak dalam bulatan angkasa (celestial
sphere) yang besar dan berputar dalam orbit yang paling jauh. Di antara orbit
bulan dan bintang-bintang terletak orbit matahari. Planet-planet (dalam bahasa
Yunani berarti pengembara) yang memiliki gerak relatif terhadap bintang
digambarkan dengan nama-nama kunonya. Planet-Planet ini bergerak mengelilingi
Bumi pada masing-masing orbitnya sendiri. Orbit planet venus dan merkurius berada
diantara orbit bulan dan matahari, sedangkan orbit planet-planet yang lain
seperti mars, jupiter, dan saturnus terletak diantara orbit matahari dan
bintang-bintang.
Teori geosentris bertahan cukup lama yaitu kira-kira 14
abad lamanya. Teori ini kemudian gugur dan tidak digunakan lagi. Kelemahan dari
model geosentris ini adalah adanya kesulitan untuk menjelaskan fenomena retrogresi
(gerak balik) periodik dari planet-planet. Lintasan semu planet sepanjang
tahun relatif terhadap bintang-bintang adalah berupa lengkungan (kurva) yang
tidak rata. Dan adakalanya planet-planet teramati seolah-olah bergerak mundur
(berbalik) sebelum akhirnya bergerak maju kembali selama periode orbitnya.
Untuk menjelaskan gerak mundur semu ini dalam kerangka teori geosentris, maka
perlu menganggap bahwa planet-planet bergerak dalam lintasan-lintasan sirkular
kecil yang disebut episiklus (epicycles), ketika planet-planet bergerak
dalam orbit besarnya mengelilingi bumi. Akan tetapi, anggapan ini justru tidak
sesuai dengan hasil pengamatan.
Sebenarnya seorang ahli astronomi Yunani yang bernama
Aristarchus (kira-kira tahun 310–230 SM) pernah menyatakan bahwa Matahari
mungkin berada pada pusat alam semesta, dan Bumi ergerak mengitarinya. Tetapi kemudian
ia menolak sendiri gagasannya tersebut. Konsep matahari sebagai pusat tata
surya (heliosentris) saat itu belum mendapat tempat dalam bidang
astronomi.
2.
Model Heliosentris
Gagasan tentang heliosentris ini muncul kembali
pada sekitar tahun 1543. Pada tahun itu terjadi revolusi ilmiah besar-besaran
yang dilakukan oleh Nicolaus Copernicus (seorang astronom Polandia) yang dengan
berani mengajukan penggantian model geosentris dengan model heliosentris
yang lebih sederhana.
Dalam model ini, selain oleh planet-planet, matahari juga
dikitari oleh benda-benda antar planet lainnya seperti komet, asteroid, dan
meteoroid. Sistem dengan matahari sebagai pusat yang dikitari oleh planet-planet
dan benda-benda antar planet lain dinamakan Tata Surya (Tjasyono, 2006).
Dalam model heliosentris Copernicus, matahari
dianggap berada pada pusat alam semesta, bintang-bintang terletak pada bulatan
angkasa dan berputar mengelilingi Matahari. Diantara bintang-bintang dan matahari
terdapat planet-planet termasuk bumi yang berputar mengelilingi matahari dalam
masing-masing orbitnya dengan lintasan orbit berbentuk lingkaran. Gerak mundur
semu dalam peredaran planet-planet yang sulit dijelaskan oleh model geosentris,
dapat dijelaskan dengan mudah dalam model heliosentris, dengan menggunakan
konsep gerak relatif antara bumi dan planet-planet lain yang bergerak disekitar
matahari dengan kecepatan sudut putar yang berbeda-beda.
Gambar. Model tata surya
heliosentris
Kekurangan model Copernicus terjadi pada dua hal, yakni
pertama adanya fakta bahwa bintang-bintang tidak berputar mengelilingi matahari,
dan kedua lintasan orbit planet-planet bergerak mengelilingi matahari bukan
berupa lingkaran (sirkular). Kesimpulan bahwa lintasan planet-planet bukan
lingkaran diambil karena berdasarkan pengamatan ternyata jarak suatu planet ke
matahari selama periode revolusinya tidaklah tetap, melainkan berubah-ubah,
kadang-kadang menjauh kadang-kadang mendekat. Hal ini tidak akan terjadi jika
lintasan edar planet mengitari matahari berupa lingkaran (Tjasyono, 2006).
B.
Hukum-Hukum Fisika dalam Model Heliosentris
1.
