BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Salah satu
permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya
mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan
dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan
kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan
prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian,
berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Sebagian sekolah terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan
yang cukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprihatinkan.
Dari hasil
berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan
mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Faktor pertama, kebijakan dan
penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen.
Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan
nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah
sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang
mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang
dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat.
Faktor ketiga, peranserta masyarakat,
khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat
minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat
dukungan input (dana), bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan,
monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akuntabilitas,
sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan
pendidikan kepada masyarakat khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu
unsur utama yang berkepentingan yang pendidikan (stakeholder).
Berdasarkan
kenyataan-kenyataan tersebut di atas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya
perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan
pendidikan, yaitu dari manajemen
peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah.
2.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah?
2. Bagaimana
pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah?
3.
Tujuan
1. Untuk
memahami konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
2. Untuk
memahami pelaksanaan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
KONSEP
DASAR
Secara umum,
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai
model manajemen yang memberikan otonomi
lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan parsitipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah
(guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
A.
Pola
Baru Manajemen Pendidikan Masa Depan
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen
pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah, maka sebagai konsekuensi
logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia adalah perlu dilakukannya
penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen
pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis.
Tabel berikut menunjukkan dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang
lama menuju yang baru.
Tabel dimensi-dimensi perubahan pola manajemen
Pola Lama
|
Menuju
|
Pola Baru
|
Subordinasi
Pengambilan keputusan
terpusat
Ruang gerak kaku
Pendekatan birokratik
Sentralistik
Diatur
Over regulasi
Mengontrol
Mengarahkan
Menghindari resiko
Gunakan uang semuanya
Individual yang cerdas
Informasi terpribadi
Pendelegasian
Organisasi herarkis
|
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
Þ
|
Otonomi
Pengambilan keputusan
partisipatif
Ruang gerak luwes
Pendekatan professional
Desentralistik
Motivasi diri
Deregulasi
Mempengaruhi
Memfasilitasi
Mengelola resiko
Gunakan uang seefisien
mungkin
Teamwork yang cerdas
Informasi terbagi
Pemberdayaan
Organisasi datar
|
Berikut
dijelaskan secara singkat dari tabel di atas. Pada Pola Lama, tugas dan fungsi
sekolah lebih pada melaksanakan program daripada mengambil inisiatif merumuskan
dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah.
Sedangkan pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam
pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan
partisipasi masyarakat makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola
lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan birokrasi,
pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh
motivasi diri sekolah daripada diatur oleh luar sekolah, regulasi pendidikan
lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi
dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah
resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat
digunakan untuk anggaran tahun depan (efficiency-based budgeting), lebih
mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih
mengutamakan pemberdayaan, dan struktur lebih datar sehingga sehingga lebih
efisien.
B.
Konsep
Dasar MPMBS
Secara konseptual, MPMBS difahami sebagai salah satu
alternatif pilihan formal untuk mengelola struktur penyelenggaraan pendidikan
yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah sebagai unit utama peningkatan.
Konsep ini memberikan redistribusi kewenangan para pembuat kebijakan sebagai unsur
paling mendasar untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan.
Di pihak lain, MPMBS merupakan cara untuk meningkatkan motivasi
kepala sekolah agar lebih bertanggung jawab terhadap mutu peserta didik. Untuk
itu, sudah selayaknya kepala sekolah mengembangkan program-program kependidikan
secara menyeluruh dalam melayani segala
kebutuhan peserta didik di sekolah. Seluruh warga sekolah seyogyanya menyambut
hal ini dengan merumuskan program sekolah yang lebih prioritas dan operasional
sebab merekalah yang paling mengetahui akan kebutuhan peserta didiknya dan yang
terbaik bagi peserta didiknya. Inilah filosofis MPMBS paling mendasar.
MPMBS dapat didefinisikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, dan mendorong
sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif untuk
memenuhi kebutuhan mutu sekolah dan untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam
kerangka pendidikan nasional. Oleh sebab itu, esensi MPMBS = otonomi sekolah +
fleksibilitas + partisipatif untuk
mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian
yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan merdeka atau
tidak tergantung. Jadi otonomi adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan
melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga
sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong
untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat
berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
C.
Karakteristik
MPMBS
MPMBS memiliki karakteristik yang harus dipahami oleh sekolah
yang menerapkan. Jika sekolah ingin sukses, maka sekolah harus memiliki
karakteristik MPMBS yang diharapkan. Berbicara karakteristik MPMBS tidak
terlepas dari karakteristik sekolah yang efektif. Jika MPMBS merupakan
wadahnya, maka karakteristik MPMBS merupakan isinya. Dengan memandang karakteristik
MPMBS sebagai sistem, penguraian karakteristik MPMBS didasarkan atas input,
proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan
diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi
sedangkan proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari
output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
1.
Output
yang Diharapkan
Sekolah harus memiliki output yang diharapkan. Output
sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan
manajemen di sekolah.
Output pendidikan dinyatakan tinggi jika prestasi
sekolah tinggi dalam hal:
Ø Prestasi
akademik siswa berupa nilai ulangan umum, Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN),
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), lomba karya ilmiah remaja, lomba
Bahasa Inggris, Lomba Fisika, Lomba Matematika.
Ø Prestasi
nonakademik siswa seperti imtaq, kejujuran, kerjasama, rasa kasih sayang,
keingintahuan, solidaritas, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga,
kesopanan, olahraga, kesenian, kepramukaan, keterampilan, harga diri, dan
kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh tahapan
kegiatan yang saling mempengaruhi (proses) yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan; dan
Ø Prestasi lainnya
seperti kinerja sekolah dan guru meningkat, kepuasan, kepemimpinan kepala
sekolah handal, jumlah peserta didik yang berminat masuk ke sekolah meningkat,
jumlah putus sekolah menurun, guru dan tenaga tata usaha yang pindah dan
berhenti berkurang, peserta didik dan guru serta tenaga tata usaha yang tidak
hadir berkurang, hubungan sekolah-masyarakat meningkat, dan kepuasan stakeholder
meningkat.
2.
Proses
Proses ialah
berubahnya sesuatu (input) menjadi sesuatu yang lain(output).
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik sebagai
berikut:
a.
