Saturday, 10 July 2021

TATA SURYA

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Tata surya adalah kumpulan benda langit yang terdiri atas sebuah bintang yang disebut matahari dan semua objek yang terkait oleh gaya gravitasinya. Objek-objek tersebut termasuk delapan buah planet yang sudah dketahui dengan orbit berbentuk elips, lima planet kerdil, 173 satelit alami yang telah diidentifikasi, dan jutaan benda langit (meteor, asteroid, komet) lainnya.

Tata surya terbagi menjadi matahari, empat planet bagian dalam, sabuk asteroid, empat, planet luar, dan di bagian terluar adalah sabuk kuiper dan piringan terbesar. Enam dari delapan planet dan tiga dari lima planet kerdil itu dikelilingi oleh satelit alami yang bisa disebut dengan bulan. Contoh: bulan atau satelit alami bumi. Masing-masing planet bagian luar dikelilingi oleh cincin planet yang terdiri dari debu dan partikel lain. 

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa perbedaan model tata surya geosentris dan heliosentris?

2.      Apa saja hukum-hukum fisika dalam model heliosentris?

3.      Bagaimana teori-teori pembentukan tata surya?

4.      Apa saja jenis-jenis pengelompokkan planet?

 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui perbedaan model tata surya geosentris dan heliosentris.

2.      Untuk mengetahui hukum-hukum fisika dalam model heliosentris.

5.      Untuk mengetahui teori-teori pembentukan tata surya.

3.      Untuk mengetahui jenis-jenis pengelompokkan planet.


4.       

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Model Tata Surya

1.      Model Geosentris

Teori geosentris dikembangkan oleh Hipparchus (ahli astronomi terbesar di masa Yunani Kuno) sekitar tahun 140 SM. Menurut teori ini, bumi sebagai pusat alam semesta berada dalam keadaan diam, dan planet-planet, matahari serta benda-benda langit lainnya bergerak mengitarinya. Gerak semu (apparent motions) planet, bulan, dan matahari relatif terhadap bintang dan terhadap satu sama lain.

Selanjutnya teori tersebut dikembangkan oleh Claudius Ptolemaeus (Ptolemy) sekitar tahun 150 TM (Tarikh Masehi) dan disebut sebagai teori Ptolemaic (Tjasyono, 2003).

                              Gambar. Model tata surya geosentris


Dalam teori Ptolemaic, Bumi berada pada pusat alam semesta (universe). Bulan berputar mengelilingi Bumi dengan orbit yang paling dekat, sementara bintang-bintang terletak dalam bulatan angkasa (celestial sphere) yang besar dan berputar dalam orbit yang paling jauh. Di antara orbit bulan dan bintang-bintang terletak orbit matahari. Planet-planet (dalam bahasa Yunani berarti pengembara) yang memiliki gerak relatif terhadap bintang digambarkan dengan nama-nama kunonya. Planet-Planet ini bergerak mengelilingi Bumi pada masing-masing orbitnya sendiri. Orbit planet venus dan merkurius berada diantara orbit bulan dan matahari, sedangkan orbit planet-planet yang lain seperti mars, jupiter, dan saturnus terletak diantara orbit matahari dan bintang-bintang.

Teori geosentris bertahan cukup lama yaitu kira-kira 14 abad lamanya. Teori ini kemudian gugur dan tidak digunakan lagi. Kelemahan dari model geosentris ini adalah adanya kesulitan untuk menjelaskan fenomena retrogresi (gerak balik) periodik dari planet-planet. Lintasan semu planet sepanjang tahun relatif terhadap bintang-bintang adalah berupa lengkungan (kurva) yang tidak rata. Dan adakalanya planet-planet teramati seolah-olah bergerak mundur (berbalik) sebelum akhirnya bergerak maju kembali selama periode orbitnya. Untuk menjelaskan gerak mundur semu ini dalam kerangka teori geosentris, maka perlu menganggap bahwa planet-planet bergerak dalam lintasan-lintasan sirkular kecil yang disebut episiklus (epicycles), ketika planet-planet bergerak dalam orbit besarnya mengelilingi bumi. Akan tetapi, anggapan ini justru tidak sesuai dengan hasil pengamatan.

Sebenarnya seorang ahli astronomi Yunani yang bernama Aristarchus (kira-kira tahun 310–230 SM) pernah menyatakan bahwa Matahari mungkin berada pada pusat alam semesta, dan Bumi ergerak mengitarinya. Tetapi kemudian ia menolak sendiri gagasannya tersebut. Konsep matahari sebagai pusat tata surya (heliosentris) saat itu belum mendapat tempat dalam bidang astronomi.