Hukum Kepler
Kelemahan model Copernicus tentang orbit planet kemudian
disempurnakan oleh Johanes Kepler (1571-1630), asisten dan penerus dari ahli
astronomi Tycho Brahe. Kepler menentukan sifat orbit planet berdasarkan
analisis data teleskol astronomi Brahe (Tycho Brahe, 1546-1601) dan ia
mengemukakan tiga hukum sebagai berikut:
a.
Hukum 1 (Hukum Elips)
Planet-planet bergerak dalam orbit elips mengitari Matahari
yang berada di salah satu titik fokus elips. Hukum ini menyatakan bahwa orbit
planet adalah elips, bukan lingkaran.
Gambar. Bentuk orbit planet menurut hukum pertama Kepler
Persamaan
elips dari hukum Kepler (1) adalah:
Lambang e adalah eksentrisitas, perbandingan antara jarak
dua fokus dengan diameter panjang elips. Nilai eksentrisitas menentukan bentuk
elips apakah makin lonjong atau makin mendekati bentuk lingkaran. Jika e = 0,
maka orbit planet akan berupa lingkaran. ebumi = 0,017, hampir mendekati
nol, jadi orbit bumi hampir mendekati lingkaran.
b.
Hukum 2 (Hukum Kesamaan Luas)
Luas (S) yang disapu oleh garis penghubung antara planet
dan Matahari dalam selang waktu (t) yang sama adalah sama (S1 = S2 = S3),
seperti ditunjukkan pada gambar dibawah ini:
Gambar. Hukum Kepler 2 yang
menggambarkan kecepatan planet di sekitar Matahari, S1 = S2 = S3
Hukum ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kecepatan
orbit suatu Planet mengitari matahari tidaklah konstan (uniform) melainkan berubah-ubah.
Planet akan bergerak lebih cepat dalam orbitnya ketika berada pada daerah yang
dekat dengan matahari, dan akan bergerak lebih lambat dalam orbitnya ketika
berada pada daerah yang jauh dari matahari. Kecepatan orbit Planet berbanding
terbalik dengan jaraknya terhadap matahari. Dalam notasi matematis , hukum ini
dapat dirumuskan sebagai : (Tjasyono, 2006)
Dengan C adalah konstanta. Persamaan ini dapat dibaca
laju perubahan luas yang disapu garis penghubung planet-Matahari terhadap waktu
adalah tetap, S1 = S2 = S3.
Hukum kesamaan luas ini terbentuk sebagai konsekuensi
dari adanya kekekalan momentum sudut dari planet-planet ketika berputar
mengelilingi Matahari. Momentum sudut (L) merupakan suatu besaran fisika
terkait gerak rotasi yang didefinisikan sebagai perkalian antara momentum linier
dengan jarak radial suatu benda (r) dari sumbu putarnya; (Kanginan, 1999)
Dimana momentum linier (p) adalah suatu besaran Fisika
yang didefinisikan sebagai perkalian antara massa (m) dengan kecepatan (v);
Jadi, jika momentum sudut suatu planet yang mengitari
matahari adalah kekal, maka planet harus bergerak lebih cepat bila dekat dengan
matahari, dan bergerak lebih lambat jika berada jauh dari Matahari.
Planet-planet yang berputar mengelilingi Matahari memiliki momentum sudut yang
tetap, karena tidak ada gaya yang bekerja dalam arah geraknya. Gaya tarik
matahari arahnya membentuk sudut
Waktu yang diperlukan oleh sebuah Planet untuk beredar
satu kali mengitari Matahari disebut periode revolusi. Untuk Bumi, periode
revolusinya didefinisikan sebagai satu tahun. Sedangkan waktu yang diperlukan
oleh suatu planet untuk berputar satu kali mengitari porosnya disebut periode
rotasi. Untuk Bumi, periode rotasinya didefinisikan sebagai satu hari. Periode
revolusi suatu planet berhubungan erat dengan orbitnya (jari-jari atau diameter
orbit).
c.
Hukum 3 (Hukum Harmonik)
Hukum harmonik menyatakan bahwa perbandingan kuadrat
periode revolusi (T2) terhadap pangkat tiga dari jarak rata-rata planet ke
Matahari (jari-jari elips = R3) adalah sama untuk semua planet. Secara
matematika, pernyataan tersebut dapat dirumuskan seperti berikut : (Tjasyono,
2006)
Disini C adalah suatu konstanta yang memiliki nilai yang
sama untuk semua Planet. Hukum ini secara eksplisit menyatakan hubungan antara
periode revolusi suatu Planet dengan jaraknya terhadap matahari. Makin jauh
jarak Planet ke matahari (makin besar diameter orbit Planet), makin lama
periode revolusinya. Planet yang memiliki diameter orbit paling kecil adalah
Merkurius dan yang paling besar adalah Pluto. Sehingga Merkurius memiliki
periode revolusi paling kecil, yaitu sekitar seperempat periode revolusi Bumi
(0,25 tahun Bumi), sedangkan Pluto memiliki periode revolusi paling besar yaitu
sekitar 248 tahun Bumi.