Proses Belajar
Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki
efektivitas proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. PMB bukan sekedar
memorisasi dan recall, bukan sekedar menekankan pada penguasaan pengetahuan
tentang apa yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada
internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi
sebagai muatan nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PMB yang fektif lebih menekankan pada belajar mengetahui
(learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama
(learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
b.
Kepemimpinan
Sekolah yang Kuat
Pada sekolah yang menerapkan MPMBS, kepala
sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan
menyerasikan semua sunber daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala
sekolah salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan
visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan
secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut
memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil
keputusan dan inisiatif atau prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara
umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya
sekolah, terutama sunber daya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.
c.
Lingkungan
Sekolah yang Aman dan Tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim)
belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat
berlangsung dengan nyaman. Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan
iklim sekolah yang aman, nyaman tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang
dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan sekolah sangat penting
sekali.
d.
Pengelolaan
Tenaga Kependidikan yang Efektif
Tenaga kependidikan, terutama guru,
merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang
menerapkan MPMBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga
kependidikan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi
kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan
penting bagi seorang kepala sekolah.
Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga
kependidikan, ini harus dilakukan secara terus menerus-mengingat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya, tenaga kependidikan
yang diperlukan untuk menyukseskan MPMBS adalah tenaga kependidikan yang
mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan
baik.
e.
Sekolah Memiliki
Budaya Mutu
Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai
berikut:
-
Informasi kualitas harus digunakan untuk
perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang.
-
Kewenangan harus sebatas tanggung jawab.
-
Hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau
sanksi (punishment).
-
Kolaborasi dan sinergi, bukan komtetisi, harus
merupakan basis untuk kerja sama.
-
Warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya.
-
Atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan.
-
Imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaan.
-
Warga sekolah merasa memiliki sekolah.
f.
Sekolah Memiliki
Teamwork yang Kompak, Cerdas,
dan Dinamis
Kebersamaan (teamwork) merupakan
karakteristik yang dituntut oleh MPMBS, karena output pendidikan merupakan
hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya
kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus
merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
g.
Sekolah Memiliki
Kewenangan (Kemandirian)
Sekolah memiliki kewenangan untuk
melakukan yang terbaik untuk sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki
kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak terlalu menggantungkan pada atasan.
Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup untuk
menjalankan tugasnya.
h.
Partisipasi yang
Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki
karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian
kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat
partisipasi, makin besar rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar
pula rasa tanggung jawab dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula
tingkat dedikasinya.
i.
Sekolah Memiliki
Keterbukaan (Transparansi)
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan
sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MPMBS.
Kterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan,
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang dan sebagainya, yang
selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
j.
Sekolah Memiliki
Kemauan untuk Berubah (Psikologis dan Pisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang
menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh
sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat
fisik maupun psikologis, artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya
diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta
didik.
k.
Sekolah
Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
Evaluasi hasil belajar secara teratur
bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta
didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi
belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar
di sekolah.
Perbaikan secara terus-menerus harus
merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu,
sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang
dimaksud harus mencakupnstruktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses
dan sumber daya untuk menerapkan manajemen mutu.
l.
Sekolah
Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap
berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu
membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, seklah
tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga
mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi.
m.
Komunikasi yang
Baik
Komunikasi yang baik ialah kemampuan menyampaikan
pendapat baik secara tertulis, lisan,
maupun bahasa isyarat. Di samping itu, mampu pula menerima pesan atau
pertanyaan baik secara tertulis, lisan, maupun bahasa isyarat. Banyak kegagalan
sekolah terjadi karena kegagalan warganya berkomunikasi dengan baik.
n.
Sekolah Memiliki
Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung
jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah
dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan
dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat.
3.
Input
Pendidikan
a. Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu
yang Jelas
Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan
kebijakan, tujuan, dan sasaran sekolah yang berkaitan dengan mutu. Kebijakan,
tujuan dan sasaran mutu tersebut disosialisasikan kepada semua warga sekolah,
sehingga tertanam pemikiran, tindakan kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan
karakter mutu oleh warga sekolah.
b. Sumberdaya Tersedia dan Siap
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya
proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan
di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran
sekolah tidak akan tercapai. Sumber daya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
sumber daya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan,
bahan dan sebagainya) dengan penegasan bahwa sumber daya selebihnya tidak
mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan
sumberdaya manusia.
c. Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang mampu (kompeten) dan
berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu bagi sekolah
yang ingin efektifitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan
berdedikasi tinggi merupakan keharusan.
d. Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
Sekolah yang menerapkan MPMBS mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi
untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala sekolah
memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara
optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya
dapat mencapai tingkat prestasi yang maksimal, walaupun dengan segala
keterbatasan sumber daya pendidikan yang ada di sekolah. Sedangkan peserta
didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi
sesuai bakat dan kemampuannya.
e. Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
Pelanggan, terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua kegiatan
sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju
utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis
dari ini semua adalah bahwa penyiapan input dan proses belajar mengajar harus
benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan oleh siswa.
f. Input manajemen
Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang
rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan
(aturan main) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak,
dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan
agar sasaran yang telah disepakati dapat tercapai.
D.
Fungsi-fungsi
yang Didesentralisasikan ke Sekolah
Secara
umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat
menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih
spesifik, pertanyaannya adalah: “Fungsi-fungsi apa sajakah yang perlu didesentralisasikan
ke sekolah”? Pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 22 tentang Pemerintah
Daerah (Otonomi Daerah) tahun 1999 beserta sejumlah Peraturan Pemerintah (PP)
sebagai pedoman pelaksanaannya terutama PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah, Propinsi dan Kota/Kabupaten, harus digunakan sebagai
referensi/patokan. Dengan demikian, pendesentralisasian fungsi-fungsi
pendidikan tidak akan merubah peraturan perundang-undangan yang ada.