2.      Model Heliosentris

Gagasan tentang heliosentris ini muncul kembali pada sekitar tahun 1543. Pada tahun itu terjadi revolusi ilmiah besar-besaran yang dilakukan oleh Nicolaus Copernicus (seorang astronom Polandia) yang dengan berani mengajukan penggantian model geosentris dengan model heliosentris yang lebih sederhana.

Dalam model ini, selain oleh planet-planet, matahari juga dikitari oleh benda-benda antar planet lainnya seperti komet, asteroid, dan meteoroid. Sistem dengan matahari sebagai pusat yang dikitari oleh planet-planet dan benda-benda antar planet lain dinamakan Tata Surya (Tjasyono, 2006).

Dalam model heliosentris Copernicus, matahari dianggap berada pada pusat alam semesta, bintang-bintang terletak pada bulatan angkasa dan berputar mengelilingi Matahari. Diantara bintang-bintang dan matahari terdapat planet-planet termasuk bumi yang berputar mengelilingi matahari dalam masing-masing orbitnya dengan lintasan orbit berbentuk lingkaran. Gerak mundur semu dalam peredaran planet-planet yang sulit dijelaskan oleh model geosentris, dapat dijelaskan dengan mudah dalam model heliosentris, dengan menggunakan konsep gerak relatif antara bumi dan planet-planet lain yang bergerak disekitar matahari dengan kecepatan sudut putar yang berbeda-beda.

Gambar. Model tata surya heliosentris


Kekurangan model Copernicus terjadi pada dua hal, yakni pertama adanya fakta bahwa bintang-bintang tidak berputar mengelilingi matahari, dan kedua lintasan orbit planet-planet bergerak mengelilingi matahari bukan berupa lingkaran (sirkular). Kesimpulan bahwa lintasan planet-planet bukan lingkaran diambil karena berdasarkan pengamatan ternyata jarak suatu planet ke matahari selama periode revolusinya tidaklah tetap, melainkan berubah-ubah, kadang-kadang menjauh kadang-kadang mendekat. Hal ini tidak akan terjadi jika lintasan edar planet mengitari matahari berupa lingkaran (Tjasyono, 2006).

B.     Hukum-Hukum Fisika dalam Model Heliosentris

1.      Hukum Kepler

Kelemahan model Copernicus tentang orbit planet kemudian disempurnakan oleh Johanes Kepler (1571-1630), asisten dan penerus dari ahli astronomi Tycho Brahe. Kepler menentukan sifat orbit planet berdasarkan analisis data teleskol astronomi Brahe (Tycho Brahe, 1546-1601) dan ia mengemukakan tiga hukum sebagai berikut:

a.    Hukum 1 (Hukum Elips)

Planet-planet bergerak dalam orbit elips mengitari Matahari yang berada di salah satu titik fokus elips. Hukum ini menyatakan bahwa orbit planet adalah elips, bukan lingkaran.

Gambar. Bentuk orbit planet menurut hukum pertama Kepler


Persamaan elips dari hukum Kepler (1) adalah:



Lambang e adalah eksentrisitas, perbandingan antara jarak dua fokus dengan diameter panjang elips. Nilai eksentrisitas menentukan bentuk elips apakah makin lonjong atau makin mendekati bentuk lingkaran. Jika e = 0, maka orbit planet akan berupa lingkaran. ebumi = 0,017, hampir mendekati nol, jadi orbit bumi hampir mendekati lingkaran.

b.   Hukum 2 (Hukum Kesamaan Luas)

Luas (S) yang disapu oleh garis penghubung antara planet dan Matahari dalam selang waktu (t) yang sama adalah sama (S1 = S2 = S3), seperti ditunjukkan pada gambar dibawah ini:

Gambar. Hukum Kepler 2 yang menggambarkan kecepatan planet di sekitar Matahari, S1 = S2 = S3


Hukum ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kecepatan orbit suatu Planet mengitari matahari tidaklah konstan (uniform) melainkan berubah-ubah. Planet akan bergerak lebih cepat dalam orbitnya ketika berada pada daerah yang dekat dengan matahari, dan akan bergerak lebih lambat dalam orbitnya ketika berada pada daerah yang jauh dari matahari. Kecepatan orbit Planet berbanding terbalik dengan jaraknya terhadap matahari. Dalam notasi matematis , hukum ini dapat dirumuskan sebagai : (Tjasyono, 2006)

Dengan C adalah konstanta. Persamaan ini dapat dibaca laju perubahan luas yang disapu garis penghubung planet-Matahari terhadap waktu adalah tetap, S1 = S2 = S3.