Periode rotasi tidak ada hubungannya dengan jarak Planet
ke Matahari. Periode rotasi Planet Venus yang jaraknya ke Matahari lebih dekat dibanding
Planet Bumi, memiliki periode rotasi yang lebih besar dari periode rotasi Bumi,
yaitu sekitar 243 hari Bumi. Sedangkan Planet Jupiter yang jaraknya lebih jauh
dari Bumi, memiliki periode rotasi yang lebih kecil dari periode rotasi Bumi,
yaitu sekitar setengah hari Bumi. Jika Bumi dijadikan sebagai acuan, dimana
jarak antara Bumi dan Matahari adalah sekitar 150 x 106 km yang disebut sebagai
1 SA, dan periode revolusi Bumi adalah 1 tahun, maka konstanta C = 1, dan
persamaan hukum ketiga Kepler menjadi : (Tjasyono, 2006)
Disini R adalah jarak rata-rata Planet ke Matahari dalam
satuan SA dan T adalah periode revolusi planet dalam satuan tahun.
Jarak rata-rata setiap Planet ke Matahari dan periode
revolusinya dirangkumkan dalam Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Jarak rata-rata Planet-Matahari dan periode
revolusinya
Planet |
Jarak rata-rata Planet ke Matahari (SA) |
Periode revolusi Planet |
Merkurius |
0.39 |
88.0 hari |
Venus |
0.72 |
225.0 hari |
Bumi |
1.00 |
365.3 hari |
Mars |
1.52 |
687.0 hari |
Jupiter |
5.20 |
11.9 tahun |
Saturnus |
9.54 |
29.5 tahun |
Uranus |
19.19 |
84.0 tahun |
Neptunus |
30.07 |
164.0 tahun |
Pluto |
39.52 |
248.0 tahun |
2. Hukum
Titius
Bode
Suatu
metode sederhana yang dapat memudahkan dalam mengingat atau menentukan jarak
rata-rata antara sebuah planet dengan Matahari dalam satuan astronimis, yaitu
hukum Titius Bode. Disebut demikian, karena metode ini pertama kali
diperkenalkan oleh Johann Daniel Titius, seorang ahli Fisika dan Matematika
berkebangsaan Jerman pada sekitar tahun 1766. Sedangkan Johann Bode, seorang
astronom Jerman adalah pendukung kuat metode ini.
Titius
Bode menandai jarak antara planet dan Matahari dengan angka-angka 0, 3, 6, 12,
24, dan
seterusnya (menggandakan angka setiap bilangan kecuali untuk nol). 0 untuk
Merkurius, 3 untuk Venus, 6 untuk Bumi, dan seterusnya. Kemudian setiap
bilangan ini ditambah dengan 4, dan hasilnya dibagi dengan 10 (Tjasyono, 2006).
Sebagai contoh, untuk Planet Merkurius (Planet terdekat dengan Matahari)
jaraknya dari matahari (dalam SA) menurut hukum Titius Bode adalah:
(0
+ 4) : 10 = 0,4 SA
sedangkan untuk planet
Venus, jaraknya dari Matahari adalah :
(3
+ 4) : 10 = 0,7 SA
Jarak
planet Bumi ke Matahari:
Tanda untuk planet Bumi
adalah 6, kemudian angka 6 ini ditambah dengan 4 dan hasil penjumlahan ini
dibagi dengan 10, sehingga jarak Bumi ke Matahari adalah:
(6
+ 4) : 10 = 1 SA
3. Kesesuaian
Hukum Newton dengan Hukum Kepler
Penemuan Teleskop pada tahun 1610
dan karya ilmiah besar Galileo (1564 – 1642) mempercepat perkembangan astronomi
dan menetapkan model heliosentris dalam tata surya. Dari hukum-hukum Kepler, maka Isaac Newton mengemukakan hukum gravitasi
universal (1687).