Namun
demikian, sampai saat ini belum ada resep yang pasti tentang hal ini, karena
seperti kita ketahui, otonomi pendidikan sedang bergulir dan sedang mencari
formatnya, sehingga secara peraturan perundang-undangan (legal aspect) belum
dimiliki tugas dan fungsi sekolah dalam era otonomi saat ini. Sementara menunggu
“legal aspect” yang akan diberlakukan kelak, fungsi-fungsi sekolah yang semula
dikerjakan oleh Pemerintah Pusat/Dinas Pendidikan Propinsi/Dinas Pendidikan
Kota/Kabupaten, sebagian dari fungsi
dapat dilakukan oleh sekolah secara professional. Artinya, suatu fungsi tidak
dapat dilimpahkan sepenuhnya kesekolah, sebagian masih merupakan porsi
kewenangan Pemerintah Pusat, sebagian porsi kewenangan Dinas Propinsi, sebagian
porsi kewenangan Dinas Kota/Kabupaten, dan sebagian porsi lainnya yang
dilimpahkan ke sekolah.
Adapun
fungsi-fungsi yang sebagian porsinya dapat digarap oleh sekolah dalam kerangka
MPMBS ini meliputi: (1) proses belajar mengajar, (2) perencanaan dan evaluasi
program sekolah, (3) pengelolaan kurikulum, (4) pengelolaan ketenagaan,
(5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7)
pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah-masyarakat, dan (9) pengelolaan iklim
sekolah.
1. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses
belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan
memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang
paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik
siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di
sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang
berpusat pada siswa (student centered) lebih mampu memberdayakan
pembelajaran siswa. Yang dimaksud dengan pembelajaran berpusat pada siswa
adalah pembelajaran yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada
keaktifan mengajar guru. Oleh karena itu, cara-cara belajar siswa aktif seperti
misalnya active learning, cooperative learning, dan quantum learning perlu
diterapkan.
2. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah
diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya
(school-based plan). Kebutuhan yang dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk
meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis
kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian
sekolah membuat rencana peningkatan mutu.
Sekolah
diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan
secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau
proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah
dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri
harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang
sebenarnya.
3. Pengelolaan Kurikulum
Kurikulum
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara
nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu,
dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya,
memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara
nasional. Sekolah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya, apa yang diajarkan
boleh dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga dibolehkan
memperkaya apa yang diajarkan, artinya, apa yang diajarkan boleh diperluas dari
yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga,
sekolah dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh
dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta
didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan
kurikulum muatan local.
4. Pengelolaan Ketenagaan
Pengelolaan
ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen,
pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai
evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran,
dsb.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal
jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani
oleh birokrasi di atasnya.
5. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan
fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan,
pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh
kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik
kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat
erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
6. Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan
keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan
oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling
memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang
sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan
untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income
generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung
pada pemerintah.
7. Pelayanan Siswa
Pelayanan
siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/pembimbingan,
penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga
sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah
didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas
dan ekstensitasnya.
8. Hubungan Sekolah-Masyarakat
Esensi
hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian,
kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan
finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu
sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah
peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.
9. Pengelolaan Iklim Sekolah
Iklim
sekolah (fisik dan nonfisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi
terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang
aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga
sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa
(student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat
menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan
sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan
ekstentif.
Secara
visual, fungsi-fungsi yang didesentralisasikan ke sekolah dapat dilihat pada
Gambar 1 berikut.
Gambar1. Fungsi-Fungsi yang di
Desentralisasikan ke Sekolah
PROSES
|
OUTPUT
|
INPUT
Perencanaan&Evaluasi
Kurikulum
Fasilitas
Keuangan
Kesiswaan
Hubungan Sekolah-Masyarakat
Iklim Sekolah
|
E.
Pengertian
Mutu Pendidikan
Secara
umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa
yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau
yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input,
proses, dan output pendidikan.
Input
pendidikan adalah
segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya
proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta
harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumberdaya
meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan,
siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb.).
Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan
perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input
harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran-sasaran yang ingin
dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat
berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat
diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin
tinggi pula mutu input tersebut.
Proses
pendidikan merupakan
berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang
berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedang sesuatu
dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro
(tingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan,
proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar
mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses
belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan
proses-proses lainnya.
Proses
dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta
pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan, dsb.)
dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang
menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar,
dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdayakan mengandung
arti bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan
oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani
peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dan yang lebih
penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu
mengembangkan dirinya).
Output
pendidikan adalah
merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang
dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari
kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya,
kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan
mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan
berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya prestasi belajar
siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa
nilai ulangan umum, EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba akademik; dan (2)
prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olahraga,
kesenian, keterampilan kejuruan, dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses)
seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
2.
PELAKSANAAN
A.
Rasional
dan Tujuan
Konsep
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sebagaimana telah
diuraikan di atas, esensinya adalah peingkatan otonomi sekolah,
peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah.
Konsep
ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MPMBS sudah sepantasnya menerapkan
pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagaian cara melaksanakan
MPMBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik” (cara melaksanakan
MPMBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu,
dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MPMBS yang sama
untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan
bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali
jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan
proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang
bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Paling tidak,
proses menuju MPMBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut:
Pertama, perlu perubahan peraturan perundang-undangan/ketentuan-ketentuan
bidang pendidikan yang ada saat ini. Peraturan perundang-undangan yang ada
sekarang perlu disesuaikan, dari yang semula menempatkan sekolah sebagai
subordinasi birokrasi semata dan kedudukan sekolah bersifat marginal, menjadi
sekolah yang bersifat otonom dan mendudukkannya sebagai unit utama.
Kedua, kebiasaan (routines) berperilaku unsur-unsur sekolah
perlu disesuaikan, karena MPMBS menuntut kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang
mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif, integratif, sinkronistis,
kooperatif, luwes, dan professional.
Ketiga, peran sekolah yang selama ini biasa diatur (mengikuti
apa yang diputuskan oleh birokrasi) perlu disesuaikan menjadi sekolah yang
bermotivasi-diri tinggi (self-motivator). Perubahan peran ini merupakan
konsekwensi dari perubahan peraturan perundang-undangan bidang pendidikan, baik
undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, peraturan daerah, dsb.
Keempat, hubungan antar unsur-unsur dalam sekolah, antara
sekolah dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Propinsi
perlu disesuaikan. Karena itu struktur organisasi pendidikan yang ada saat ini
perlu ditata kembali dan kemudian dianalisis hubungan antar unsur/pihak untuk
menentukan sifat hubungan (komando, koordinatif, dan fasilitatif).