Hukum kesamaan luas ini terbentuk sebagai konsekuensi dari adanya kekekalan momentum sudut dari planet-planet ketika berputar mengelilingi Matahari. Momentum sudut (L) merupakan suatu besaran fisika terkait gerak rotasi yang didefinisikan sebagai perkalian antara momentum linier dengan jarak radial suatu benda (r) dari sumbu putarnya; (Kanginan, 1999)

Dimana momentum linier (p) adalah suatu besaran Fisika yang didefinisikan sebagai perkalian antara massa (m) dengan kecepatan (v);

Jadi, jika momentum sudut suatu planet yang mengitari matahari adalah kekal, maka planet harus bergerak lebih cepat bila dekat dengan matahari, dan bergerak lebih lambat jika berada jauh dari Matahari. Planet-planet yang berputar mengelilingi Matahari memiliki momentum sudut yang tetap, karena tidak ada gaya yang bekerja dalam arah geraknya. Gaya tarik matahari arahnya membentuk sudut terhadap arah gerak Planet. Sekali Planet bergerak mengelilingi Matahari, maka planet tersebut akan terus berputar dengan momentum sudut yang konstan, kecuali jika dikenakan gaya yang arahnya dalam arah gerak planet. Sebagai contoh, satelit buatan seperti satelit Palapa yang diorbitkan dalam atmosfir Bumi, akan bergerak mengelilingi Bumi dalam orbit eliptik dengan momentum sudut mula-mula konstan. Akan tetapi akibat adanya gaya gesek dari atmosfir bumi yang arahnya berlawanan dengan arah gerak satelit, maka momentum sudut satelit lama kelamaan akan terus berkurang seiring berjalannya waktu. Jadi adanya gaya gesekan udara dapat menyebabkan hukum kekekalan momentum tidak berlaku, tetapi planet-planet bergerak di ruang hampa sehingga gaya gesek dengan udara dapat diabaikan, sehingga hukum kekekalan momentum sudutnya terjamin (Kanginan, 1999).

Waktu yang diperlukan oleh sebuah Planet untuk beredar satu kali mengitari Matahari disebut periode revolusi. Untuk Bumi, periode revolusinya didefinisikan sebagai satu tahun. Sedangkan waktu yang diperlukan oleh suatu planet untuk berputar satu kali mengitari porosnya disebut periode rotasi. Untuk Bumi, periode rotasinya didefinisikan sebagai satu hari. Periode revolusi suatu planet berhubungan erat dengan orbitnya (jari-jari atau diameter orbit).

c.       Hukum 3 (Hukum Harmonik)

Hukum harmonik menyatakan bahwa perbandingan kuadrat periode revolusi (T2) terhadap pangkat tiga dari jarak rata-rata planet ke Matahari (jari-jari elips = R3) adalah sama untuk semua planet. Secara matematika, pernyataan tersebut dapat dirumuskan seperti berikut : (Tjasyono, 2006)

Disini C adalah suatu konstanta yang memiliki nilai yang sama untuk semua Planet. Hukum ini secara eksplisit menyatakan hubungan antara periode revolusi suatu Planet dengan jaraknya terhadap matahari. Makin jauh jarak Planet ke matahari (makin besar diameter orbit Planet), makin lama periode revolusinya. Planet yang memiliki diameter orbit paling kecil adalah Merkurius dan yang paling besar adalah Pluto. Sehingga Merkurius memiliki periode revolusi paling kecil, yaitu sekitar seperempat periode revolusi Bumi (0,25 tahun Bumi), sedangkan Pluto memiliki periode revolusi paling besar yaitu sekitar 248 tahun Bumi.

Periode rotasi tidak ada hubungannya dengan jarak Planet ke Matahari. Periode rotasi Planet Venus yang jaraknya ke Matahari lebih dekat dibanding Planet Bumi, memiliki periode rotasi yang lebih besar dari periode rotasi Bumi, yaitu sekitar 243 hari Bumi. Sedangkan Planet Jupiter yang jaraknya lebih jauh dari Bumi, memiliki periode rotasi yang lebih kecil dari periode rotasi Bumi, yaitu sekitar setengah hari Bumi. Jika Bumi dijadikan sebagai acuan, dimana jarak antara Bumi dan Matahari adalah sekitar 150 x 106 km yang disebut sebagai 1 SA, dan periode revolusi Bumi adalah 1 tahun, maka konstanta C = 1, dan persamaan hukum ketiga Kepler menjadi : (Tjasyono, 2006)

      

Disini R adalah jarak rata-rata Planet ke Matahari dalam satuan SA dan T adalah periode revolusi planet dalam satuan tahun.

Jarak rata-rata setiap Planet ke Matahari dan periode revolusinya dirangkumkan dalam Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Jarak rata-rata Planet-Matahari dan periode revolusinya

Planet

Jarak rata-rata Planet ke

Matahari (SA)

Periode revolusi Planet

Merkurius

0.39

88.0 hari

Venus

0.72

225.0 hari

Bumi

1.00

365.3 hari

Mars

1.52

687.0 hari

Jupiter

5.20

11.9 tahun

Saturnus

9.54

29.5 tahun

Uranus

19.19

84.0 tahun

Neptunus

30.07

164.0 tahun

Pluto

39.52

248.0 tahun

 

2.      Hukum Titius Bode

Suatu metode sederhana yang dapat memudahkan dalam mengingat atau menentukan jarak rata-rata antara sebuah planet dengan Matahari dalam satuan astronimis, yaitu hukum Titius Bode. Disebut demikian, karena metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Daniel Titius, seorang ahli Fisika dan Matematika berkebangsaan Jerman pada sekitar tahun 1766. Sedangkan Johann Bode, seorang astronom Jerman adalah pendukung kuat metode ini.