Hukum gravitasi Newton nenyatakan bahwa
gaya gravitasi (gaya tarik menarik) antara dua benda bermassa sebanding dengan
hasil kali massa kedua benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak
antara kedua benda tersebut. Karya Newton ini menunjukkan bahwa hokum Kepler yang diturunkan
secara empiris, sesuai dengan hokum-hukum dasar tentang gerak. Secara matematis
hukum gravitasi Newton dapat dirumuskan sebagai berikut : (Tjasyono, 2003)
Keterangan:
F = gaya
tarik menarik dalam Newton
m1, m2 = massa benda 1 dan benda 2
r = jarak
kedua benda dalam meter
G = konstanta
universal yang besarnya 6,67 x 10-11 Nm2kg-2.
Sebagai efek dari
adanya gaya gravitasi ini, maka setiap benda akan saling berinteraksi dengan
satu sama lain mengerahkan gaya gravitasi yang sama, dan benda yang massanya
jauh lebih kecil dapat tertarik ke benda yang lebih massanya jauh lebih besar.
Misalnya buah durian yang lepas dari tangkainya akan jatuh tertarik ke
permukaan bumi (tanah). Hal ini terjadi karena massa durian sangat jauh lebih
kecil dibanding dengan massa Bumi.
Matahari dan
planet-planet juga saling tarik-menarik satu sama lain, karena masing-masing
memiliki massa. Dan sudah pasti massa Matahari akan jauh lebih besar dari massa
planet-planet, karena memiliki ukuran volume yang jauh lebih besar. Mestinya
planet-planet jatuh tertarik ke Matahari, namun ternyata tidak. Hal ini dikarenakan
planet-planet tidak diam melainkan bergerak mengitari Matahari dengan kecepatan
orbit tertentu. Demikian juga dengan Bulan bergerak mengelilingi Bumi.
Sebagai efek dari
pergerakan ini maka seolah-olah akan timbul suatu gaya pengimbang yang
menetralisir gaya tarik Matahari. Gaya pengimbang ini biasa disebut sebagai
gaya sentrifugal. Wujud nyata dari gaya ini adalah sama seperti ketika kita
sedang duduk di dalam mobil, kemudian mobil itu bergerak dalam jalan menikung,
maka seolah-olah kita tertarik ke arah yang berlawanan dengan arah tikungan.
Jika kecepatan mobil saat menikung cukup tinggi, maka seolah-olah kita akan
terlempar ke luar (Kanginan, 1999).
Besarnya gaya tarik
menarik antara Matahari (bermassa M) dengan suatu planet (bermassa mp) yang satu sama
lain terpisah sejauh R, adalah:
Dan gaya
sentrifugal akibat planet bergerak mengitari Matahari dengan kecepatan linier
v, adalah:
Dalam hal ini
lintasan orbit planet dianggap berupa lingkaran. Karena gaya sentrifugal ini (F2) mengimbangi gaya
tarik Matahari (F1), maka:
yang menghasilkan hubungan:
gaya tarik (F1) mengarah ke pusat orbit (Matahari), sehingga gaya ini
disebut juga gaya sentripetal.
Dari
persamaan-persamaan di atas dapat diamati bahwa:
·
Kecepatan linier
orbit Planet berbanding terbalik dengan jaraknya dari Matahari, ini berarti
semakin dekat jarak suatu planet ke Matahari, maka gerak planet akan semakin
cepat, atau periodenya akan semakin kecil (sesuai dengan hukum kedua Kepler)
·
Jika planet diam
tidak bergerak mengitari Matahari maka atau kecepatannya (v) sama dengan nol,
maka gaya sentrifugal (F2) juga sama dengan nol, dan karena gaya tarik F1 tidak nol, maka
planet akan jatuh tertarik ke Matahari.
Selanjutnya dengan
menggabungkan konsep gerak melingkar dan hukum ketiga Kepler, Newton dapat
menentukan nilai konstantan C pada persamaan hukum ketiga Kepler, dengan
langkah analisis seperti berikut : Seperti telah diungkapkan di atas, gaya
sentripetal (besarnya sama dengan gaya sentrifugal) yang dikerjakan Matahari
terhadap planet adalah:
Tapi kecepatan
linier v dapat dinyatakan dalam kecepatan sudut (w) melalui hubungan v
= wR , dengan demikian persamaan di atas dapat dituliskan
dalam bentuk:
Dan karena
kecepatan sudut (w) terkait dengan periode orbit planet (T) melalui
hubungan
Dan kemudian dengan
menggunakan perumusan hukum ketiga Kepler dan persamaan hukum gravitasi Newton
dapat dirumuskan persamaan untuk konstanta pada hukum ketiga Kepler (C) seperti
berikut:
Contoh penerapan hukum ketiga
Kepler:
Dua buah planet P dan Q mengorbit Matahari dengan
perbandingan jarak planet P dan planet Q ke Matahari adalah 4 : 9. Apabila
periode revolusi planet P adalah 24 jam, tentukan periode revolusi planet Q!