Dilandasi
oleh konsep MPMBS dan berbagai pemikiran mengenai pelaksanaannya tersebut, maka
berikut ini akan disampaikan beberapa tahapan dalam pelaksanaan MPMBS yang
sifatnya masih “umum” dan “luwes”. Sekolah dapat melakukan
penyesuaian-penyesuaian pentahapan berikut sesuai dengan kondisi sekolah
masing-masing.
Tahap-tahap
pelaksanaan MPMBS berikut ditulis dengan tujuan untuk:
·
Membantu unsur-unsur penyelenggara pendidikan, terutama sekolah, agar
penyelenggaraan MPMBS dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien;
·
Membantu sekolah-sekolah yang menerapkan MPMBS dalam menyusun rencana dan
program-programnya untuk mendapatkan dukungan biaya dari pihak-pihak yang
kompeten; dan
·
Melakukan uji coba tentang pelaksanaan konsep MPMBS, sehingga diharapkan
diperoleh masukan-masukan yang konstruktif bagi penyempurnaan konsep dan
pelaksanaan MPMBS di masa yang akan datang.
B.
Tahap-tahap
Pelaksanaan
1.
Melakukan
Sosialisasi
Sekolah
merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan karenanya hasil kegiatan
pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari semua unsur sekolah. Dengan
cara berpikir semacam ini, maka semua unsur sekolah harus memahami konsep
MPMBS “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” MPMBS diselenggarakan. Oleh karena itu,
langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialiasikan
konsep MPMBS kepada setiap unsur sekolah (guru, siswa, wakil kepala sekolah,
guru BK, karyawan, orangtua siswa, pengawas, pejabat Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan Propinsi, dsb.) melalui berbagai
mekanisme, misalnya seminar, lokakarya, diskusi, rapat kerja, simposium, forum
ilmiah, dan media masa.
Dalam
melakukan sosialisasi MPMBS, yang penting dilakukan oleh kepala sekolah adalah
“membaca” dan “membentuk” budaya MPMBS di sekolah masing-masing. Secara umum,
garis-garis besar kegiatan sosialisasi/ pembudayaan MPMBS dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang
ada di sekolah secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem,
budaya, dan sumberdaya baru yang diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan
MPMBS;
b. identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang
perlu diperkuat dan yang perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya, dan
sumberdaya baru yang diperlukan untuk menyelenggarakan MPMBS;
c. buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh
semua unsur yang bertanggungjawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan
sumberdaya yang cukup mendasar;
d. bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk
mengklarifikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program
penyelenggaraan MPMBS;
e. hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap
perubahan, jangan menghindar dan jangan menarik darinya serta jelaskan mengapa
diperlukan perubahan dari manajemen berbasis pusat menjadi MPMBS;
f. garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya
yang belum ada sekarang, akan tetapi sangat diperlukan untuk mendukung visi,
misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MPMBS dan
doronglah sistem, budaya, dan sumberdaya manusia yang mendukung penerapan MPMBS
serta hargailah mereka (unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam penerapan
MPMBS; dan
g. pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai
dengan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program MPMBS.
2.
Mengidentifikasi
Tantangan Nyata Sekolah
Pada
tahap ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang hasilnya berupa
identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah
selisih (ketidaksesuaian) antara output sekolah saat ini dan output sekolah
yang diharapkan di masa yang akan datang (tujuan sekolah). Besar kecilnya
ketidaksesuaian antara output sekolah saat ini (kenyataan) dengan output
sekolah yang diharapkan (idealnya) di masa yang akan datang memberitahukan
besar kecilnya tantangan. Contoh tantangan kualitas: misalnya, jika dalam tiga
tahun ke dapan dicanangkan tujuanuntuk mencapai GSA sebesar +2, sementara saat
ini baru mencapai +0,4 berarti tantangan nyata yang dihadapi sekolah adalah
(+2)-(+0,4) = (+0,4). Misalnya lagi, juara lomba karya ilmiah remaja sekolah
saat ini berperingkat nomor 4 se kabupaten dan yang diharapkan akan meningkat
menjadi peringkat nomor 1, maka besarnya tantangan adalah 1-4 (-3), kurang 3.
Contoh tantangan efektivitas: dari 300 siswa yang ikut EBTANAS, yang lulus 270
siswa, sehingga tantangannya adalah 30 siswa atau 10 persen yaitu berasal dari
30 siswa dibagi 300 siswa.
Output
sekolah saat ini dapat dengan mudah diidentifikasi, karena tersedia datanya.
Akan tetapi bagaimanakah caranya mengidentifikasi output sekolah yang
diharapkan, sehingga output yang diharapkan tersebut cukup realistis? Caranya,
perlu dilakukan analisis prakiraan (forecasting) lengkap dengan
asumsi-asumsinya untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan yang diharapkan di
masa depan.
Pada
umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang dapat dikategorikan
menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas, dan efisiensi.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang
ditentukan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud
adalah kualitas output sekolah yang bersifat akademik (misal: NEM dan LKIR) dan
non-akademik (misal: olah raga dan kesenian). Mutu output sekolah dipengaruhi
oleh tingkat kesiapan input dan proses persekolahan.
Produktivitas
adalah perbandingan antara output
sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun input sekolah adalah dalam
bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah, misalnya jumlah guru, modal sekolah,
bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah, misalnya jumlah siswa yang lulus
sekolah setiap tahunnya. Contoh produktivitas, misalnya, jika tahun ini sebuah
sekolah lebih banyak meluluskan siswanya dari pada tahun lalu dengan input yang
sama (jumlah guru, fasilitas, dsb.), maka dapat dikatakan bahwa tahun ini
sekolah tersebut lebih produktif dari pada tahun sebelumnya.
Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana tujuan
(kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan,
efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan. Misalnya, NEM
idealnya berjumlah 60, namun NEM yang diperoleh siswa hanya 45, maka
efektivitasnya adalah 45:60 = 75%.
Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi
internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada
hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input
(sumberdaya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi
internal sekolah biasanya diukur dengan biaya-efektivitas. Setiap
penilaian biaya-efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik
untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi
belajar, lama belajar, angka putus sekolah). Misalnya, jika dengan biaya yang
sama, tetapi NEM tahun ini lebih baik dari pada NEM tahun lalu, maka dapat
dikatakan bahwa tahun ini sekolah yang bersangkutan lebih efisien secara
internal dari pada tahun lalu. Efisiensi eksternal adalah hubungan
antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif
(individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada
kurun waktu yang panjang diluar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat
utama untuk mengukur efisiensi eksternal. Misalnya, dua sekolah SLTP 1 dan SLTP
2 dengan menggunakan biaya yang sama setiap tahunnya. Akan tetapi, lulusan SLTP
1 mendapatkan upah yang lebih besar dari pada lulusan SLTP 2 setelah mereka
bekerja. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa SLTP 1 lebih efisien secara
eksternal dari pada SLTP 2.
3.
Merumuskan
Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran (Tujuan Situasional) Sekolah
-
Visi
Setiap sekolah harus memiliki visi. Visi adalah
wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah dan digunakan untuk memandu
perumusan misi sekolah. Dengan kata lain, visi adalah pandangan jauh ke depan
kemana sekolah akan dibawa. Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan
oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup
dan perkembangannya.
Gambaran tersebut tentunya harus didasarkan pada
landasan yuridis, yaitu undang-undang pendidikan dan sejumlah peraturan
pemerintahnya, khususnya tujuan pendidikan nasional sesuai jenjang dan jenis
sekolahnya dan juga sesuai dengan profil sekolah yang bersangkutan. Dengan kata
lain, visi sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional
tetapi sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat yang dilayani. Tujuan
pendidikan nasional sama tetapi profil sekolah khususnya potensi dan kebutuhan
masyarakat yang dilayani sekolah tidak selalu sama. Oleh karena itu dimungkinkan
sekolah memiliki visi yang tidak sama dengan sekolah lain, asalkan tidak keluar
dari koridor nasional yaitu tujuan pendidikan nasional.
Sebagai contoh, sebuah sekolah yang terletak di
perkotaan, mayoritas siswanya berasal dari keluarga mampu dan hampir seluruh
lulusannya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, merumuskan visinya
sebagai berikut: UNGGUL DALAM PRESTASI BERDASARKAN IMTAQ
Sementara itu sekolah yang terletak di daerah pedesaan
yang umumnya tidak lebih maju dari pada sekolah diperkotaan, merumuskan visinya
sebagai berikut: TERDIDIK BERDASARKAN IMTAQ
Kedua visi tersebut sama-sama benar sepanjang masih
dalam koridor tujuan pendidikan nasional. Tentu saja, perumusan visi harus
disesuaikan dengan tujuan dari setiap jenjang dan jenis sekolah sebagaimana
dituliskan dalam peraturan pemerintah.
Visi yang pada umumnya dirumuskan dalam kalimat yang
filosofis seperti contoh tersebut, seringkali memiliki aneka tafsir.
Setiap orang menafsirkan secara berbeda-beda, sehingga dapat menimbulkan
perselisihan dalam implementasinya. Bahkan jika terjadi penggantian
kepala sekolah, maka kepala sekolah yang baru tidak jarang memberi tafsir yang
berbeda dengan kepala sekolah sebelumnya. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan
indikator sebagai penjelasan apa yang dimaksudkan oleh visi tersebut. Sebagai
contoh, visi yang dituliskan UNGGUL DALAM PRESTASI BERDASARKAN IMAN DAN TAQWA,
diberi indikator sebagai berikut:
·
unggul dalam perolehan NEM,
·
unggul dalam persaingan melanjutkan ke jenjang pendidikan diatasnya,
·
unggul dalam lomba karya ilmiah remaja,
·
unggul dalam lomba kreativitas,
·
unggul dalam lomba kesenian,
·
unggul dalam lomba olahraga,
·
unggul dalam disiplin,
·
unggul dalam aktivitas keagamaan, dan
·
unggul dalam kepedulian sosial.
-
Misi
Misi adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut. Karena visi
harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah,
maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan
masing-masing kelompok yang terkait dengan sekolah.
Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas
pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah.
Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang
dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.
Misalnya, sebuah sekolah yang memiliki visi UNGGUL
DALAM PRESTASI BERDASARKAN IMTAQ merumuskan misinya sebagai berikut:
·
Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif, sehingga setiap
siswa berkembang secara optimal, sesuai dengan potensi yang dimiliki.
·
Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif kepada seluruh warga
sekolah.
·
Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenali potensi dirinya,
sehingga dapat dikembangkan secara optimal.
·
Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan juga budaya
bangsa sehingga menjadi sumber kearifan dalam betindak.
·
Menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah
dan kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakeholders).
-
Tujuan
Bertolak dari visi dan misi,
selanjutnya sekolah merumuskan tujuan. Tujuan merupakan “apa” yang akan
dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan “kapan” tujuan akan
dicapai. Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang, maka
tujuan dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 tahun. Dengan demikian tujuan
pada dasarnya merupakan tahapan wujud sekolah menuju visi yang telah
dicanangkan.
Jika visi merupakan gambaran sekolah
di masa depan secara utuh (ideal), maka tujuan yang ingin di capai dalam jangka
waktu 3 tahun mungkin belum se ideal visi atau belum selengkap visi.
Dengan kata lain, tujuan merupakan tahapan untuk mencapai visi. Sebagai
contoh, sebuah sekolah telah menetapkan visi dengan indikator sebanyak 9 aspek,
tetapi tujuannya sampai tahun 2004 baru mencakup 5 aspek sebagai berikut:
· Pada tahun 2004, rata-rata NEM mencapai minimal 6,75
·
Pada tahun 2004, proporsi lulusan yang melanjutkan ke sekolah unggul
minimal 40%
·
Pada tahun 2004, memiliki kelompok KIR dan mampu menjadi finalis LKIR
tingkat nasional
·
Pada tahun 2004, memiliki tim olahraga minimal 3 cabang dan mampu menjadi
finalis tingkap propinsi
·
Pada tahun 2004, memiliki tim kesenian yang mampu tampil pada acara
setingkat kabupaten/kota.
-
Sasaran/Tujuan Situasional
Setelah tujuan sekolah (tujuan
jangka menengah) dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan sasaran/target/tujuan
situasional/tujuan jangka pendek. Sasaran adalah penjabaran tujuan, yaitu
sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih
singkat dibandingkan tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandung peningkatan,
baik peningkatan kualitas, efektivitas, produktivitas, maupun efisiensi (bisa
salah satu atau kombinasi). Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka
sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan disertai
indikator-indikator yang rinci. Meskipun sasaran bersumber dari tujuan, namun
dalam penentuan sasaran yang mana dan berapa besar kecilnya sasaran, tetap
harus didasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.