Titius Bode menandai jarak antara planet dan Matahari dengan angka-angka 0, 3, 6, 12, 24, dan seterusnya (menggandakan angka setiap bilangan kecuali untuk nol). 0 untuk Merkurius, 3 untuk Venus, 6 untuk Bumi, dan seterusnya. Kemudian setiap bilangan ini ditambah dengan 4, dan hasilnya dibagi dengan 10 (Tjasyono, 2006). Sebagai contoh, untuk Planet Merkurius (Planet terdekat dengan Matahari) jaraknya dari matahari (dalam SA) menurut hukum Titius Bode adalah:

(0 + 4) : 10 = 0,4 SA

sedangkan untuk planet Venus, jaraknya dari Matahari adalah :

(3 + 4) : 10 = 0,7 SA

Jarak planet Bumi ke Matahari:

Tanda untuk planet Bumi adalah 6, kemudian angka 6 ini ditambah dengan 4 dan hasil penjumlahan ini dibagi dengan 10, sehingga jarak Bumi ke Matahari adalah:

(6 + 4) : 10 = 1 SA

3.      Kesesuaian Hukum Newton dengan Hukum Kepler

Penemuan Teleskop pada tahun 1610 dan karya ilmiah besar Galileo (1564 – 1642) mempercepat perkembangan astronomi dan menetapkan model heliosentris dalam tata surya. Dari hukum-hukum Kepler, maka Isaac Newton mengemukakan hukum gravitasi universal (1687).

Hukum gravitasi Newton nenyatakan bahwa gaya gravitasi (gaya tarik menarik) antara dua benda bermassa sebanding dengan hasil kali massa kedua benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda tersebut. Karya Newton ini menunjukkan bahwa hokum Kepler yang diturunkan secara empiris, sesuai dengan hokum-hukum dasar tentang gerak. Secara matematis hukum gravitasi Newton dapat dirumuskan sebagai berikut : (Tjasyono, 2003)

Keterangan:

F          = gaya tarik menarik dalam Newton

m1, m2  = massa benda 1 dan benda 2

r           = jarak kedua benda dalam meter

G         = konstanta universal yang besarnya 6,67 x 10-11 Nm2kg-2.

Sebagai efek dari adanya gaya gravitasi ini, maka setiap benda akan saling berinteraksi dengan satu sama lain mengerahkan gaya gravitasi yang sama, dan benda yang massanya jauh lebih kecil dapat tertarik ke benda yang lebih massanya jauh lebih besar. Misalnya buah durian yang lepas dari tangkainya akan jatuh tertarik ke permukaan bumi (tanah). Hal ini terjadi karena massa durian sangat jauh lebih kecil dibanding dengan massa Bumi.

Matahari dan planet-planet juga saling tarik-menarik satu sama lain, karena masing-masing memiliki massa. Dan sudah pasti massa Matahari akan jauh lebih besar dari massa planet-planet, karena memiliki ukuran volume yang jauh lebih besar. Mestinya planet-planet jatuh tertarik ke Matahari, namun ternyata tidak. Hal ini dikarenakan planet-planet tidak diam melainkan bergerak mengitari Matahari dengan kecepatan orbit tertentu. Demikian juga dengan Bulan bergerak mengelilingi Bumi.

Sebagai efek dari pergerakan ini maka seolah-olah akan timbul suatu gaya pengimbang yang menetralisir gaya tarik Matahari. Gaya pengimbang ini biasa disebut sebagai gaya sentrifugal. Wujud nyata dari gaya ini adalah sama seperti ketika kita sedang duduk di dalam mobil, kemudian mobil itu bergerak dalam jalan menikung, maka seolah-olah kita tertarik ke arah yang berlawanan dengan arah tikungan. Jika kecepatan mobil saat menikung cukup tinggi, maka seolah-olah kita akan terlempar ke luar (Kanginan, 1999).

Besarnya gaya tarik menarik antara Matahari (bermassa M) dengan suatu planet (bermassa mp) yang satu sama lain terpisah sejauh R, adalah:

Dan gaya sentrifugal akibat planet bergerak mengitari Matahari dengan kecepatan linier v, adalah:

Dalam hal ini lintasan orbit planet dianggap berupa lingkaran. Karena gaya sentrifugal ini (F2) mengimbangi gaya tarik Matahari (F1), maka:

 

yang menghasilkan hubungan:

gaya tarik (F1) mengarah ke pusat orbit (Matahari), sehingga gaya ini disebut juga gaya sentripetal.