Jawab
Diketahui : -
-
Periode Planet P dapat dihitung dengan persamaan hukum
ketiga Kepler seperti berikut ini:
atau
atau
C.
Teori Pembentukan Tata Surya
Dari fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Planet-Planet terletak hampir pada
bidang datar di sekitar Matahari, maka pembentukan anggota tata surya dalam hal
ini Planet-Planet diduga dari wujud yang sama dengan Matahari atau terbentuk
dari Matahari. Terdapat beberapa teori yang mencoba menerangkan terbentuknya tata
surya. Beberapa diantaranya yang cukup terkenal adalah Toeri Kabut atau Teori
Nebula, Teori Planetesimal, Teori Bintang Kembar, dan Teori Proto Planet.
1.
Teori Nebula
atau Teori Kabut
Nebula adalah kabut
yang terdiri dari gas (terutama gas helium dan hidrogen) dan partikelpartikel
angkasa lainnya. Pada tahun 1755 seorang pilosof Jerman bernama Immanuel Kant
mengajukan teori kabut ini. Pada tahun 1977, seorang ahli matematika terkenal
dari Prancis yang bernama Simon de Laplace mengusulkan teori kabut yang hampir
sama. Oleh karena itu, teori kabut dikenal juga dengan teori Kant-Laplace.
a b
Menurut teori ini,
mula-mula di jagat raya ini ada sebuah Nebula yang baur dan hampir bulat.
Nebula ini berotasi dengan lambat dan turbulen (Gambar a). Karena pergerakan
rotasinya sangat lambat, maka Nebula mulai menyusut. Sebagai hasil penyusutan
dan rotasinya, terbentuklah sebuah cakram Nebula yang ditengah-tengahnya datar
(Gambar b). Proses penyusutan tersebut terus berlanjut dan akhirnya Matahari
terbentuk di pusat cakram. Cakram berputar makin lama makin cepat, sehingga
bagian-bagian tepi cakram terlepas membentuk gelang-gelang bahan (Gambar c).
Selanjutnya bahan dalam gelang-gelang memadat menjadi planet-planet yang
berevolusi dalam orbit hampir melingkar mengitari Matahari (Gambar d).
Teori Nebula dipandang sukses dalam menjelaskan tata
surya datar, yaitu bidang orbit Planet-Planet mengitari Matahari hampir
merupakan bidang datar. Teori ini juga dipandang sukses dalam menjelaskan
mengapa planet-planet berevolusi dalam arah yang seragam.
Ide untuk menjelaskan bidang tata surya hampir datar
didasarkan pada hukum kekekalan momentum sudut. Contoh terkenal untuk memahami
hal ini adalah gerak rotasi seorang pemain sepatu es (sepatu luncur). Pemain es
mula-mula berotasi dengan merentangkan kedua lengannya, jika ketika sedang
berotasi kemudian pemain tersebut menarik kedua lengannya hingga terlipat, maka
laju rotasinya akan bertambah, karena momentum sudutnya tetap. Mirip dengan peritiwa
itu, ketika sebuah Nebula yang sedang berotasi perlahan-lahan ukurannya menyusut,
maka Nebula tersebut akan berotasi dengan kelajuan yang lebih cepat dan akan
runtuh ke bawah sepanjang poros putarnya dan membentuk suatu bidang cakram
datar, yang sering disebut tata surya datar.
Seratus tahun kemudian, ahli Fisika terkenal
berkebangsaan Inggris, James Clerk Maxwell dan Sir James Jeans melakukan
sanggahan terhadap teori ini dengan cara menunjukkan bahwa massa bahan dalam
gelang-gelang tidak cukup untuk menghasilkan tarikan gravitasi sehingga memadat
menjadi planet-planet. Sanggahan lain terhadap teori Nebula juga datang dari
astronom F. R. Moulton dari Chicago pada penghujung abad 19. Ia menyatakan
bahwa teori ini bertentangan dengan kaidah fisika, yaitu yang seharusnya
memiliki momentum sudut paling besar adalah planet-planet, dan bukannya
Matahari. Menurut teori Nebula, Matahari memiliki momentum sudut paling besar
karena memiliki massa paling besar.