Berdasarkan tantangan nyata yang
dihadapi sekolah, maka dirumuskanlah sasaran/tujuan situasional yang akan
dicapai oleh sekolah. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan atas tantangan
nyata yang dihadapi oleh sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap
mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah, karena visi, misi, dan tujuan
sekolah merupakan sumber pengertian (sumber referensi) bagi perumusan sasaran
sekolah. Karena itu, sebelum merumuskan sasaran sekolah yang akan dicapai,
setiap sekolah harus memiliki visi, misi, dan tujuan sekolah.
Sasaran sebaiknya hanya untuk waktu
yang relatif pendek, misalnya untuk satu tahun ajaran. Dengan demikian sasaran
(misalnya untuk 1 tahun) pada dasarnya merupakan tahapan untuk mencapai tujuan
jangka menengah (misalnya untuk jangka 3 tahun). Ketika menentukan sasaran,
prioritas harus dipertimbangkan sungguh-sungguh. Jika tujuan yang telah
dicanangkan mencakup 5 aspek, apakah kelimanya akan digarap pada tahun pertama,
atau hanya beberapa saja. Hal itu sangat tergantung kondisi sekolah.
Sebagai contoh, sebuah sekolah memutuskan ingin menggarap kelima aspek yang
tercantum dalam tujuan, meskipun baru pada tahap awal. Oleh karena itu, sekolah
tersebut menetapkan sasaran untuk tahun ajaran 2000/2001 sebagai berikut:
·
Rata-rata NEM minimal mencapai 5,50
·
Jumlah lulusan yang melanjutkan ke sekolah unggul diatasnya minimal 25%
·
Memiliki kelompok KIR dan mampu menjadi juara LKIR setingkat kabupaten/kota
·
Memiliki tim olahraga yang mampu menjadi finalis loma setingkat
kabupaten/kota
·
Memiliki tim kesenian yang secara teratur mengadakan latihan dan pentas di
sekolah.
4.
Mengidentifikasi
Fungsi-fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran
Setelah
sasaran dipilih, maka langkah berikutnya adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi
yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran dan yang masih perlu diteliti
tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, fungsi proses
belajar mengajar beserta fungsi-fungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan
kurikulum, fungsi perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan,
fungsi pelayanan kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi
hubungan sekolah-masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.
5.
Melakukan
Analisis SWOT
Setelah
fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran diidentifikasi, maka
langkah berikutnya adalah menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan
faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and
Threat).
Analisis
SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi
dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang
telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dan
faktor-faktornya dicapai melalui membandingkan faktor dalam kondisi nyata
dengan faktor dalam kriteria kesiapan. Yang dimaksud dengan kriteria kesiapan
faktor adalah faktor yang memenuhi kriteria/standar untuk mencapai
sasaran/tujuan situasional. Faktor yang memenuhi kriteria/standar ini ditemukan
melalui perhitungan-perhitungan atau pertimbangan-pertimbangan yang bersumber
pada pencapaian sasaran.
Berhubung
tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor
yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap
keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal
maupun eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor pada setiap fungsi yang
berada didalam kewenangan sekolah. Sedangkan yang dimaksud faktor eksternal
adalah faktor-faktor pada setiap fungsi yang berada diluar kewenangan sekolah.
Misalnya, fungsi proses belajar mengajar terdiri dari banyak faktor, satu
diantaranya perilaku mengajar guru (faktor internal) dan satu lainnya kondisi
lingkungan sosial masyarakat (faktor eksternal). Perilaku mengajar guru
digolongkan faktor internal karena sekiranya perilaku tersebut perlu diubah,
masih dalam kewenangan sekolah. Sebaliknya, kondisi lingkungan sosial
masyarakat digolongkan sebagai faktor eksternal karena sekiranya kondisi
tersebut ingin diubah, diluar kewenangan sekolah.
Tingkat
kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran/kriteria kesiapan yang
diperlukan untuk mencapai sasaran, yang dinyatakan sebagai: kekuatan,
bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong
eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi
ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang
tergolong internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong eksternal.
Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang memiliki tingkat kesiapan
kurang memadai, disebut persoalan.
6.
Alternatif
langkah Pemecahan Persoalan
Dari
hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah memilih langkah-langkah
pemecahan persoalan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk
mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada
persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang
telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran tercapai,
perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan
fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan
persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan
dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan
memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
7.
Menyusun
Rencana dan Program Peningkatan Mutu
Berdasarkan
langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua
unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang,
beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak
selalu memiliki sumberdaya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bagi
pelaksanaan MPMBS, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk jangka pendek,
menengah, dan panjang.
Rencana
yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang: aspek-aspek mutu
yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus
melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan, dan berapa biaya yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini diperlukan untuk
memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah
maupun dari orangtua siswa, baik dukungan pemikiran, moral, material maupun
finansial untuk melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan tersebut.
Rencana yang dimaksud harus juga memuat rencana anggaran biaya (rencana biaya)
yang diperlukan untuk merealisasikan rencana sekolah.
Hal
pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam penyusunan rencana adalah
keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stakeholder pendidikan,
khususnya orangtua siswa dan masyarakat (BP3/Komite Sekolah) pada umumnya.
Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa kemampuan sekolah dan
pemerintah untuk menanggung biaya rencana ini, dan berapa sisanya yang harus
ditanggung oleh orangtua peserta didik dan masyarakat sekitar. Dengan
keterbukaan rencana ini, maka kemungkinan kesulitan memperoleh sumberdana untuk
melaksanakan rencana ini bisa dihindari. Catatan: BP3 saat ini yang
anggotanya hanya terdiri dari orangtua siswa perlu dimekarkan menjadi Komite
Sekolah yang anggotanya terdiri dari: orangtua siswa, wakil dari siswa, wakil
dari sekolah, wakil dari organisasi profesi, wakil dari pemerintah, dan wakil
dari publik.
Jika
rencana adalah merupakan deskripsi hasil yang diharapkan dan dapat digunakan
untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan sekolah, maka program adalah alokasi
sumberdaya (sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya, misalnya, uang,
bahan, peralatan, perlengkapan, perbekalan, dsb.) kedalam kegiatan-kegiatan,
menurut jadwal waktu dan menunjukkan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata
lain, program adalah bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah mewujudkan
sinkronisasi dalam ketatalaksanaan.