Dari persamaan-persamaan di atas dapat diamati bahwa:

·      Kecepatan linier orbit Planet berbanding terbalik dengan jaraknya dari Matahari, ini berarti semakin dekat jarak suatu planet ke Matahari, maka gerak planet akan semakin cepat, atau periodenya akan semakin kecil (sesuai dengan hukum kedua Kepler)

·      Jika planet diam tidak bergerak mengitari Matahari maka atau kecepatannya (v) sama dengan nol, maka gaya sentrifugal (F2) juga sama dengan nol, dan karena gaya tarik F1 tidak nol, maka planet akan jatuh tertarik ke Matahari.

Selanjutnya dengan menggabungkan konsep gerak melingkar dan hukum ketiga Kepler, Newton dapat menentukan nilai konstantan C pada persamaan hukum ketiga Kepler, dengan langkah analisis seperti berikut : Seperti telah diungkapkan di atas, gaya sentripetal (besarnya sama dengan gaya sentrifugal) yang dikerjakan Matahari terhadap planet adalah:

Tapi kecepatan linier v dapat dinyatakan dalam kecepatan sudut (w) melalui hubungan v = wR , dengan demikian persamaan di atas dapat dituliskan dalam bentuk:

Dan karena kecepatan sudut (w) terkait dengan periode orbit planet (T) melalui hubungan  dapat dituliskan seperti berikut:

Dan kemudian dengan menggunakan perumusan hukum ketiga Kepler dan persamaan hukum gravitasi Newton dapat dirumuskan persamaan untuk konstanta pada hukum ketiga Kepler (C) seperti berikut:

Contoh penerapan hukum ketiga Kepler:

Dua buah planet P dan Q mengorbit Matahari dengan perbandingan jarak planet P dan planet Q ke Matahari adalah 4 : 9. Apabila periode revolusi planet P adalah 24 jam, tentukan periode revolusi planet Q!

Jawab

Diketahui : -  

-    

Periode Planet P dapat dihitung dengan persamaan hukum ketiga Kepler seperti berikut ini:

atau                   

atau                      


 

C.    Teori Pembentukan Tata Surya

Dari fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Planet-Planet terletak hampir pada bidang datar di sekitar Matahari, maka pembentukan anggota tata surya dalam hal ini Planet-Planet diduga dari wujud yang sama dengan Matahari atau terbentuk dari Matahari. Terdapat beberapa teori yang mencoba menerangkan terbentuknya tata surya. Beberapa diantaranya yang cukup terkenal adalah Toeri Kabut atau Teori Nebula, Teori Planetesimal, Teori Bintang Kembar, dan Teori Proto Planet.

1.      Teori Nebula atau Teori Kabut

Nebula adalah kabut yang terdiri dari gas (terutama gas helium dan hidrogen) dan partikelpartikel angkasa lainnya. Pada tahun 1755 seorang pilosof Jerman bernama Immanuel Kant mengajukan teori kabut ini. Pada tahun 1977, seorang ahli matematika terkenal dari Prancis yang bernama Simon de Laplace mengusulkan teori kabut yang hampir sama. Oleh karena itu, teori kabut dikenal juga dengan teori Kant-Laplace.

          

a                                                          b         

Menurut teori ini, mula-mula di jagat raya ini ada sebuah Nebula yang baur dan hampir bulat. Nebula ini berotasi dengan lambat dan turbulen (Gambar a). Karena pergerakan rotasinya sangat lambat, maka Nebula mulai menyusut. Sebagai hasil penyusutan dan rotasinya, terbentuklah sebuah cakram Nebula yang ditengah-tengahnya datar (Gambar b). Proses penyusutan tersebut terus berlanjut dan akhirnya Matahari terbentuk di pusat cakram. Cakram berputar makin lama makin cepat, sehingga bagian-bagian tepi cakram terlepas membentuk gelang-gelang bahan (Gambar c). Selanjutnya bahan dalam gelang-gelang memadat menjadi planet-planet yang berevolusi dalam orbit hampir melingkar mengitari Matahari (Gambar d).

Teori Nebula dipandang sukses dalam menjelaskan tata surya datar, yaitu bidang orbit Planet-Planet mengitari Matahari hampir merupakan bidang datar. Teori ini juga dipandang sukses dalam menjelaskan mengapa planet-planet berevolusi dalam arah yang seragam.