2.
Teori
Planetesimal
Teori ini diajukan oleh ahli geologi berkebangsaan
Amerika yang bernama T. C. Chamberlein bersama rekannya ahli astromi yang
bernama Moulton pada awal abad ke 20. Planetesimal dapat diartikan sebagai
planet kecil.
Menurut teori ini, Matahari telah ada sebelum
terbentuknya tata surya sebagai salah satu Bintang yang banyak terdapat di
langit. Pada suatu saat, Matahari berpapasan pada jarak yang tidak terlalu jauh
dengan sebuah Bintang lain. Karena adanya tarikan gravitasi Bintang tersebut,
maka sebagian bahan pada Matahari (mirip lidah api raksasa) tertarik ke arah
Bintang itu. Ketika Bintang yang berpapasan tersebut menjauh kembali, sebagian
lidah api raksasa tersebut jatuh kembali ke matahari dan sebagian lagi
terhambur menjadi gumpalan-gumpalan kecil atau Planetesimal.
Planetesimal-Planetesimal tersebut kemudian melayang-layang di angkasa sebagai
benda-benda dingin dalam orbit mengitari Matahari. Akibat adanya tumbukkan dan
tarikan gravitasi, Planetesimal yang lebih besar menyapu yang lebih kecil
bergabung membentuk planet-planet (Kanginan, 1999).
Gambar. Matahari berpapasan dengan Bintang lain, sebagian
materi matahari tertarik oleh gravitasi bintang
Tetapi kemudian sanggahan terhadap teori ini datang dari
beberapa ahli astronomi. Menurut para astronom, kebanyakan bahan-bahan yang
dihamburkan dari Matahari berasal dari bagian dalam Matahari yang bersuhu
sangat tinggi yaitu dapat mencapai 1.000.000oC. Karena suhu yang
sangat tinggi ini, maka gas-gas yang dihamburkan dari Matahari akan terpencar
ke seluruh ruang angkasa akibat ledakan hebat, dan bukannya memadat menjadi
planet-planet seperti yang dinyatakan oleh teori Planetesimal.
3.
Teori Bintang
Kembar
Teori Bintang kembar hampir sama dengan teori
Planetesimal. Teori ini diusulkan pada tahun 1930-an. Dulunya Matahari
diprediksi merupakan Bintang kembar. Kemudian Bintang yang satu meledak menjadi
kepingan-kepingan kecil, dan karena adanya pengaruh gravitasi dari Bintang yang
satunya lagi, maka kepingan-kepingan tersebut bergerak mengitari Bintang
tersebut dan menjadi planet-planet. Bintang yang satu lagi yang dikelilingi
kepingan-kepingan sekarang bernama Matahari (Kanginan, 1999).
4.
Teori Proto
Planet
Teori Proto Planet merupakan teori yang populer saat ini.
Proto adalah kata pada bahasa Yunani yang berarti primitif. Teori ini pada
awalnya dikemukakan oleh seorang astronom Jerman yang bernama Carl Von
Weizsaeker pada tahun 1940, yang kemudian disempurnakan lagi oleh astronom
lain, yaitu Gerard P. Kuiper pada tahun 1950, Subrahmanyan Chandrasekhar, dan
lain-lain (Kanginan, 1999).
Pada dasarnya teori ini menyatakan bahwa tata surya
terbentuk dari gumpalan awan gas dan debu sehingga teori ini dikenal juga
sebagai teori awan debu. Dasar pemikiran ke arah itu adalah adanya fakta yang
menunjukkan bahwa di jagat raya banyak ditemukan gumpalan awan seperti itu.
Labih dari lima milyar tahun yang lalu, salah satu gumpalan awan itu mengalami
pemampatan. Pada proses pemampatan tersebut, partikel-partikel debu tertarik ke
dalam menuju pusat awan membentuk gumpalan bola dan mulai berotasi. Seperti
pada ilustrasi pemain sepatu es, begitu partikel-partikel debu yang berada di
pingggir tertarik ke dalam, maka laju rotasi gumpalan awan harus bertambah agar
momentum sudut gumpalan bernilai tetap. Karena rotasinya yang makin cepat, maka
gumpalan tersebut akan mulai memipih (mendatar) menyerupai bentuk cakram, yaitu
tebal di bagian tengah dan tipis di bagian tepi. Hukum ketiga Kepler menyatakan
bahwa di bagian tengah harus berotasi lebih cepat dari pada di bagian pinggir.
Akibatnya partikel-partikel yang berada di bagian tengah akan saling menekan
dan menimbulkan panas dan berpijar. Bagian tengah yang berpijar ini disebut
Proto Sun (Bakal Matahari), yang pada akhirnya menjadi Matahari.
Bagian tepi atau bagian yang lebih luar berotasi sangat
cepat, sehingga terpecah-pecah menjadi banyak gumpalan gas dan debu yang lebih
kecil. Gumpalan kecil ini disebut Proto Plasma juga berotasi, dan akhirnya
memadat menjadi planet-Planet dan Satelit-Satelitnya.
Gambar. Proto planet dan proto Sun
D.
Pengelompokkan Planet
Hingga saat ini telah
ditemukan sembilan buah planet sebagai anggota tata surya, yaitu Merkurius,
Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Untuk planet
yang terakhir yaitu Pluto masih menjadi bahan perdebatan apakah tergolong
Planet atau bukan. Beberapa ahli astronomi mempercayai bahwa Pluto merupakan
sebuah satelit Neptunus yang terlepas. Sampai pada abad ke 17 baru dikenal 6
Planet, yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, dan Saturnus. Uranus baru
ditemukan sekitar tahun 1781, Neptunus pada tahun 1846, dan Pluto pada tahun
1930 (Tjasyono, 2003).
Gambar. Bentuk tampilan Matahari dan
Planet-Planet
Matahari
memancarkan sinar karena memiliki sumber cahaya sendiri. Oleh karena itu Matahari
tergolong Bintang. Planet-planet tidak memiliki sumber cahaya sendiri. Planet-planet
bersinar karena planet-planet memantulkan cahaya Matahari yang diterimanya.
Planet
Merkurius, Venus, Mars, Jupiter dan Saturnus dapat dilihat dengan mata
telanjang tanpa bantuan teleskop. Karena itu kelima Planet ini telah dipelajari
oleh para astronom selama ribuan tahun. Tiga Planet lainnya ditemukan setelah
penemuan teleskop. Uranus ditemukan oleh Hershel pada malam hari tanggal 13
Maret 1781. Neptunus ditemukan berdasarkan perhitungan John Couch Adams dan Le
Verrier, dan teramati pertama kali di langit pada tanggal 23 September 1846
oleh Johann G. Galle, asisten kepala observatorium Berlin. Pluto ditemukan
berdasarkan perhitungan ahli matematika yang bernama Parcival Lowell, dan teramati pertama kali di langit oleh Clyde W.
Tombaugh pada tanggal 13 Maret 1930. Parcival Lowell dan Clyde W. Tombaugh
bekerja pada observatorium Lowell, Arizona, Amerika Serikat (Kanginan, 1999).
Antara orbit planet
Mars dan planet Jupiter terdapat sabuk (belt) Asteroid, yaitu kumpulan ribuan
planet-planet kecil dan pecahan-pecahan yang asal usulnya hingga kini masih
menjadi bahan perdebatan para ahli astronomi. Asteroid Ceres ditemukan pertama
kali pada sekitar tahun 1801 oleh seorang astronom Italia bernama Piazzi. Benda
tersebut hanya memiliki diameter sekitar 750 km, sehingga terlalu kecil untuk
disebut Planet. Dari pengamatan selanjutnya menunjukkan bahwa ternyata Asteroid
ini merupakan keluarga besar yang jumlahnya 100.000 buah.
Terdapat tiga cara
untuk pengelompokkan planet-planet, yaitu:
1.
Pengelompokkan planet atas dasar
planet Bumi sebagai pembatas
a.
Planet Inferior
Planet Inferior
adalah planet-planet yang orbitnya terletak di dalam orbit planet Bumi. Anggota
kelompok planet Inferior terdiri atas dua planet yaitu Merkurius dan Venus.
b.
Planet Superior
Planet Superior
adalah planetplanet yang orbitnya terletak di luar orbit planet Bumi. Yang
termasuk kelompok planet Superior adalah planet Mars, Jupiter, Saturnus,
Uranus, Neptunus dan Pluto.
2. Pengelompokkan planet atas dasar lintasan Asteroid
sebagai pembatas
a. Planet Dalam (Inner Planets)
Planet Dalam adalah
planet-planet yang orbitnya terletak di sebelah dalam lintasan Asteroid.
Anggota kelompok planet ini terdiri dari planet Merkurius, Venus, Bumi, dan
Mars.
b. Planet Luar (Outer Planets)
Planet Luar adalah planet-planet
yang orbitnya di sebelah luar lintasan Asteroid. Yang tergolong planet ini
adalah planet Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto.
3. Pengelompokkan planet atas dasar ukuran dan komposisi
bahan penyusunnya
a. Planet Terrestrial
Planet Terrestrial adalah planet-planet yang ukuran dan komposisi bahan
penyusunnya (batuan) mirip dengan planet Bumi. Yang termasuk kelompok planet
ini adalah Merkurius, Venus, dan Mars. Kelompok Planet ini kadang-kadang
disebut juga kelompok planet Kerdil, karena memang ukuran diameternya relatif
jauh lebih kecil dibanding dengan diameter planet Jupiter.
Ciri-ciri utama dari planet Kerdil ini adalah diameternya
kecil, padat, dan kerapatan massanya tinggi, yaitu antara 4,2 hingga 5,5
gram/cm3. Planet kebumian disusun terutama (90 %) dari unsur-unsur Besi,
Oksigen, Silikon, dan Magnesium. Planet ini juga biasanya memiliki angkasa yang
tidak terlalu tebal, bahkan Merkurius tidak diselubungi angkasa.
b. Planet Jovian
Planet Jovian disebut juga planet raksasa adalah planet-planet yang
ukurannya besar dan komposisi bahan penyusunnya mirip dengan planet Jupiter,
yaitu terdiri dari sebagian besar es dan gas hidrogen. Yang tergolong planet
ini adalah Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus.
Ciri-ciri utama dari planet Raksasa ini adalah diameternya
besar, kurang padat, dan kerapatan massanya sangat rendah. Sebagai contoh,
Saturnus memiliki rapat massa antara 0,7 hingga 1,6 gram/cm3. Angkasa planet
Raksasa biasanya sangat tebal dan terdiri atas senyawa yang mengandung hidrogen.
planet Pluto tidak mirip dengan Planet Bumi maupun dengan Planet Jupiter, dan banyak
astronom telah mengusulkan agar Pluto dikelompokkan sebagai sebuah Asteroid
(Planet kecil).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut teori geosentris, bumi sebagai pusat alam semesta yang dikitari
oleh planet-planet, matahari, serta benda-benda langit lainnya. Sedangkan
mneurut teori heliosentris, Dalam model ini, matahari ditempatkan sebagai pusat
tata surya yang selain dikitari oleh planet-planet, juga dikitari benda-benda antar
planet lainnya seperti komet, asteroid, dan meteoroid.
Hukum-hukum fisika dalam model heliosentris adalah hukum kepler yang
mengemukakan tiga hukum yaitu hukum elips, hukum kesamaan luas dan hukum
harmonik. selain hukum kepler, terdapat pula hukum titius bode dan hukum newton.
Teori pembentukan tata surya ada empat yaitu teori nebula atau teori kabut, teori planetesimal, teori bintang kembar
dan teori proto planet.
Terdapat tiga cara untuk pengelompokkan planet-planet, yaitu:
1.
Pengelompokkan planet atas dasar
planet Bumi sebagai pembatas, yaitu Planet Inferior dan Planet Superior
2.
Pengelompokkan
planet atas dasar lintasan Asteroid sebagai pembatas, yaitu Planet Dalam (Inner
Planets) dan Planet Luar (Outer Planets)
3.
Pengelompokkan
planet atas dasar ukuran dan komposisi bahan penyusunnya, yaitu Planet Terrestrial dan Planet Jovian
B.
Saran
Hendaknya seorang guru dalam menjelaskan materi tata surya ini dengan
menggunakan media pembelajaran. Hal ini dikarenakan materi tata surya yang
bersifat abstrak, sedangkan siswa SD masih ada pada tahap berpikir konkret.
Sehingga diperlukannya media sebagai alat yang dapat memfasilitasi
tersampaikannya materi ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghozalik. (2013). Teori-Teori Pembentukan Tata Surya.[Online]
Tersedia: https://ghozaliq.com/2013/10/21/teori-teori-pembentukan-tata-surya/ (15 April 2016)
Rosmiati
Taty. 2014. Pengelompokan Planet.[Online]
Tersedia:https://skepticalinquirer.wordpress.com/2014/10/18/pengelompokan-planet/ (15 April 2016)
Suhandi,
A, dkk. (2009). Konsep Dasar Antariksa
untuk SD. Bandung: UPI Press
Tjasyono
B. (2013). Ilmu Kebumian dan Antariksa. Bandung: PT Remaja Rosdakayra.