8.
Melaksanakan
Rencana Peningkatan Mutu
Dalam
melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama
antara sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil
langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala
sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia
semaksimal mungkin, menggunakan pengalaman-pengalaman masa lalu yang dianggap
efektif, dan menggunakan teori-teori yang terbukti mampu meningkatkan kualitas
pembelajaran. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif
dalam menjalankan program-program yang diproyeksikan dapat mencapai
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat
membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak
menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Dalam
melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya menerapkan konsep belajar
tuntas (mastery learning). Konsep ini menekankan pentingnya siswa menguasai
materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum melanjutkan ke pembelajaran
topik-topik yang lain. Dengan demikian siswa dapat menguasai suatu materi
pelajaran secara tuntas sebagai prasyarat dan dasar yang kuat untuk mempelajari
tahapan pelajaran berikutnya yang lebih luas dan mendalam.
Untuk
menghindari berbagai penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan supervisi dan
monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang dilakukan di
sekolah. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di sekolahnya
berhak dan perlu memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada
guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur
yang telah ditetapkan. Namun demikian, bimbingan dan arahan jangan sampai
membuat guru dan tenaga lainnya menjadi amat terkekang dalam melaksanakan
kegiatan, sehingga kegiatan tidak mencapai sasaran.
9.
Melakukan
Evaluasi Pelaksanaan
Untuk
mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi
pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka
pendek dilakukan setiap akhir catur wulan untuk mengetahui keberhasilan program
secara bertahap. Bilamana pada satu catur wulan dinilai adanya faktor-faktor
yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program
peningkatan mutu pada catur wulan berikutnya. Evaluasi jangka menengah
dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh program
peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan program
untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam
melaksanakan evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang
terlibat dalam program, khususnya guru dan tenaga lainnya agar mereka dapat
menjiwai setiap penilaian yang dilakukan dan memberikan alternatif pemecahan.
Demikian pula, orangtua peserta didik dan masyarakat sebagai pihak eksternal
harus dilibatkan untuk menilai keberhasilan program yang telah dilaksanakan.
Dengan demikian, sekolah mengetahui bagaimana sudut pandang pihak luar bila
dibandingkan dengan hasil penilaian internal. Suatu hal yang bisa terjadi bahwa
orangtua peserta didik dan masyarakat menilai suatu program gagal atau kurang
berhasil, walaupun pihak sekolah menganggapnya cukup berhasil. Yang perlu disepakati
adalah indikator apa saja yang perlu ditetapkan sebelum penilaian dilakukan.
Untuk lebih detailnya tentang monitoring dan evaluasi MPMBS.
Hasil
evaluasi pelaksanaan MPMBS perlu dibuat laporan yang terdiri dari laporan
teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut program pelaksanaan dan hasil
MPMBS, sedang laporan keuangan meliputi penggunaan uang serta
pertanggungjawabannya. Jika sekolah melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan
(income generating activities), maka pendapatan tambahan tersebut harus juga
dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas), maka laporan
harus dikirim kepada Pengawas, Dinas Pendidikan Kabupaten, Komite Sekolah,
Orang Tua Siswa dan Yayasan (bagi sekolah swasta).
10. Merumuskan Sasaran Mutu Baru
Sebagaimana
dikemukakan terdahulu, hasil evaluasi berguna untuk dijadikan alat bagi
perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya,
hasil evaluasi merupakan masukan bagi sekolah dan orangtua peserta didik untuk
merumuskan sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap
berhasil, sasaran mutu dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumberdaya
yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran mutu tetap seperti sediakala,
namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun
tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, karena dianggap
terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga,
sarana dan prasarana, dana) yang tersedia.
Setelah
sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui
tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat diketahui
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka
langkah-langkah pemecahan persoalan segera dipilih untuk mengatasi
faktor-faktor yang mengandung persoalan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu
baru dapat dibuat.
C.
Tugas
dan Fungsi Jajaran Birokrasi
Konsekwensi
logis dari perubahan penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari pola manajemen lama
(sentralistik) menuju ke pola manajemen baru (desentralistik), maka tugas dan
fungsi jajaran birokrasi juga harus diubah. Dari uraian konsep MPMBS disebutkan
bahwa pola manajemen baru lebih menekankan pada pemandirian dan pemberdayaan
sekolah. Ini memiliki arti bahwa sekolah merupakan unit utama kegiatan
pendidikan, sedang birokrasi dan unsur-unsur lainnya merupakan unit pelayanan
pendukung. Karena itu pola pikir manajemen lama yang lebih menekankan pada
subordinasi, pengarahan, pengaturan, pengontrolan, dan one-man-show dalam
pengambilan keputusan, sudah harus ditinggalkan dan diganti dengan pola pikir
manajemen baru yang lebih menekankan pada pemberian otonomi, pemberian
fasilitas, penumbuhan motivasi-diri sekolah, pemberian bantuan, dan pengambilan
keputusan partisipatif.
Sambil
menunggu tugas dan fungsi jajaran birokrasi Depdiknas yang definitif secara
yurisdiksi dalam kerangka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah, berikut disampaikan tugas dan fungsi tentatif
masing-masing jajaran birokrasi Depdiknas dalam penyelenggaraan MPMBS.
1.
Direktorat
SLTP/Dikmenum
Secara
umum, Direktorat SLTP/Dikmenum mempunyai tugas dan fungsi menentukan kebijakan
dan strategi pada tataran formulasi/penetapan kebijakan, implementasi
kebijakan, dan evaluasi kebijakan pada tingkat nasional, yaitu:
a. Pada tataran formulasi dan penetapan kebijakan,
Depdiknas Pusat melalui Direktorat SLTP/Dikmenum mempunyai tugas dan fungsi
memformulasikan/menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan MPMBS melalui
penyusunan dan penerbitan buku “Konsep dan Pelaksanaan MPMBS” beserta sejumlah
buku “Pedoman Rintisan MPMBS”.
b. Menetapkan standar MPMBS sebagai patokan yang berlaku
secara nasional;
c. Pada tataran implementasi kebijakan, Direktorat
SLTP/Dikmenum mempunyai tugas dan fungsi mensosialisasikan MPMBS keseluruh
Dinas Pendidikan Propinsi serta mengkoordinasikan seluruh jajaran Dinas
Pendidikan Propinsi dalam melaksanakan MPMBS di tanah air;
d. Pada tataran evaluasi kebijakan, Direktorat
SLTP/Dikmenum mempunyai tugas dan fungsi memonitor dan mengevaluasi
penyelenggaraan MPMBS secara nasional; dan
e. Menerbitkan informasi secara berkala, baik secara
elektronik dan atau non-elektronik tentang perkembangan konsep maupun hasil
pelaksanaan MPMBS secara agregatif (nasional) dan secara disagregatif (per
wilayah/daerah).