Ide untuk menjelaskan bidang tata surya hampir datar didasarkan pada hukum kekekalan momentum sudut. Contoh terkenal untuk memahami hal ini adalah gerak rotasi seorang pemain sepatu es (sepatu luncur). Pemain es mula-mula berotasi dengan merentangkan kedua lengannya, jika ketika sedang berotasi kemudian pemain tersebut menarik kedua lengannya hingga terlipat, maka laju rotasinya akan bertambah, karena momentum sudutnya tetap. Mirip dengan peritiwa itu, ketika sebuah Nebula yang sedang berotasi perlahan-lahan ukurannya menyusut, maka Nebula tersebut akan berotasi dengan kelajuan yang lebih cepat dan akan runtuh ke bawah sepanjang poros putarnya dan membentuk suatu bidang cakram datar, yang sering disebut tata surya datar.

Seratus tahun kemudian, ahli Fisika terkenal berkebangsaan Inggris, James Clerk Maxwell dan Sir James Jeans melakukan sanggahan terhadap teori ini dengan cara menunjukkan bahwa massa bahan dalam gelang-gelang tidak cukup untuk menghasilkan tarikan gravitasi sehingga memadat menjadi planet-planet. Sanggahan lain terhadap teori Nebula juga datang dari astronom F. R. Moulton dari Chicago pada penghujung abad 19. Ia menyatakan bahwa teori ini bertentangan dengan kaidah fisika, yaitu yang seharusnya memiliki momentum sudut paling besar adalah planet-planet, dan bukannya Matahari. Menurut teori Nebula, Matahari memiliki momentum sudut paling besar karena memiliki massa paling besar.

2.      Teori Planetesimal

Teori ini diajukan oleh ahli geologi berkebangsaan Amerika yang bernama T. C. Chamberlein bersama rekannya ahli astromi yang bernama Moulton pada awal abad ke 20. Planetesimal dapat diartikan sebagai planet kecil.

Menurut teori ini, Matahari telah ada sebelum terbentuknya tata surya sebagai salah satu Bintang yang banyak terdapat di langit. Pada suatu saat, Matahari berpapasan pada jarak yang tidak terlalu jauh dengan sebuah Bintang lain. Karena adanya tarikan gravitasi Bintang tersebut, maka sebagian bahan pada Matahari (mirip lidah api raksasa) tertarik ke arah Bintang itu. Ketika Bintang yang berpapasan tersebut menjauh kembali, sebagian lidah api raksasa tersebut jatuh kembali ke matahari dan sebagian lagi terhambur menjadi gumpalan-gumpalan kecil atau Planetesimal. Planetesimal-Planetesimal tersebut kemudian melayang-layang di angkasa sebagai benda-benda dingin dalam orbit mengitari Matahari. Akibat adanya tumbukkan dan tarikan gravitasi, Planetesimal yang lebih besar menyapu yang lebih kecil bergabung membentuk planet-planet (Kanginan, 1999).

Gambar. Matahari berpapasan dengan Bintang lain, sebagian materi matahari tertarik oleh gravitasi bintang

Tetapi kemudian sanggahan terhadap teori ini datang dari beberapa ahli astronomi. Menurut para astronom, kebanyakan bahan-bahan yang dihamburkan dari Matahari berasal dari bagian dalam Matahari yang bersuhu sangat tinggi yaitu dapat mencapai 1.000.000oC. Karena suhu yang sangat tinggi ini, maka gas-gas yang dihamburkan dari Matahari akan terpencar ke seluruh ruang angkasa akibat ledakan hebat, dan bukannya memadat menjadi planet-planet seperti yang dinyatakan oleh teori Planetesimal.

3.      Teori Bintang Kembar

Teori Bintang kembar hampir sama dengan teori Planetesimal. Teori ini diusulkan pada tahun 1930-an. Dulunya Matahari diprediksi merupakan Bintang kembar. Kemudian Bintang yang satu meledak menjadi kepingan-kepingan kecil, dan karena adanya pengaruh gravitasi dari Bintang yang satunya lagi, maka kepingan-kepingan tersebut bergerak mengitari Bintang tersebut dan menjadi planet-planet. Bintang yang satu lagi yang dikelilingi kepingan-kepingan sekarang bernama Matahari (Kanginan, 1999).

4.      Teori Proto Planet

Teori Proto Planet merupakan teori yang populer saat ini. Proto adalah kata pada bahasa Yunani yang berarti primitif. Teori ini pada awalnya dikemukakan oleh seorang astronom Jerman yang bernama Carl Von Weizsaeker pada tahun 1940, yang kemudian disempurnakan lagi oleh astronom lain, yaitu Gerard P. Kuiper pada tahun 1950, Subrahmanyan Chandrasekhar, dan lain-lain (Kanginan, 1999).

Pada dasarnya teori ini menyatakan bahwa tata surya terbentuk dari gumpalan awan gas dan debu sehingga teori ini dikenal juga sebagai teori awan debu. Dasar pemikiran ke arah itu adalah adanya fakta yang menunjukkan bahwa di jagat raya banyak ditemukan gumpalan awan seperti itu. Labih dari lima milyar tahun yang lalu, salah satu gumpalan awan itu mengalami pemampatan. Pada proses pemampatan tersebut, partikel-partikel debu tertarik ke dalam menuju pusat awan membentuk gumpalan bola dan mulai berotasi. Seperti pada ilustrasi pemain sepatu es, begitu partikel-partikel debu yang berada di pingggir tertarik ke dalam, maka laju rotasi gumpalan awan harus bertambah agar momentum sudut gumpalan bernilai tetap. Karena rotasinya yang makin cepat, maka gumpalan tersebut akan mulai memipih (mendatar) menyerupai bentuk cakram, yaitu tebal di bagian tengah dan tipis di bagian tepi. Hukum ketiga Kepler menyatakan bahwa di bagian tengah harus berotasi lebih cepat dari pada di bagian pinggir. Akibatnya partikel-partikel yang berada di bagian tengah akan saling menekan dan menimbulkan panas dan berpijar. Bagian tengah yang berpijar ini disebut Proto Sun (Bakal Matahari), yang pada akhirnya menjadi Matahari.

Bagian tepi atau bagian yang lebih luar berotasi sangat cepat, sehingga terpecah-pecah menjadi banyak gumpalan gas dan debu yang lebih kecil. Gumpalan kecil ini disebut Proto Plasma juga berotasi, dan akhirnya memadat menjadi planet-Planet dan Satelit-Satelitnya.

    

Gambar. Proto planet dan proto Sun

D.    Pengelompokkan Planet

Hingga saat ini telah ditemukan sembilan buah planet sebagai anggota tata surya, yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Untuk planet yang terakhir yaitu Pluto masih menjadi bahan perdebatan apakah tergolong Planet atau bukan. Beberapa ahli astronomi mempercayai bahwa Pluto merupakan sebuah satelit Neptunus yang terlepas. Sampai pada abad ke 17 baru dikenal 6 Planet, yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, dan Saturnus. Uranus baru ditemukan sekitar tahun 1781, Neptunus pada tahun 1846, dan Pluto pada tahun 1930 (Tjasyono, 2003).

Gambar. Bentuk tampilan Matahari dan Planet-Planet

Matahari memancarkan sinar karena memiliki sumber cahaya sendiri. Oleh karena itu Matahari tergolong Bintang. Planet-planet tidak memiliki sumber cahaya sendiri. Planet-planet bersinar karena planet-planet memantulkan cahaya Matahari yang diterimanya.

Planet Merkurius, Venus, Mars, Jupiter dan Saturnus dapat dilihat dengan mata telanjang tanpa bantuan teleskop. Karena itu kelima Planet ini telah dipelajari oleh para astronom selama ribuan tahun. Tiga Planet lainnya ditemukan setelah penemuan teleskop. Uranus ditemukan oleh Hershel pada malam hari tanggal 13 Maret 1781. Neptunus ditemukan berdasarkan perhitungan John Couch Adams dan Le Verrier, dan teramati pertama kali di langit pada tanggal 23 September 1846 oleh Johann G. Galle, asisten kepala observatorium Berlin. Pluto ditemukan berdasarkan perhitungan ahli matematika yang bernama Parcival Lowell, dan teramati pertama kali di langit oleh Clyde W. Tombaugh pada tanggal 13 Maret 1930. Parcival Lowell dan Clyde W. Tombaugh bekerja pada observatorium Lowell, Arizona, Amerika Serikat (Kanginan, 1999).

Antara orbit planet Mars dan planet Jupiter terdapat sabuk (belt) Asteroid, yaitu kumpulan ribuan planet-planet kecil dan pecahan-pecahan yang asal usulnya hingga kini masih menjadi bahan perdebatan para ahli astronomi. Asteroid Ceres ditemukan pertama kali pada sekitar tahun 1801 oleh seorang astronom Italia bernama Piazzi. Benda tersebut hanya memiliki diameter sekitar 750 km, sehingga terlalu kecil untuk disebut Planet. Dari pengamatan selanjutnya menunjukkan bahwa ternyata Asteroid ini merupakan keluarga besar yang jumlahnya 100.000 buah.

Terdapat tiga cara untuk pengelompokkan planet-planet, yaitu:

1.    Pengelompokkan planet atas dasar planet Bumi sebagai pembatas

a.    Planet Inferior

Planet Inferior adalah planet-planet yang orbitnya terletak di dalam orbit planet Bumi. Anggota kelompok planet Inferior terdiri atas dua planet yaitu Merkurius dan Venus.

b.    Planet Superior

Planet Superior adalah planetplanet yang orbitnya terletak di luar orbit planet Bumi. Yang termasuk kelompok planet Superior adalah planet Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto.

2.    Pengelompokkan planet atas dasar lintasan Asteroid sebagai pembatas

a.    Planet Dalam (Inner Planets)

Planet Dalam adalah planet-planet yang orbitnya terletak di sebelah dalam lintasan Asteroid. Anggota kelompok planet ini terdiri dari planet Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars.

b.    Planet Luar (Outer Planets)

Planet Luar adalah planet-planet yang orbitnya di sebelah luar lintasan Asteroid. Yang tergolong planet ini adalah planet Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto.

3.    Pengelompokkan planet atas dasar ukuran dan komposisi bahan penyusunnya

a.    Planet Terrestrial

Planet Terrestrial adalah planet-planet yang ukuran dan komposisi bahan penyusunnya (batuan) mirip dengan planet Bumi. Yang termasuk kelompok planet ini adalah Merkurius, Venus, dan Mars. Kelompok Planet ini kadang-kadang disebut juga kelompok planet Kerdil, karena memang ukuran diameternya relatif jauh lebih kecil dibanding dengan diameter planet Jupiter.

Ciri-ciri utama dari planet Kerdil ini adalah diameternya kecil, padat, dan kerapatan massanya tinggi, yaitu antara 4,2 hingga 5,5 gram/cm3. Planet kebumian disusun terutama (90 %) dari unsur-unsur Besi, Oksigen, Silikon, dan Magnesium. Planet ini juga biasanya memiliki angkasa yang tidak terlalu tebal, bahkan Merkurius tidak diselubungi angkasa.

b.    Planet Jovian

Planet Jovian disebut juga planet raksasa adalah planet-planet yang ukurannya besar dan komposisi bahan penyusunnya mirip dengan planet Jupiter, yaitu terdiri dari sebagian besar es dan gas hidrogen. Yang tergolong planet ini adalah Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus.

Ciri-ciri utama dari planet Raksasa ini adalah diameternya besar, kurang padat, dan kerapatan massanya sangat rendah. Sebagai contoh, Saturnus memiliki rapat massa antara 0,7 hingga 1,6 gram/cm3. Angkasa planet Raksasa biasanya sangat tebal dan terdiri atas senyawa yang mengandung hidrogen. planet Pluto tidak mirip dengan Planet Bumi maupun dengan Planet Jupiter, dan banyak astronom telah mengusulkan agar Pluto dikelompokkan sebagai sebuah Asteroid (Planet kecil).

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Menurut teori geosentris, bumi sebagai pusat alam semesta yang dikitari oleh planet-planet, matahari, serta benda-benda langit lainnya. Sedangkan mneurut teori heliosentris, Dalam model ini, matahari ditempatkan sebagai pusat tata surya yang selain dikitari oleh planet-planet, juga dikitari benda-benda antar planet lainnya seperti komet, asteroid, dan meteoroid.

Hukum-hukum fisika dalam model heliosentris adalah hukum kepler yang mengemukakan tiga hukum yaitu hukum elips, hukum kesamaan luas dan hukum harmonik. selain hukum kepler, terdapat pula hukum titius bode dan hukum newton.

Teori pembentukan tata surya ada empat yaitu teori nebula atau teori kabut, teori planetesimal, teori bintang kembar dan teori proto planet.

Terdapat tiga cara untuk pengelompokkan planet-planet, yaitu:

1.      Pengelompokkan planet atas dasar planet Bumi sebagai pembatas, yaitu Planet Inferior dan Planet Superior

2.      Pengelompokkan planet atas dasar lintasan Asteroid sebagai pembatas, yaitu Planet Dalam (Inner Planets) dan Planet Luar (Outer Planets)

3.      Pengelompokkan planet atas dasar ukuran dan komposisi bahan penyusunnya, yaitu Planet Terrestrial dan Planet Jovian

 

B.     Saran

Hendaknya seorang guru dalam menjelaskan materi tata surya ini dengan menggunakan media pembelajaran. Hal ini dikarenakan materi tata surya yang bersifat abstrak, sedangkan siswa SD masih ada pada tahap berpikir konkret. Sehingga diperlukannya media sebagai alat yang dapat memfasilitasi tersampaikannya materi ini.

DAFTAR PUSTAKA

 

Ghozalik. (2013). Teori-Teori Pembentukan Tata Surya.[Online]

Tersedia: https://ghozaliq.com/2013/10/21/teori-teori-pembentukan-tata-surya/ (15 April 2016)

Rosmiati Taty. 2014. Pengelompokan Planet.[Online]

Tersedia:https://skepticalinquirer.wordpress.com/2014/10/18/pengelompokan-planet/ (15 April 2016)

Suhandi, A, dkk. (2009). Konsep Dasar Antariksa untuk SD. Bandung: UPI Press

Tjasyono B. (2013). Ilmu Kebumian dan Antariksa. Bandung: PT Remaja Rosdakayra.