2.
Dinas
Pendidikan Propinsi
Secara
umum, tugas dan fungsi Dinas Pendidikan Propinsi adalah menjabarkan
kebijakan dan strategi MPMBS yang telah digariskan oleh Direktorat
SLTP/Dikmenum untuk diberlakukan di Propinsi masing-masing, antara lain:
a. Menyusun petunjuk teknis pelaksanaan dan petunjuk
teknis monitoring dan evaluasi berdasarkan pedoman yang ditetapkan pemerintah
pusat;
b. Memberi pelatihan kepada para pengembang MPMBS di
tingkat kabupaten;
c. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan MPMBS
serta pengembangannya di Propinsi masing-masing; dan
d. Mengkoordinasikan dan menyerasikan pelaksanaan MPMBS
lintas Kabupaten untuk menghindari penyimpangan MPMBS dan menghindari
kesenjangan mutu pendidikan lintas Kabupaten.
3.
Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota
Seiring
dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah, maka Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
menjalankan tugas dan fungsi utama memberikan pelayanan dalam pengelolaan satuan
pendidikan di Kabupaten/Kota masing-masing yang menjalankan MPMBS. Lebih
spesifiknya, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai berikut:
a. Memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan
pendidikan negeri dan swasta di Kabupaten/Kota masing-masing berkaitan dengan
pelaksanaan MPMBS;
b. Memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola
seluruh aset/sumberdaya pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan
sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan, dan sebagainya;
c. Melaksanakan pembinaan dan pengurusan atas tenaga
pendidik yang bertugas pada satuan pendidikan di Kabupaten/Kota berkaitan
dengan pelaksanaan MPMBS; dan
d. Melaksanakan monitoring dan evaluasi atas tugas dan
fungsi pokoknya sesuai dengan kebijakan umum yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat dalam penyelenggaraan MPMBS.
4.
Sekolah
Tugas
dan fungsi utama sekolah adalah mengelola penyelenggaraan MPMBS di
sekolah masing-masing. Mengingat sekolah merupakan unit utama dan terdepan
dalam penyelenggaraan MPMBS, maka sekolah menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai berikut:
a. Menyusun rencana dan program pelaksanaan MPMBS dengan
melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, antara lain: wakil sekolah (kepala
sekolah, wakil kepala sekolah, guru, tata usaha), wakil siswa (OSIS), wakil
orangtua siswa, wakil organisasi profesi, wakil pemerintah, dan tokoh
masyarakat;
b. Mengkoordinasikan dan menyerasikan segala sumberdaya
yang ada di sekolah dan di luar sekolah untuk mencapai sasaran MPMBS yang telah
ditetapkan;
c. Melaksanakan MPMBS secara efektif dan efisien dengan
menerapkan prinsip-prinsip total quality management (fokus pada pelanggan,
perbaikan secara terus-menerus, dan keterlibatan total warga sekolah dalam
meningkatkan mutu sekolah) dan berpikir sistem (berpikir holistik/tidak
parsial, saling terkait, dan terpadu);
d. Melaksanakan pengawasan dan pembimbingan dalam
pelaksanaan MPMBS sehingga kejituan implementasi dapat dijamin untuk mencapai
sasaran MPMBS;
e. Pada setiap akhir tahun ajaran melakukan evaluasi
untuk menilai tingkat ketercapaian sasaran program MPMBS yang telah ditetapkan.
Hasil evaluasi ini kemudian digunakan untuk menentukan sasaran baru program
MPMBS tahun- tahun berikutnya;
f. Menyusun laporan penyelenggaraan MPMBS beserta
hasilnya secara lengkap untuk disampaikan kepada pihak-pihak terkait yaitu
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Pengawas Sekolah, Komite Sekolah, dan Yayasan
(bagi sekolah swasta); dan
g. Mempertanggungjawabkan hasil penyelenggaraan MPMBS
kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah yaitu Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, Komite Sekolah, dan Yayasan (bagi sekolah swasta).
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
MPMBS merupakan
model manajemen yang memberikan otonomi
lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan parsitipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah
(guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Terdapat tiga
karakteristik utama pada MPMBS yaitu output yang diharapkan, proses dan input
pendidikan. Sedangkan tahap-tahap pelaksanaan MPMBS ada sepuluh: 1. Melakukan
sosialisasi; 2. Mengidentifikasi
tantangan nyata sekolah; 3. Merumuskan visi, misi, tujuan dan sasaran
situasional; 4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai
sasaran; 5. Melakukan analisis swot; 6. Alternatif langkah pemecahan persoalan;
7. Menyusun rencana dan program peningkatan mutu; 8. Melaksanakan rencana
peningkatan mutu; 9. Melakukan evaluasi pelaksanaan; 10. Merumuskan sasaran
mutu baru. Serta tugas dan fungsi sekolah dalam melaksanakan MPMBS ada tujuh,
yaitu: 1. Menyusun rencana dan program
pelaksanaan MPMBS; 2. Mengkoordinasikan dan menyerasikan segala sumberdaya; 3. Melaksanakan
MPMBS secara efektif dan efisien ; 4. Melaksanakan pengawasan dan pembimbingan; 5. Pada setiap akhir tahun ajaran
melakukan evaluasi; 6. Menyusun laporan penyelenggaraan MPMBS beserta hasilnya;
7. Mempertanggungjawabkan hasil penyelenggaraan MPMBS.
2.
Saran
Berhubung makalah
ini masih mempunyai banyak kekurangan, setelah membaca makalah ini silakan
membaca lagi dari sumber lain yang lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2002, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta:
Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen.